Negara Kesatuan Republik Indonesia telah memiliki presiden dan wakil presiden baru yang telah resmi dilantik untuk masa jabatan 2024-2029. Susunan Kabinet juga sudah terbentuk dengan nama Kabinet Merah Putih. Ada hal menarik untuk dicermati dan dikawal setelah adanya pelantikan tersebut, yakni Visi-Misi dan program kerja yang telah dijanjikan saat kampanye.
Ketika itu Capres dan Cawapres 02, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (PraGib), yang sekarang menjadi Presiden dan Wapres memiliki visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045 dan dipaparkan dalam dokumen Visi-Misi sebanyak 88 halaman. Visi tersebut dijabarkan dalam 8 Misi (Asta Cita), 17 Program Prioritas, dan 8 Program Hasil Terbaik Cepat (PHTC).
Salah satu hal yang perlu dikawal dan menjadi perhatian utama adalah visinya tentang pembangunan ekonomi biru (blue economy). Memang topik ekonomi biru sedang populer dan menjadi perbincangan hangat tingkat global pada dekade ini.
Penyebabnya adalah ekonomi biru diyakini mampu menjadi alternatif solusi untuk pembangunan ekonomi yang menitikberatkan pada pemanfaatan sumberdaya laut secara berkelanjutan. Dengan kata lain, konsep ekonomi biru berupaya mewujudkan keseimbangan antara aspek-aspek yang terkait dalam ekosistem kelautan yaitu ekonomi dan ekologi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan potensi blue economy mencapai USD 1,33 miliar dan mampu menyerap 45 juta lapangan kerja. Sehingga wajar bila ekonomi biru menjadi salah satu program andalan dari presiden terpilih.
Program ekonomi biru secara eksplisit ada pada dokumen visi pasangan PraGib, tepatnya pada misinya, Asta Cita 2, yakni memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.
Pada misi itu kemudian dibuat program kerja dan peta jalannya (road map). Bahkan dalam program kerja tersebut terdapat topik khusus tentang ekonomi biru yang di dalamnya terinci dalam 15 poin. Hampir semua aspek dalam lingkup ekonomi biru telah masuk dalam rincian tersebut. Terutama aspek yang sering menjadi persoalan nasional maupun internasional.
Misalnya pada rincian poin pertama disebutkan, “Meningkatkan nilai tambah setiap potensi sumber daya pesisir seperti perikanan tangkap, budidaya udang, budidaya garam, budidaya rumput laut, dan budidaya lobster untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui proses industrialisasi yang berkelanjutan”.
Di sini terlihat bahwa penekanannya ada pada sektor perikanan. Poin ini cukup penting untuk menjadi perhatian, mengingat dalam beberapa tahun ini sempat terjadi ‘kegaduhan’ soal kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur.
Kemudian berkenaan dengan udang vaname yang saat ini masih terjadi persoalan dengan penyakit dan harga jual semakin menurun. Hasil analisis dari Shrimp Club Indonesia (SCI) menyebutkan adanya beberapa faktor penyebab menurunnya harga udang, diantaranya adalah ketergantungan yang tinggi pada pasar ekspor ke Amerika Serika (AS), peningkatan produksi dari negara produsen lain dengan harga yang lebih kompetitif, ketidakseimbangan supply dan demand, serta kondisi ekonomi global.
Selain itu soal perizinan industri tambak udang yang dinilai rumit dan panjang, hingga banyaknya tambak udang di beberapa daerah yang tutup. Padahal udang vaname saat ini masih menjadi komoditas primadona untuk ekspor. Melihat berbagai tantangan tersebut, rasanya cukup berat bila tahun 2024 ini target Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk produksi udang vaname sebesar 2 juta ton bisa tercapai.
Hal ini diperkuat data dari Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) yang menyebutkan performa ekspor udang Indonesia di tahun 2023 menjadi yang paling rendah selama tiga tahun terakhir. Dan saat ini performa Indonesia sebagai eksportir udang berada di peringkat empat, turun dari yang sebelumnya berada di tiga teratas negara eksportir, setelah Ekuador, India, dan Vietnam.
Industri budidaya lobster juga tak lepas dari berbagai tantangan. Selain hambatan teknis budidaya, kebijakan tata kelola benih bening lobster (BBL) yang tertuang pada Permen KP Nomor 7/2024 juga masih menjadi pro dan kontra. Hampir setiap ganti Menteri KP selalu muncul regulasi baru tentang lobster ini.
Tantangan berikutnya adalah rendahnya skor Ocean Health Index (OHI) atau Indeks Kesehatan Laut Indonesia. Pada tahun 2021, OHI Indonesia hanya memiliki skor 65 atau enam angka di bawah rata-rata skor global, dengan peringkat ke-137 dari 221 negara.
Hal ini mengindikasikan kondisi laut dan perikanan di Indonesia tidak dalam kondisi baik-baik saja. Berbagai tantangan pada poin satu perlu segera dirumuskan solusinya, agar misinya terwujud dan berdampak signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Selanjutnya, 14 poin berikutnya juga tak kalah penting dari program kerja ekonomi biru presiden terpilih, diantaranya adalah peningkatan infrastruktur, penguatan kelembagaan, mendorong aktivitas inovasi dan riset, meningkatkan akses keuangan terutama Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor perikanan dan kemaritiman, membangun pusat-pusat pertumbuhan ekonomi maritim di kawasan pesisir, hingga peningkatan SDM dari segi jumlah dan kualitasnya.
Rumusan program kerja ekonomi biru tersebut nantinya akan dijalankan oleh Kementerian terkait, khususnya KKP sebagai nahkodanya bersama kementerian lain yang terkait. Untuk mensukseskan program ini, tentu perlu berkoordinasi dan bekerjasama dengan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat.
Posisi Pemda di sini cukup strategis, karena yang mengetahui kondisi real di lapang. Kemudian pentingnya untuk menerapkan model kolaborasi Penta Helix, yaitu sinergi dan kolaborasi antara akademisi, pengusaha, pemerintah, komunitas (masyarakat), dan media. Kolaborasi dan kerja sama antar aktor dalam pembangunan ekonomi biru penting dilakukan karena proses, tujuan dan tantangan-tantangan yang dihadapi akan semakin kompleks.
Keberhasilan pembangunan ekonomi biru nantinya dapat diukur menggunakan Blue Economy Development Index (BEDI) yang dikembangkan oleh Archiplegaic & Island States (AIS) Forum. Instrumen BEDI merupakan platform untuk memperkuat tata kelola kebijakan kelautan serta pesisir yang terintegrasi dalam sistem sosio-ekologis, sehingga dapat mendorong pencapaian tujuan pembangnan berkelanjutan yang merujuk pada Sustainable Development Goals (SDGs).
Prinsip yang dijadikan dasar dalam pengukuran BEDI adalah: sustainable development, adaptive management, ecosystem-based management, good marine governance, dan precautionary principle.
Harapan untuk mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia tentu masih tetap ada, asalkan pemerintah memiliki komitmen yang kuat untuk merealisasikan visi pembangunan blue economy yang telah dirumuskan. Masyarakat juga berhak mengawal visi tersebut, agar benar-benar direalisasikan dan tidak hanya sekedar ‘omon-omon’ saja.
*) Riza Rahman Hakim adalah Dosen Prodi Akuakultur/Perikanan Universitas Muhammadiyah Malang
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)