Cuaca panas Kota Surabaya membuat penulis memilih untuk bersantai saja pada sebuah ruangan ber-AC sambil membuka serta melihat-lihat aplikasi percakapan WhatsApp. Penulis terkejut ketika tiba-tiba menerima kabar melalui WhatsApp tentang adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh tim penyidik Pidana Khusus (Pidsus) dari Kejaksaan Agung terhadap 3 orang hakim dari Pengadilan Negeri Surabaya.
Ketiga hakim tersebut beberapa waktu lalu sempat membuat heboh publik karena menjatuhkan putusan bebas terhadap Ronald Tannur atas kasus pembunuhan terhadap Dini Sera Afrianti. Mereka adalah Erintuah Damanik, Mangapul, dan Heru Hanindyo.
Berita ini semakin meningkatkan rasa panas di tengah cuaca Kota Surabaya yang memang sudah terasa panas. Banyak pertanyaan muncul dari berbagai kalangan tentang keabsahan OTT yang dilakukan oleh penyidik Pidsus Kejaksaan Agung tersebut.
Penulis tidak merasa heran dengan munculnya pertanyaan ini mengingat OTT seolah-olah seperti sebuah merk yang telah dipatenkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingat kegiatan-kegiatan OTT dari KPK sangat sering menghiasi pemberitaan pada media massa. Berdasarkan hal tersebut, penulis lebih memilih untuk fokus terhadap kegiatan OTT dari sudut pandang yuridis.
Tertangkap Tangan dan Operasi Tangkap Tangan
Pasal 1 Angka 19 KUHAP memaparkan tentang definisi tertangkap tangan yang berbunyi “Tertangkapnya seorang pada waktu melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu”.
Apabila kita memahami dengan seksama uraian tersebut, maka agar dapat disebut sebagai tertangkap tangan maka seorang pelaku tindak pidana harus dipergoki oleh seseorang ketika dia melakukan tindak pidana, atau setelah perbuatan dilakukan dengan sesegera mungkin ada seseorang yang memergoki, atau ada beberapa orang yang memergoki perbuatannya dan orang -orang tersebut menyatakan bahwa dialah pelaku tindak pidananya.
Dapat diartikan secara singkat bahwa pada intinya agar dapat dikatakan sebagai tertangkap tangan, maka perbuatannya harus terjadi seketika itu pula. Penulis memandang perlu untuk menguraikan hal ini terlebih dahulu agar pembaca mendapatkan gambaran terlebih dahulu sebelum membandingkan dengan kegiatan OTT.
Aparat Penegak Hukum sebelum memutuskan untuk melakukan kegiatan OTT, pastinya juga telah melakukan perencanaan-perencanaan yang matang, termasuk memilih target yang akan di-OTT. Tidak mungkin apabila Aparat Penegak Hukum melakukan OTT terhadap sembarang orang, terlebih orang tersebut tidak memiliki suatu kewenangan melekat secara atributif, bukanlah seorang pengambil atau penentu sebuah kebijakan, atau bukanlah seorang pejabat atau penyelenggara negara. Karena kegiatan OTT sangat erat kaitannya dengan tindak pidana korupsi.
Sebelum melakukan kegiatan OTT terhadap obyek dan sasaran yang telah ditentukan, aparat penegak hukum terlebih dahulu melakukan pengumpulan bukti-bukti, melakukan pengintaian-pengintaian secara rahasia, bahkan melakukan penyadapan telepon apabila diperlukan. Sehingga setelah dipandang cukup, maka akan segera menuju sasaran yang telah ditentukan untuk memergoki secara langsung perbuatan yang telah dilakukan oleh seseorang yang telah ditarget tersebut. Apabila uraian ini dibandingkan dengan uraian sebelumnya maka akan menimbulkan sebuah pertanyaan apakah tertangkap tangan dan OTT adalah sebuah hal yang sama?
Jawabannya tentu tidak. Tertangkap tangan dan OTT merupakan dua hal yang berbeda. Dalam hal tertangkap tangan, suatu perbuatan dipergoki secara spontan ketika pelaku tindak pidana melakukan perbuatannya. Atau dengan kata lain dipergoki secara tidak sengaja. Lain halnya dengan OTT yang memang sudah direncanakan dengan sangat matang dan orang yang menjadi obyek sasaran memang sengaja diintai atau dimata-matai.
Penulis mengemukakan sebuah analogi bahwa menjadi sesuatu yang tidak mungkin jika tiba-tiba saat Aparat Penegak Hukum sedang makan siomay atau sedang minum es kelapa muda di pinggir jalan tiba-tiba memergoki seseorang yang sedang menerima segepok uang tunai dalam pecahan mata uang Rupiah atau Dollar, padahal belum diketahui identitas dan latar belakang orang tersebut apakah pejabat negara atau penyelenggara negara atau bukan. Mungkin juga orang tersebut merupakan seorang pedagang atau seorang pengusaha di bidang usaha tertentu yang memang sudah terbiasa bertransaksi uang dengan jumlah yang besar.
Oleh sebab itu maka sebelum dilakukan kegiatan OTT pada sasaran yang telah ditentukan, salah satu hal yang dilakukan Aparat Penegak Hukum yaitu memastikan tentang identitas dan latar belakang target yang akan menjadi obyek sasaran. Jika melihat fakta -fakta tentang OTT, maka tidaklah berlebihan apabila penulis berpandangan bahwa Tertangkap Tangan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) merupakan 2 (dua) hal yang berbeda, namun OTT sama halnya dengan penyelidikan.
Kewenangan Kejaksaan Agung
Setelah penulis membuat uraian tentang Tertangkap Tangan dan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di atas, maka sampailah pada kesimpulan bahwa menurut penulis, OTT adalah sama saja dengan penyelidikan. Definisi penyelidikan menurut KUHAP pada intinya adalah suatu tindakan untuk menemukan ada atau tidaknya perbuatan pidana. Penyelidikan merupakan sebuah tahap awal yang harus dilakukan sebelum memasuki tahap penyidikan.
Ketika berbicara mengenai OTT, sudah pasti adalah tentang perbuatan-perbuatan yang termasuk pada kelompok tindak pidana korupsi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Pasal 30 Ayat (1) huruf d dinyatakan bahwa kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan dalam hal tindak pidana korupsi. Sehingga dengan memperhatikan dengan sepenuhnya pada ketentuan pasal ini, maka kegiatan OTT yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap 3 (tiga) orang hakim Pengadilan Negeri Surabaya adalah sah secara hukum. Karena memang telah jelas bahwa kejaksaan mempunyai kewenangan penyidikan dalam hal tindak pidana korupsi, maka tindakan penyelidikannya memang harus dilaksanakan.
*) Azizul Hakiki, S.H., M.H. adalah Dosen Hukum Acara Pidana Universitas Bhayangkara Surabaya
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)