KETIK, JAKARTA – Sebuah gedung gereja tua di pinggiran Ambarawa, Jawa Tengah, menjadi saksi bisu bagi Aswis Sumarmo untuk memulai fase baru dalam hidupnya. Akhir tahun 1945, ketika itu ia masih belum lulus sekolah menengah. Namun bersama rekan-rekannya, Aswis telah memulai karir di dunia militer yang tak biasa.
Aswis Sumarmo merupakan satu dari 36 remaja yang direkrut sebagai anggota intelijen militer Indonesia generasi awal –meski bukan yang pertama – pasca Indonesia merdeka. Pemimpin perekrutan itu adalah Zulkifli Lubis, sosok berperawakan kecil yang dikemudian hari dikenal sebagai Bapak Intelejen Indonesia.
“Kami dikirim ke sebuah gereja Katolik terbengkalai yang didirikan biarawan Trappis yang bersumpah untuk membisu. Suasana memanas karena terjadi pertempuran hebat di Ambarawa, sehingga kami harus pindah ke bekas penjara Jepang yang dulunya untuk menahan para wanita Belanda,” ujar Aswis Sumarmo saat diwawancarai Ken Conboy pada Maret 2003 yang kemudian menjadi salah satu bahan dalam buku ‘Intel: Menguak Tabir Dunia Intelejen Indonesia’.
Para pemuda ini secara khusus direkrut Zulkifli Lubis untuk memperkuat pertahanan Indonesia yang masih seusia bayi itu. Jangan bayangkan mereka menjalani pendidikan dan beroperasi secara mewah seperti dalam film-film James Bond.
Dalam situasi darurat, para calon intel ini menempuh pendidikan dasar intelijen dengan tinggal di bekas sel penjara milik Jepang. Mereka dididik dengan instruktur beragam latar belakang. Tiga orang mantan prajurit kapal selam NAZI Jerman yang enggan kembali ke negaranya setelah kalah perang, direkrut oleh Zulkifli Lubis untuk memberi pendidikan fisik bagi 36 calon intel Indonesia yang berasal dari berbagai suku-suku di bumi Nusantara.
Dua mantan perwira Jepang yang berpihak ke Indonesia, diminta menjadi pengajar teknik-teknik paramiliter. Mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA) mengajarkan teknik tempur. Adapun sang kepala sekolah, Zulkifli Lubis menjadi pengajar penganter intelejen.
Salah satu pelajaran dasar dari Zulkifli Lubis ini yang kemudian dijadikan kode etik perwira intelejen Indonesia di masa awal. Yakni “prajurit bayangan yang bertempur dalam perang adu pintar”. Mereka kemudian dinyatakan lulus pada awal Mei 1946 dan di bawa ke Yogyakarta yang saat itu menjadi ibukota sementara Indonesia.
Ke 36 perwira intelijen ini kemudian mendapat tanda pengenal yang ditandatangani Presiden Sukarno dan menjadi anggota Badan Rahasia Negara Indonesia (BRANI) pada 07 Mei 1946. Inilah cikal bakal lembaga intelejen pertama di Indonesia, yang dipimpin Zulkifli Lubis.
Berperawakan Lembut, Zulkifli Lubis Intel Cerdas Didikan Jepang
Terlahir di Aceh dua hari menjelang Natal 1923, Zulkifli Lubis merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara. Putra pasangan Aden Lubis yang bergelar Sutan Srialam dan Siti Rewan Nasution ini, berasal dari keluarga guru dan tidak memiliki latar belakang militer di keluarganya.
Ken Conboy, penulis spesialis militer dan intelejen menulis, perawakan Zulkifli Lubis di masa muda sama sekali tidak menunjukkan karakter perwira militer yang garang. Ia dikenal sebagai sosok berkacamata yang tidak menyukai olahraga dan bahkan lembut seperti wanita. Di sisi lain, ia juga dikenal sebagai pelajar yang cerdas sehingga bisa mendapatkan kesempatan melanjutkan pendidikan SMA di Yogyakarta pada 1941.
