KETIK, JAKARTA – Sejumlah pakar menangkap sinyal adanya skenario upaya membangun dinasti politik dari istana negara. Pembahasan tersebut memang tengah menjadi bola panas liar.
Presiden Jokowi disinyalir sedang mempersiapkan rencana membangun 'kerajaan keluarga'. Pengamat Politik dari Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedillah Badrun mengungkapkan, dalam situasi sekarang wajah dinasti politik atau kerajaan keluarga bisa bersembunyi di balik politik elektoral.
Menurutnya, kini muncul semacam model baru dinasti politik di era demokrasi liberal dan digital. Yaitu terkesan dipilih oleh rakyat melalui Pemilu. Namun, motif sesungguhnya adalah membangun dinasti atau kerajaan keluarga agar keturunannya terus berkuasa.
Di zaman feodal, jelas Ubedillah, kepemimpinan ditentukan oleh birthright. Yaitu semacam hak lahir. Seseorang merasa dirinya berhak menjadi penguasa karena dilahirkan sebagai anak atau kerabat penguasa.
"Mindset birthright ini hanya ada di dalam diri orang yang tidak memahami demokrasi dan tidak pernah berjuang dalam menegakkan demokrasi," ujarnya, Rabu (1/2/2023).
Sementara itu, Pemerhati Sejarah Arief Gunawan menyebut, alih-alih mendorong lahirnya demokrasi berkeadilan dan berkorelasi kepada kesejahteraan rakyat, belakangan ini justru sedang muncul gejala kuat lahirnya 'kerajaan baru' tersebut.
"Masyarakat kini mensinyalir ada skenario besar yang sedang dibangun oleh Jokowi untuk melanggengkan kekuasaan dengan membentuk kerajaan keluarga," ujar Arief.
Setelah skenario perpanjangan masa jabatan presiden dikritisi secara tajam oleh publik dan gagal di tengah jalan, kini Jokowi diduga sedang membangun kerajaan keluarga.
Jokowi disebut melibatkan anak-anaknya untuk terjun ke dunia politik. Mulai Wali Kota Solo Gibran (anak) Wali Kota Medan Bobby (menantu) dan kini Kaesang digadang segera mengikuti jejak mereka.
"Gibran kabarnya diproyeksikan akan menjadi Gubernur Jakarta, sedangkan Kaesang menempati posisi Wali Kota Solo," kata Arief.
"Kondisi yang menggambarkan kemunduran demokrasi ini jelas memperlihatkan bahwa kita terjebak dalam kesalahan memilih pemimpin, sehingga hari ini feodalisme berupa kerajaan keluarga menjadi bahaya laten yang merusak demokrasi namun dengan mengatasnamakan demokrasi," beber Arief Gunawan.
Ia kemudian membandingkan orde lama sebagai Vorstenlandse Republik atau Republik Keraton. Di mana Presiden Sukarno menempatkan diri sebagai waliyul amri, penyambung lidah rakyat, nelayan agung, panglima tertinggi, paduka yang mulia, pemimpin besar revolusi, dan seterusnya.
"Tapi waktu berkuasa selama 22 tahun tidak membangun kerajaan keluarga," ungkap Arief.
Sukarno, lanjutnya, tidak menunjuk anak, menantu, atau para kerabat kala itu. Misalnya untuk menjadi wali kota, terjun ke lapangan politik atau menjadi businessman dadakan dengan berjualan, aset triliunan dan menguasai berpuluh-puluh perusahaan.
Sementara Presiden Soeharto pada masa orde baru mengidentikkan diri sebagai seorang prabu. Sehingga ketika turun dari kekuasaan menyebut diri lengser keprabon atau prabu yang turun tahta dari kerajaan.
"Dengan mengidentikkan diri sebagai seorang prabu, Soeharto ingin menjadi penguasa absolut seperti raja-raja Jawa yang penuh simbol, seperti Paku Buwono, Paku Alam, Mangku Bumi, dan seterusnya, yang bila Paku dicabut maka Buwana chaos. Apabila penguasa tak 'mangku bumi' maka terjadilah ketidakseimbangan," papar Arief.
Begitu pula dengan Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli. Ia menilai bahwa rekruitmen kepemimpinan lewat cara-cara pencitraan manipulatif harus dihentikan karena tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat.
Antara lain menonjolkan 'kesederhanaan, kesantunan dan gaya sok merakyat' namun ternyata bertendensi hipokrit.
"Raja-raja di Nusantara dulu juga mencanggih-canggihkan diri dalam membangun kerajaan keluarga melalui mitos-mitos dan menulis sejarah dalam puja sastra untuk menutupi kegagalan. Meski hasilnya dongeng belaka," kata Rizal Ramli.
Rizal Ramli mengatakan, jauh lebih baik apabila Jokowi dan keluarga mampu menahan diri dari ambisi kekuasaan karena gagal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.
“Jokowi tidak pernah berjuang untuk demokrasi, bisa menjadi presiden karena demokrasi. Setelah berkuasa mempreteli demokrasi dan mempersiapkan kerajaan keluarga,” tegas Menko Ekuin era Presiden Gus Dur tersebut.(*)