KETIK, SURABAYA – Polemik adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai ambang batas dan peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah tak memiliki kursi.
Dua Putusan MK tersebut, pertama, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.
Kedua, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan calon.
Putusan yang dikeluarkan pada Selasa 20 Agustus 2024 itu berbunyi bahwa MK memutuskan untuk mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik.
Di mana yang semula memerlukan perolehan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah, menjadi lebih rendah. Yakni 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap.
Di sisi lain, MK juga menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah sebagaimana tercantum dalam Perkara Nomor 70/PUU-XXII/2024.
Menanggapi hal itu, Pakar Hukum Universitas Airlangga (Unair), Dr Mohammad Syaiful Aris SH MH LLM, mengatakan, keputusan tersebut tentunya membawa dampak yang signifikan bagi partai-partai politik, calon kepala daerah, serta masyarakat.
Menurutnya, putusan MK yang mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora memiliki dampak signifikan terhadap mekanisme pencalonan kepala daerah.
"Dengan penurunan ambang batas pencalonan, partai politik kecil yang memperoleh suara minimal 6,5% hingga 10% sesuai jumlah penduduk dalam daftar pemilih tetap kini memiliki kesempatan lebih besar untuk mencalonkan pasangan calon kepala daerah," ucapnya melalui keterangan tertulis Jumat 23 Agustus 2024.
Ia menuturkan, perubahan tersebut diharapkan mampu mengurangi dominasi partai-partai besar.
Selain itu, perubahan tersebut juga dapat meminimalkan potensi munculnya calon tunggal di suatu daerah, yang sebelumnya menjadi kekhawatiran karena persyaratan ambang batas yang tinggi.
"Dengan lebih banyak partai yang bisa mengajukan calon, kompetisi dalam Pilkada akan semakin terbuka, yang pada akhirnya bisa meningkatkan kualitas demokrasi lokal," tuturnya.
Terkait putusan MK yang menolak permohonan pengujian ketentuan batas usia minimal calon kepala daerah, Aris menjelaskan bahwa keputusan tersebut sudah tepat.
Menurutnya, keputusan itu penting untuk memastikan standar kualifikasi yang diperlukan bagi calon kepala daerah.
"Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 mempertegas bahwa syarat usia calon kepala daerah harus dihitung pada saat penetapan pasangan calon. Hal ini memaksa KPU untuk mematuhi ketentuan ini dan memastikan bahwa hanya calon yang memenuhi persyaratan usia yang dapat didaftarkan," jelasnya.
Ia menuturkan, bahwa dalam konteks hak politik, hak untuk dipilih merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable rights).
Untuk itu, pembatasan usia minimal sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yakni minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati, wali kota, dan wakilnya, sudah tepat dan sesuai dengan prinsip hukum.
Aris juga menyampaikan bahwa putusan-putusan MK itu dapat memengaruhi kepercayaan publik terhadap sistem peradilan konstitusi dan sistem politik di Indonesia.
Menurutnya, kepercayaan ini sangat penting untuk keberlangsungan demokrasi yang sehat.
"Kepercayaan publik terhadap MK sangat bergantung pada bagaimana lembaga negara, termasuk DPR, mematuhi putusan-putusan MK. Jika mereka memberikan contoh yang baik dengan mengikuti putusan tersebut, maka kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan konstitusi akan tetap terjaga," tukasnya.
Dua Putusan MK tersebut, pertama, Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Kedua, Putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan usia calon gubernur dan wakil gubernur minimal 30 tahun saat penetapan calon. (*)