Terlupakan, mungkin itu kalimat yang tepat disematkan terhadap situs sejarah Makam Ulama Habib Ibrahim Alaydrus yang ada di Sinabang, bagaimana tidak, generasi tidak ada yang tahu tentang peradaban Islam yang berkembang di Sinabang yang dibawa para musafir musafir.
Minimnya informasi sejarah dari para orang orang tua berdampak kepada generasi yang buta akan sejarah daerahnya. Padahal sejarah lokal berdampak positif terhadap identitas kita selaku anak negeri.
Mungkin sebagian masyarakat Sinabang menganggap bahwa cerita sejarah merupakan urusan masa lalu yang tidak berguna di masa sekarang, sejarah merupakan kegiatan yang membosankan dan sulit untuk dipahami.
Bahkan kebanyakan aktifitas sejarah dilaksanakan di pemakaman (kuburan), sesuatu yang aneh, berada dilorong yang gelap, dan ada juga segelintir orang mengatakan, mempelajari sejarah bikin kita "tasapo" karena aktifitasnya di kuburan.
Kita generasi Sinabang, tidak bisa mengambil contoh dari negara luar baik Eropa maupun bangsa Jepang yang sangat menghargai sejarah peradaban negaranya sendiri, yang berdampak terhadap ekonomi pembangunan, dijadikan sebagai objek wisata yang banyak dikunjung oleh traveler, baik lokal maupun luar negeri untuk mengunjungi situs bersejarah yang ada di Negara mereka.
Jauh dari cerita Eropa dan Bangsa Jepang, Banda Aceh juga merupakan kota yang sangat dikenal dengan wisata religinya, banyak peninggalan-peninggalan sejarah berupa Masjid Raya Baiturahman, situs makam Sultan Iskandar Muda, situs ulama seperti makam Hamza Fansury dan Situs Makam Abdurrauf Al Singkily.
Situs ini selalu terjaga dan terus diedukasi ke masyarakat lokal maupun pendatang tentang eksitensinya di masa lalu.
Berbanding terbalik tentang keberadaan situs sejarah makam Habib Ibrahim Alaydrus, tidak ada yang peduli, lokasinya sangat memprihatinkan, dikelilingi semak belukar, bahkan batu nisannya sudah dijadikan batu asahan parang, tanah makamnya mulai digusur untuk penimbunan pembangunan rumah dan sekarang bahkan teramcam longsor.
Padahal, jika kita telisik lebih jauh, inilah makam ulama yang ada di Sinabang yang sering disebut masyarakat, kuburan habib atau kuburan gunung abit.
Sejarah Singkat Habib Ibrahim Alaydrus
Habib Ibrahim Alaydrus merupakan musafir dariYaman yang datang ke Sumatra dalam misi syiar Islam, awal masuknya Habib Ibrahim Alaydrus ke Sumatera tepatnya di daratan Barus dan sempat tinggal beberapa tahun di Barus sebelum melanjutkan perjalanan ke Aceh tepatnya di Desa Kuala Ba’u Aceh Selatan,
Di kuala Ba’u, habib diceritakan menurut beberapa sumber lisan menikah dengan perempuan lokal dan memiliki seorang anak bernama Ismail (Habib Ismail Alaydrus). Misi syiar Islam yang dilakukan Habib Ibrahim Alaydrus sampai ke Pulau Simeulue tepatnya di Kota Sinabang, atau di Teluk Sinabang
Habib Ibrahim Alaydrus dalam misi syiarnya sempat membuka surau di tepi sungai Sinabang, dengan banyak murid pengajian dan tasauf-nya.
Habib Ibrahim Alaydrus ini diketahui keberdaanya selain dari cerita keturunan habib yang masih hidup (Sayeid Adnan Alaydrus) juga informasi inkripsi batu nisan habib yang bertulis.
Dalam catatan pengujian Arkeologi USK Tahun 2024, bahwa Habib Ibrahim Alaydrus ulama abad 18 awal (1700-an) di bawah Pemerintahan Sultan Aceh Darussalam (Sultan Jamal Al Alam Badr Al Munir 1703-1726).
Menurut Ahli Arkeologi, Nisan Habib Ibrahim Alaydrus bertipe Aceh berhiaskan seni Barus.
Situs Sejarah Makam Habib Ibrahim Alaydrus berlamatkan di Lorong Nangka, Desa Sinabang, di atas gunung yang dikenal oleh masyarakat setempat "Gunung Abit". Di atas gunung tersebut terdapat tiga makam bertipe nisan yang sama, selain makam Habib Ibrahim, juga terdapat makam istri dan anaknya Habib Ismail Alaydrus.
Harapan kami sebagai pemerhati sejarah Simeulue, agar kiranya kita secara bersama-sama membuat gerakan dan dukungan untuk dapat berpartisipasi dalam pemugaran situs sejarah makam Habib Ibarahi Alaydrus dan keluarganya.
Tetap selalu kita jaga keberadaanya, dijadikan sebagai sumber sejarah lokal kita, yang selalu diedukasikan ke generasi agar generasi bisa mengetahui sejarah peradaban Islam di negerinya sendiri. Juga sebagai kajian ilmu sejarah yang bisa ditulis kembali oleh generasi.
*) Ramadhan Dandi merupakan sejarawan dan Ketua Komunitas Central Informasi Sejarah Simeulue
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
- Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id.
- Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
- Panjang naskah maksimal 800 kata
- Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
- Hak muat redaksi.(*)