KETIK, NGAWI – Hari Jadi Ngawi ke-665 jatuh pada tanggal 7 Juli 2023 nanti. Sederet agenda disiapkan Pemkab Ngawi untuk memperingatinya.
Namun, warga Ngawi perlu mengetahui sejarah ditetapkannya HUT Ngawi hingga Bupati Ngawi kala itu harus mengeluarkan SK Penelusuran hari jadi.
Hal itu tak lepas dari dokumen pada 31 Maret 1978 yang ditetapkan sebagai hari jadi Ngawi. Hal itu sempat mendapat masukan dari masyarakat karena dinilai kurang nasionalis lantaran HUT tersebut merupakan peninggalan kolonialis.
Rasa nasionalisme warga Ngawi yang sangat tinggi membuat Bupati Ngawi kala itu mengeluarkan SK dan menunjuk Ketua DPRD pada tahun 1975 untuk melakukan penelusuruan sejarah.
Menurut asal usulnya Ngawi berasal dari kata “Awi” yang artinya bambu dan mendapat tambahan huruf sengau “Ng” menjadi “Ngawi”.
Seperti halnya nama daerah lain yang banyak menggunakan nama wilayah tempat (desa) yang dikaitkan dengan nama tumbuh-tumbuhan. Seperti Ngawi yang mana tumbuhan bambu banyak dijumpai di pinggir bengawan Madiun dan Bengawan Solo, dua sunga besar yang melintasi Ngawi.
Hari Jadi Ngawi ditetapkan pada 7 Juli 1358 M, hal itu berdasar penelusuran sejarah yang dimulai tahun 1975 lalu melalui SK Bupati KDH Tk. II Ngawi Nomor Sek. 13/7/Drh, tanggal 27 Oktober 1975 dan nomor Sek 13/3/Drh, tanggal 21 April 1976.
Ketua DPRD Ngawi kala itu ditunjuk sebagai Ketua Panitia Penelitian atau penelusuran hari jadi Ngawi.
Dalam proses penelusuran tersebut ditemui sejumlah kesulitan atau kendala khususnya nara sumber atau para tokoh-tokoh masyarakat. Namun tim tak menyerah mereka tetap melakukan penelitian lewat sejarah, peninggalalan purbakala dan dokumen-dokumen kuno.
Dalam penelusuran Hari Kelahiran Ngawi ini, ditemui sejumlah dokumen-dokumen penting. Di antaranya pada tanggal 31 Agustus 1830, pernah ditetapkan sebagai Hari Jadi Ngawi dengan Surat Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi tanggal 31 Maret 1978, Nomor Sek. 13/25/DPRD, yaitu berkaitan dengan ditetapkan Ngawi sebagai Order Regentschap oleh Pemerintah Hindia Belanda.
‘’Pada tanggal 30 September 1983, dengan Keputusan DPRD Kabupaten Dati II Ngawi nomor 188.170/2/1983, ketetapan di atas diralat dengan alasan bahwa tanggal 31 Agustus 1830 sebagai Hari Jadi Ngawi dianggap kurang Nasionalis, pada tanggal dan bulan tersebut justru dianggap memperingati kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda,’’ tulis Pemkab Ngawi di website resminya.
Menyadari hal tersebut, pada 13 Desember 1983 terbit Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi nomor 143 tahun 1983, dibentuk Panitia/Tim Penelusuran dan penulisan Sejarah Ngawi yang diktuai oleh Drs Moestofa.
Pada tanggal 14 Oktober di Sarangan telah melaksanakan simposium membahas Hari Jadi Ngawi oleh Bapak MM.Soekarto K, Atmodjo dan Bapak MM. Soehardjo Hatmosoeprobo dengan hasil symposium tersebut menetapkan.
‘’Menerima hasil penelusuran Bapak Soehardjo Hatmosoeprobo tentang Piagam Sultan Hamengku Buwono tanggal 2 Jumadilawal 1756 Aj, selanjutkan menetapkan bahwa pada tanggal 10 Nopember 1828 M, Ngawi ditetapkan sebagai daerah Narawita (pelungguh) Bupati Wedono Monco Negoro Wetan. Peristiwa tersebut merupakan bagian dari perjalanan Sejarah Ngawi pada jaman kekuasaan Sultan Hamengku Buwono,’’ tambahnya.
Selanjutnya tim menerima hasil penelitian Bapak MM. Soekarto K. Atmodjo tentang Prasasti Canggu tahun 1280 Saka pada masa pemerintahan Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk. Selanjutnya menetapkan bahwa pada tanggal 7 Juli 1358 M, Ngawi ditetapkan sebagai Naditirapradesa (daerah penambangan) dan daerah swatantra.
‘’Peristiwa tersebut merupakan Hari Jadi Ngawi sepanjang belum diketahui data baru yang lebih tua,’’ tegasnya.
Selanjutnya tanggal 7 Juli 1358 ditetapkan sebagai Hari Jadi Ngawi melalui Surat Keputusan nomor : 188.70/34/1986 tanggal 31 Desember 1986 DPRD Kabupaten Dati II Ngawi telah menyetujui tentang penetapan Hari Jadi Ngawi.
Dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bupati KDH Tk. II Ngawi No. 04 Tahun 1987 pada tanggal 14 Januari 1987. Namun Demikian tidak menutup kemungkinan untuk melakukan penelusuran lebih lanjut serta menerima masukan yang berkaitan dengan sejarah Ngawi sebagai penyempurnaan di kemudian hari. (*)