KETIK, SURABAYA – Selain sebagai presiden pertama Indonesia, publik mengenal Sukarno sebagai seorang insinyur teknik sipil dan juga aktivis. Jalan hidup sebagai aktivis pro kemerdekaan ditempuh sejak masih remaja di Surabaya, dan kemudian berlanjut ketika kuliah di Bandung.
Namun tak banyak orang yang tahu, bahwa Bung Karno juga pernah menjadi guru di sekolah. Profesi sebagai pendidik di sekolah itu dijalani Bung Karno beberapa saat setelah ia lulus kuliah dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (Sekolah Tinggi Teknik Bandung) atau yang sekarang bernama Institut Teknologi Bandung (ITB).
Saat itu, setelah wisuda pada 25 Mei 1926, Bung Karno dihadapkan pada kebimbangan setelah menyandang gelar Ingeniuer atau insinyur bidang jalan raya dan pengairan. Sebagai anak dari keluarga ningrat, Sukarno masih mendapat uang kiriman dari orang tuanya saat ia masih kuliah.
Namun sejak ia wisuda, kiriman uang itu sudah dihentikan. Di sisi lain, Sukarno juga sudah menikah, bahkan untuk yang kedua kalinya. Yakni dengan Inggit yang ia nikahi tiga tahun sebelumnya.
“Aku sangat memerlukan uang dan pekerjaan. Aku sudah tidak mempunyai harapan sama sekali untuk memperoleh kedua-duanya itu sampai aku mendengar ada lowongan di sekolah Ksatrian Institut,” cerita Bung Karno kepada Cindy Adams, jurnalis asal Amerika Serikat yang menulis buku biografi berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Sebenarnya, sebagai salah satu lulusan terbaik di kampusnya, Sukarno saat itu mendapat tawaran pekerjaan yang mentereng dari dosennya, Prof Ir Wolf Schoemaker. Yakni bekerja sebagai kontraktor di lembaga pemerintah Hindia Belanda. Sang profesor sangat terkesima dengan tugas akhir Sukarno yang mengulas soal konstruksi pembangunan pelabuhan.
Namun, tawaran itu ditolak Sukarno. Sebagai aktivis pro kemerdekaan, ia menganut prinsip non kooperatif. Sukarno pantang bekerja untuk pemerintah Hindia Belanda, meski dengan iming-iming gaji yang menggiurkan.
Tawaran untuk mengajar itu kemudian diambil oleh Sukarno. Selain karena sekolah itu milik aktivis pro kemerdekaan – Dr Setiabudi alias Ernest Douwes Dekker-, juga karena saat itu Sukarno sedang benar-benar butuh uang. Bahkan untuk menyambut tamu dari sekolah yang menawarinya mengajar, Sukarno dan Inggit sampai tak mampu membeli gula.
“Inggit dan aku benar-benar sedang terpuruk. Apa yang dapat kami suguhkan kepada tamu hanya secangkir teh encer tanpa gula,” kenang Sukarno kepada Cindy Adams.
Sebenarnya Sukarno sempat bimbang atas tawaran mengajar sebagai guru itu. Sebab, ada dua mata pelajaran yang harus diajar oleh Sukarno di sekolah Ksatrian Institut. Yakni Matematika dan Sejarah.
Uniknya, meski Sukarno merupakan salah satu lulusan terbaik di sekolah teknik sipil, ia mengaku tak begitu menguasai pelajaran matematika.
“Aku berbohong (dengan mengatakan) aku sangat menguasai matematika. Aku tidak punya pilihan lain,” ujar Sukarno menceritakan jawaban yang ia berikan kepada utusan dari sekolah Ksatrian Institut yang menawarinya mengajar.
Di sisi lain, Sukarno sangat schwung, bergairah saat ditawari mengajar pelajaran Sejarah kepada anak-anak sekolah. Namun metode mengajar pelajaran Sejarah yang digunakan Sukarno di luar pakem kebiasaan.
“Tak seorangpun memberiku petunjuk mengenai seni mengajar. Sehingga aku mencoba caraku sendiri. Dalam pelajaran sejarah, aku memiliki gaya sendiri,” tutur Sukarno.
Sukarno yang kala itu berusia 25 tahun, enggan mengajari murid-muridnya tentang hafalan dalam materi sejarah. Baginya, itu tidak penting.
“Aku tak peduli tentang tahun berapa Columbus menemukan Amerika. Atau tahun berapa Napoleon gagal (kalah perang) di Waterloo. Juga hal-hal remeh lainnya,” ungkap Sukarno.
Ia mengajarkan pelajaran sejarah kepada sekitar 30 muridnya dengan gaya layaknya orator demonstrasi. Hal ini tak lepas dari latar belakangnya yang meledak-ledak penuh semangat ketika berpidato. Sesuatu yang antara lain ia pelajari dari mantan mertuanya, HOS Tjokroaminoto.
“Aku mendramatisasi peristiwa-peristiwa sejarah dengan adegan mirip sandiwara. Aku tidak memasukkan pengetahuan kronologis yang beku. Itu bukan cara Sukarno. Bukan cara seorang orator berbakat,” ungkap Bung Karno.
Hina Pemerintah di Depan Pegawai Pemerintah
Suatu hari, Sekolah Ksatrian Institut kedatangan penilik atau pengawas sekolah. Aturan dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda kala itu, setiap sekolah akan dikunjungi oleh penilik secara random. Tujuannya untuk mengecek atau mengawasi pembelajaran di setiap sekolah. Penilik itu akan masuk ke dalam kelas, bergabung bersama para murid untuk mengetahui, bagaimana cara guru itu mengajar.
Dan secara kebetulan, penilik itu masuk ke dalam kelas Sukarno yang sedang mengajar sejarah. Dan kebetulan pula, materi saat itu adalah tentang Imperialisme, sesuatu yang amat sensitif bagi seorang aktivis pro kemerdekaan seperti Bung Karno.
“Ini merupakan pelajaran yang kukuasai, membuat aku begitu emosional sehingga sambil melompat-lompat, aku menjelaskan dan mengutuk seluruh sistemnya,” papar Sukarno.
Tanpa tendeng aling-aling, di hadapan penilik berkebangsaan Belanda -yang bekerja untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda-, Bung Karno menjelaskan tentang imperialisme sembari memaki-maki pemerintah.
“Aku tanpa ragu menyebut Negeri Belanda sebagai kolonialis yang terkutuk,” seru Bung Karno.
Selama hampir 2 jam, di depan murid dan juga pegawai penjajah, Bung Karno meluapkan buruknya perlakuan keji Belanda terhadap rakyat bumiputra. Sang penilik terlihat menahan emosi selama Bung Karno mengajar.
“Ketika jam pelajaran dan pelampiasan amarahku berakhir, penilik sekolah itu dengan terus terang menyatakan aku tidak memiliki masa depan untuk pekerjaan ini,” ungkap Sukarno.
“Raden Sukarno, anda bukan guru. Anda adalah pengkhutbah,” ucap Sukarno menirukan ucapan sang penilik kepadanya.
Pada hari itu pula, Bung Karno dipecat dari pekerjaannya sebagai guru di Sekolah Ksatrian Institut. Padahal, ia belum lama mengajar di sekolah itu.
“Dan inilah akhir dari karirku yang singkat sebagai guru,” ucap Bung Karno. (*)