KETIK, JAKARTA – Saat baru memproklamasikan kemerdekannya pada 17 Agustus 1945, kondisi Indonesia penuh dengan keprihatinan. Perang untuk mempertahankan kemerdekaan berlangsung di berbagai penjuru. Terlebih Belanda yang belum rela kehilangan tanah jajahannya, menggunakan berbagai macam cara untuk bisa kembali menguasai Indonesia.
Kondisi perang melawan Belanda itu berlangsung setidaknya hingga tercapainya Konferensi Meja Bundar pada tahun 1949. Namun di sela-sela situasi yang penuh keprihatinan itu, terselip pula beragam cerita jenaka. Salah satunya ketika Indonesia harus menyambut kedatangan tamu-tamu negara.
Kala itu, ibukota negara sedang dipindahkan ke Yogyakarta untuk menghindari pendudukan Belanda. Sukarno yang baru beberapa bulan menjabat sebagai Presiden, dihadapkan pada kondisi berbagai macam keterbatasan. Tidak hanya anggaran, tetapi juga pegawai Istana Kepresidenan. Hal itu diceritakan dalam salah satu biografi Bung Karno yang ditulis dengan gaya bertutur oleh Cindy Adams, “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Suatu ketika, Indonesia sedang menggelar jamuan makan diplomatik besar untuk yang pertama kalinya sejak merdeka. Sejumlah diplomat dan kepala negara diundang ke Istana Yogyakarta, tempat Presiden Sukarno berkantor sementara.
Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Sukarno saat itu bahkan belum memiliki ajudan atau pasukan pengawal kepresidenan. “Kami memiliki begitu banyak masalah protokol yang menggelikan. Seorang sipil lalu diangkat menjadi ajudanku,” kenang Sukarno.
Maka seorang rakyat biasa yang belum pernah mengikuti pendidikan militer sama sekali, dan bahkan tidak tahu etiket keprotokolan kepala negara, langsung diangkat menjadi perwira militer. Pengangkatan itu dilakukan secara lisan.
“Dengan ini aku mengangkatmu menjadi seorang letnan,” ujar Sukarno.
Sang rakyat biasa itu langsung gembira, diangkat menjadi ajudan presiden dengan pangkat letnan, pangkat dasar di golongan perwira. Terlebih, Sukarno saat itu merupakan sosok pemimpin yang kharismatik.
“Terima kasih banyak pak,” jawab sang ajudan baru presiden, dengan raut muka berseri-seri, seperti dikisahkan Bung Karno kepada Cindy Adams.
Selang satu jam kemudian, masalah kecil timbul. Seorang penasehat Sukarno membisiki sang presiden di sela-sela menyambut tamu negara. Sebab, salah satu tamu negara yang hadir adalah Ratu Juliana dari negeri Belanda.
“Ratu Juliana yang memerintah 10 juta orang, ajudannya berpangkat kolonel. Sedangkan Sukarno, Presiden Republik Indonesia yang memerintah 70 juta orang, masak ajudannya hanya berpangkat letnan. Bagaimana orang melihat itu,” ujar sang penasehat presiden.
“Betul juga kamu,” ujar Sukarno menyetujui saran sang penasehat.
Bung Karno tak mau kalah dengan tamu yang pernah menjajahnya itu. Lantas Bung Karno langsung memanggil ajudan yang baru ia angkat.
“Sudah berapa lama engkau menjadi letnan ?” tanya Sukarno.
“Satu jam yang lalu pak,” jawab sang ajudan yang tidak disebutkan namanya itu.
“Kita adalah negara baru yang sedang tumbuh dengan cepat. Maka mulai sore ini, kamu menjadi mayor,” ucap Sukarno yang menaikkan pangkat ajudannya secara lisan. Pada masa itu, mayor lebih tinggi dari kolonel dan letnan.
Begitulah kondisi Indonesia saat baru merdeka. Kondisi saat ini tentu jauh berbeda. Di mana untuk menjadi perwira seperti letnan satu misalnya, membutuhkan perjuangan yang berdarah-darah. Mulai dari seleksi masuk hingga untuk naik pangkat, harus melewati persaingan ketat. (*)