KETIK, JAKARTA – Sore itu, aku memutuskan untuk pergi ke pantai sendirian. Tidak ada rencana yang terlalu spesifik, tidak ada jadwal yang harus dipenuhi, hanya keinginan sederhana untuk menghabiskanwaktu di tempat yang selalu berhasil membuatku merasa tenang. Pantai, bagiku, adalahsemacam pelarian kecil dari dunia yang terkadang terasa terlalu sibuk, terlalu bising.
Langit sore masih cerah saat aku tiba. Warna biru lembutnya dipenuhi awan-awan putih yang menggantung, bergerak perlahan dihembus angin laut. Aku menuruni tangga kecil yang menghubungkan jalan setapak dengan pasir pantai, merasakan betapa lembutnya butiran pasir yang dingin menyentuh kulitku. Ombak kecil datang bergulung, membasahi bagian pantai yang lebih dekat ke laut. Suara deburnya berulang-ulang, seperti irama alami yang menenangkan hati.
Aku memilih tempat di dekat garis pantai, cukup jauh dari ombak agar tidak basah, tetapi cukup dekat untuk merasakan angin laut yang lembap menyentuh wajahku. Aku duduk di atas pasir, memeluk lutut sambil memandang ke laut lepas.
Tidak ada apa-apa di cakrawala selain air dan langit yang seolah menyatu. Kadang-kadang, sebuah kapal kecil terlihat melintas di kejauhan, memberi sentuhan kehidupan di tengah ketenangan ini.
Tak jauh dari tempatku duduk, aku melihat seorang ibu dan anak kecil. Mereka tampak sibuk bermain pasir. Anak itu, mungkin berusia sekitar empat atau lima tahun, memegang sekop kecil berwarna biru.
Ia menggali pasir dengan penuh semangat, berusaha membangun sesuatu yang menyerupai istana. Di sebelahnya, sang ibu tersenyum lembut, sesekali membantu anaknya menumpuk pasir agar bangunannya tidak runtuh.
Aku memperhatikan mereka dari kejauhan, merasa anehnya terhibur oleh pemandangan sederhana itu. Anak kecil itu tertawa riang setiap kali ia berhasil menyelesaikan bagian dari istananya, meski sering kali ombak kecil datang dan menghancurkan hasil kerjanya. Tapi ia tidak menyerah. Dengan semangat yang sama, ia kembali menggali, menumpuk pasir, dan membangun ulang istananya dari awal.
Saat aku melihat mereka, pikiranku mulai melayang. Hidup, aku pikir, tidak jauh berbeda dari istana pasir di tepi pantai. Kita berusaha membangun sesuatu, entah itu mimpi, hubungan, atau bahkan diri kita sendiri. Tetapi, seperti pasir yang mudah runtuh saat diterpa ombak, hidup kita juga sering kali terasa rapuh. Kadang, apa yang kita bangun dengan susah payah bisa runtuh begitu saja karena hal-hal yang berada di luar kendali kita.
Namun, ada keindahan dalam kerentanan itu. Seperti anak kecil tadi, kita belajar untuk terus mencoba. Kita belajar bahwa meski bangunan kita runtuh, kita masih punya kemampuan untuk membangunnya kembali. Dan setiap kali kita memulai dari awal, kita menjadi sedikit lebih kuat, sedikit lebih bijaksana.
Langit mulai berubah warna. Dari biru cerah, perlahan-lahan menjadi gradasi oranye dan merah muda. Matahari tampak semakin rendah di cakrawala, memancarkan cahaya keemasan yang membuat segala sesuatu di sekitarnya terlihat seperti lukisan. Ombak memantulkan cahaya itu, menciptakan kilauan yang bergerak bersama alunannya.
Aku menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara laut yang segar memenuhi paru-paruku. Ada sesuatu yang menenangkan dari momen ini, sesuatu yang membuatku merasa lebih ringan, lebih damai. Semua kekhawatiran dan keraguan yang biasanya memenuhi pikiranku terasaseperti larut bersama debur ombak.
Di kejauhan, aku melihat beberapa pasangan yang berjalan bergandengan tangan di sepanjang pantai. Mereka tampak berbicara pelan, sesekali tertawa, menikmati kebersamaan mereka. Ada juga seorang pria tua yang berjalan sendirian, membawa tongkat dan meninggalkan jejak kaki dipasir yang basah. Masing-masing dari mereka memiliki cerita mereka sendiri, pikirku.
Dan aku, yang duduk sendirian di sini, juga memiliki ceritaku sendiri. Mungkin, tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya aku rasakan. Kadang-kadang, aku merasa hidup terlalu rumit, terlalu banyak ekspektasi yang harus dipenuhi, terlalu banyak tanggung jawab yang harus diemban.
Tetapi di saat-saat seperti ini, aku merasa seolah-olah semua itu tidak begitu penting. Yang penting hanyalah momen ini, saat aku bisa duduk di sini, menikmati ketenangan, dan menjadi bagian kecil dari sesuatu yang jauh lebih besar dariku.
Matahari semakin rendah, hampir tenggelam sepenuhnya di balik cakrawala. Langit kini dipenuhi warna jingga tua yang berpadu dengan biru keunguan. Pemandangan itu begitu indah, begitu menenangkan, hingga aku merasa seolah-olah waktu berhenti sejenak.
Aku berdiri perlahan, mengibaskan pasir dari pakaian, dan menatap laut sekali lagi sebelum pergi. Rasanya sulit untuk meninggalkan tempat ini, tetapi aku tahu bahwa aku tidak bisa tinggal di sini selamanya. Aku harus kembali ke dunia nyata, ke rutinitas yang menunggu. Tetapi, aku pergi dengan hati yang lebih ringan.
Dalam perjalanan pulang, aku terus memikirkan pemandangan senja tadi. Aku menyadari bahwa hidup memang tidak pernah sempurna, tetapi justru itulah yang membuatnya berharga. Setiap kesulitan, setiap kegagalan, adalah bagian dari cerita kita. Dan meskipun cerita itu kadang terasa berat, ada saat-saat seperti ini yang mengingatkan kita bahwa semua itu tidak sia-sia.
Hidup, seperti senja di pantai, adalah tentang menghargai momen-momen kecil, tentang menemukan keindahan di tengah kesederhanaan, dan tentang terus melangkah meskipun jalan di depan terasa tidak pasti. Karena pada akhirnya, setiap langkah kecil yang kita ambil adalah bagian dari perjalanan yang lebih besar, perjalanan yang membuat kita menjadi diri kita yang sebenarnya.
Penulis: Zahra Tussyifa, siswa SPNF-SKB Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan