KETIK, JAKARTA – Musim haji tahun ini terus mendapat perhatian dari Komisi VIII DPR RI, Deperteman Agama dan para KBIH (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji). Bahkan sorotan mengenai biaya OHN (ongkos naik haji) yang dianggap memberatkan calon jemaah tersebut juga masuk dalam agenda pembahasan. Selain itu, ibadah haji tahun ini ada kabar waktuntinggal di Tanah Suci hanya 30 hari, yang sebelumnya 40 hari.
Dalam dengar pendapat di DPR RI ada berita yang menarik. Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) Hilman Latief memberikan paparan saat rapat dengar pendapat bersama Komisi VIII DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu lalu. Waktu pelaksanaan ibadah haji bagi jemaah asal Indonesia pada 2023 ini dipangkas menjadi 30 hari dari sebelumnya 40 hari.
Hilman Latief mengatakan, pemangkasan durasi haji menjadi 30 hari itu tak hanya bagi jemaah asal Indonesia, namun berlaku bagi negara-negara yang menyumbangkan lebih dari 30.000 jemaah. Hal itu diketahui dari hasil pertemuan dengan General Authority of Civil Aviation (GACA).
"Peraturan yang dikeluarkan oleh GACA yang pertama adalah surat edaran mereka di awal yang menegaskan bahwa operasional haji saat ini bagi jemaah, bagi negara dengan jumlah jemaah lebih dari 30.000 orang adalah 30 hari," ujar Hilman dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara Komisi VIII DPR, Kemenag, hingga PT Garuda Indonesia di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (8/2/2023).
Indonesia adalah negara dengan jumlah jemaah haji terbesar. Kuota haji Indonesia tahun 2023 yakni sebanyak 221.000 jemaah. Terdiri dari 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus
Sementara Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang berharap pelaksanaan ibadah haji cukup 30 hari.
"Komisi VIII mengharapkan dan telah menghitung kebutuhan pelaksanaan haji semestinya pelaksanaan ibadah haji cukup 30 hari, dengan memanfaatkan 9 hari di Madinah, 6 hari di hari-hari Tasyrik, 15 hari di Makkah," kata Marwan. Ia pun mendorong pemerintah untuk mulai berkomunikasi dengan berbagai pihak agar pelaksanaan haji 30 hari dapat berjalan.
Menurut dia, dengan dipangkasnya waktu pelaksanaan haji menjadi 30 hari, anggaran yang dihemat bisa mencapai Rp 1,2 triliun."Kami dapat menghitung bahwa akan terjadi penghematan anggaran dari sisi anggaran itu bisa kita hemat sekitar Rp 1,2 triliun," kata dia.
Selain bisa menghemat anggaran haji, kata Marwan, pengurangan waktu pelaksanaan haji bisa membuat jemaah lebih senang. "Dan kami berkeyakinan jemaah pasti merasa senang dengan hari yang kita sebutkan dengan durasi 30 hari saja," kata dia.
Sementara itu terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH), pemerintah menurunkan usulan BPIH 2023 sebesar Rp 2,4 juta dari usulan awal.Dengan usul penurunan itu, total biaya haji 2023 kini menjadi Rp 96,4 juta dari semula Rp 98,8 juta.
Namun, pemerintah belum merinci apakah penurunan itu akan diambil dari biaya yang dibebankan kepada jemaah atau dari nilai manfaat dana haji.
"Dan kami sampaikan bahwa dari keseluruhan kajian kami sementara ini, untuk direct dan indirect cost bahwa usulan per jemaah yang sebelumnya masih Rp 98,8 juta, kemudian menjadi Rp 96,4 juta, yaitu berkurang Rp 2,4 juta," ujar Hilman.
Hilman merinci penurunan Rp 2 juta didapat setelah pihaknya melakukan rasionalisasi terhadap beberapa rincian pembiayaan. Baik dari akomodasi selama di dalam negeri maupun selama di Arab Saudi.
Misalnya, dalam salah satu poin paparan, dari semula sekitar Rp 11 ribu menjadi sekitar Rp 10 ribu. Kemudian, pelayanan selama di embarkasi dari semula Rp 114 ribu menjadi Rp 98 ribu. Keduanya merupakan rincian pembiayaan bagi jemaah selama masih berada di dalam negeri.