Setahun berselang, Jepang datang mengusir Belanda dan menguasai Hindia Belanda. Negeri matahari terbit itu kemudian membentuk paramiliter bernama Pembela Tanah Air (PETA) untuk membantunya menghadapi Sekutu di Perang Dunia II, dengan kedok siap membantu persiapan kemerdekaan Indonesia.
Pada awal tahun 1943, jiwa muda Zulkifli Lubis menuntunnya untuk bergabung dengan PETA. Pada usia 18 tahun, ia menjadi taruna militer dengan kecabangan di bidang intelejen.
Zulkifli Lubis pertama kali belajar dasar-dasar intelejen dengan bergabung ke Nakano, sekolah intelejen militer Jepang yang membuka cabang pendidikan di Tangerang. Ia menjadi lulusan pertama pada tahun 1944 dan ditempatkan di Singapura.
Setelah Indonesia merdeka, Zulkifli Lubis segera pulang ke tanah air dan merekrut puluhan bekas koleganya di PETA untuk mendirikan organisasi intel. Ia memberi pangkat untuk dirinya sendiri, kapten –sebuah pangkat yang cukup tinggi pada masa itu.
Setelah berhasil meluluskan perwira intelejen pertama di BRANI pada 1946, Zulkifli Lubis terus merekrut beberapa angkatan perwira intel yang berasal dari berbagai suku. Mereka kemudian disebar ke berbagai penjuru tanah air untuk memperkokoh ketahanan Indonesia. Di sisi lain, Zulkifli Lubis juga semakin dekat dan dipercaya oleh Presiden Sukarno.
Dari Pahlawan Menjadi Pemberontak
Setelah kemerdekaan Indonesia diakui tahun 1949, karir Zulkifli Lubis terus menanjak. Namun dari situ pula, Zulkifli Lubis mulai terlibat friksi dan bahkan konflik terbuka dengan perwira militer lainnya. Salah satunya dengan TB Simatupang yang saat itu menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (setara dengan Panglima TNI saat ini dengan kewenangan yang berbeda).
Puncaknya ketika terjadi pergeloakan di daerah yang kemudian melahirkan PRRI/Permesta, Zulkifli Lubis terlibat sebagai salah satu aktor utama di dalamnya. Pilihan yang sebenarnya tidak menguntungkan itu didasari idealisme Zulkifli Lubis yang menilai pemerintahan Sukarno mulai otoriter dan cenderung dekat ke komunis.
Pemberontakan yang juga dipicu kritik daerah terhadap pusat itu, membuat Zulkifli kembali bergerilya di hutan. Ia resmi bergabung pada tahun 1958, setelah sebelumnya dituduh terlibat dalam peristiwa Cikini.
Seiring dengan semakin kuatnya TNI, kekuatan PRRI juga mulai melemah. Hal ini membuat sejumlah perwiranya, termasuk Zulkifli Lubis menyerah. Ia kemudian dipenjara pada tahun 1961 dan bebas pada tahun 1966 seiring dengan jatuhnya Sukarno.
Setelah bebas dari tahanan militer, Zulkifli Lubis hidup “menggelandang” dengan bekerja serabutan. Ia dan keluarganya kemudian di tampung di rumah milik seorang perwira polisi militer di Bogor.
Meski dijebloskan ke penjara oleh Sukarno, pergantian rezim tak membuat Zulkifli Lubis merapat ke penguasa. Ia sebenarnya sempat ditawari untuk aktif kembali di pemerintahan, namun tawaran itu ia tolak. Sebab, ia menilai pemerintahan Soeharto banyak penyimpangan dan tidak demokratis.
Sempat berada di sekitar penjuru kekuasaan di masa awal republik ini berdiri, Zulkifli Lubis akhirnya memilih berjarak dari penguasa Orde Baru hingga ajal menjemput pada 23 Juni 1993. (*)