Pemerintah melalui Kementerian Agama sebelumnya mengusulkan kenaikan BPIH 2023 sebesar Rp 98,8 juta per calon jemaah.
Dari jumlah itu, setiap jemaah akan dibebani sebesar 70 persen atau sebesar Rp 69 juta.
Sementara, 30 persen sisanya ditanggung oleh dana nilai manfaat dana haji sebesar Rp 29,7 juta.
Jumlah biaya yang dibebankan kepada jemaah itu naik dari biaya haji 2022 sekitar Rp 39 juta atau sekitar 40 persen menjadi 70 persen.
Adapun Komisi VII DPR mengusulkan kepada pemerintah agar pengadaan makan pagi bagi jemaah haji dihapus.
Marwan mengatakan, Panitia Kerja (Panja) Komisi VIII DPR dan Kementerian Agama (Kemenag) telah selesai melakukan kunjungan ke Arab Saudi terkait pelaksanaan ibadah haji 2023.
Salah satu hasilnya, Panja DPR dan pemerintah mendapati bahwa makan pagi terlalu mubazir untuk disediakan, sehingga diusulkan agar pengadaan makan pagi dihapus.
"Dalam kunjungan dan dialog dengan berbagai pihak jemaah haji, di pagi hari lebih cenderung melaksanakan ibadah. Dan waktu berada di tempat ibadah itu jauh lebih panjang ketimbang kembali ke penginapan. Maka karena itu, kami melihat bahwa pengadaan makan pagi itu cenderung mubazir," ujar Marwan.
Marwan menyampaikan, pada prinsipnya makan pagi memang tidak disediakan. Hanya saja, pada tahun 2022 makan pagi disediakan lantaran masih dalam situasi pandemi Covid-19.
Sebab, di masa pandemi Covid-19, jarang ada yang berjualan makanan sehingga jemaah haji perlu diberikan makan pagi. Kini, kata Marwan, di mana-mana sudah ada tempat makan.
"Maka orang jemaah lebih cenderung jalan pagi, kemudian beribadah lebih panjang durasinya di tempat-tempat ibadah di masjid. Mereka pulangnya agak lama, jadi makan pagi itu tidak dimanfaatkan dengan baik," tutur dia.
Selanjutnya, Marwan mengatakan, biaya konsumsi untuk jemaah haji ternyata masih bisa dinegosiasikan.
Menurut dia, harga makanan yang dibeli satuan tentu akan berbeda harganya ketika membeli ribuan makanan sekaligus.
"Maka dari itu, kemungkinan jauh di bawah yang ditawarkan itu masih mungkin dilakukan. Maka karena itu kami meminta pemerintah melakukan negosiasi tentang harga," ucap Marwan.
Selain makan pagi, Marwan menyebut ada sejumlah komponen biaya haji yang masih bisa dipangkas. Antara lain biaya hotel.Marwan menilai harga satuan penginapan yang diajukan pemerintah masih bisa dinegosiasi lagi.
Dia mengatakan harga bisa dikurangi karena pelaksanaan haji 2023 sudah normal sebelum pandemi Covid-19..Komisi VIII DPR juga menilai pemilihan lokasi hotel di kawasan Misfalah, Makkah, tidak tepat. Hotel di sana tak bisa menampung jemaah dalam jumlah banyak.
"Hotelnya tergolong kecil, tidak bisa menampung jemaah yang sekaligus satu provinsi dan bahkan tidak bisa menampung satu kloter harus berbagi. Kedua, karena tidak bisa menampung secara keseluruhan dalam satu kecemburuan, kenapa satu dekat dengan Harom (Masjidil Haram), setengahnya tidak dekat dengan Harom," kata dia.
"Ketiga, harga-harga hotel jauh lebih tinggi dibanding daerah-daerah lain, maka karena itu, terdapat subsidi silang terhadap jemaah yang jauh dan yang ada di Misfalah. Karena itu, para anggota menyarankan mengambil kawasan Misfalah itu tidak tepat untuk jemaah haji Indonesia," tutur dia. (*)