KETIK, SURABAYA – Jelang pendaftaran pasangan bakal capres – cawapres pada Oktober mendatang, bursa nama calon wakil presiden terus bertaburan. Sebagai satu kesatuan, presiden dan wakil presiden yang terpilih dalam Pilpres 2024 nanti diharapkan benar-benar menjadi Dwi Tunggal dalam menjalankan amanat rakyat selama lima tahun ke depan.
Terlepas dari dinamika kontestasi jelang Pilpres 2024 mendatang, negeri ini pernah memiliki pasangan presiden dan wakil presiden yang bersahabat kental namun kerap juga berkonflik. Mereka adalah Sukarno – Hatta, presiden dan wapres pertama Indonesia yang disatukan oleh keadaan.
Sukarno dan Hatta mulai bersahabat jauh sebelum keduanya menjadi presiden dan wakil presiden. Keduanya pertama kali bertemu tahun 1932 saat ngopi-ngopi di Bandung. Saat itu, Sukarno baru keluar dari Penjara Sukamiskin, dan Bung Hatta baru tiba di tanah air setelah menamatkan studi doktoralnya di Belanda.
Meski secara fisik baru bertemu, keduanya bisa dibilang sudah saling kenal sebagai sesama aktivis pergerakan kemerdekaan. Sejak masih kuliah di Belanda, Hatta rajin mengirimkan tulisan ke sejumlah koran cetak yang terbit di Tanah Air. Ini merupakan salah satu cara aktivis pada masa itu untuk memobilisasi massa. Begitu pula Sukarno yang rajin mengorganisir massa lewat pergerakan dan orasi.
“Sukarno menceritakan pengalamannya (selama dipenjara di) Sukamiskin. Hari-hari kerjanya membuat terkekang. Pukul 17:00 ia boleh mandi, tidak boleh lebih dari 5 menit,” tulis Hatta dalam otobiografinya yang berjudul “Untuk Negeriku (2): Berjuang dan Dibuang”. Kala itu, mereka sedang membicarakan rencana koalisi antara Partindo dari Sukarno dan PNI yang dipimpin Hatta.
Memoar yang edisi aslinya setebal 805 halaman itu diketik sendiri oleh Hatta. Ia menceritakan kisahnya dengan cukup runtut, sejak masa kecil hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dicapai dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Belanda tahun 1949. Namun, dari buku itu pula terlihat sosok Hatta yang amat serius. Nyaris tak ada cerita jenaka, romantis atau dramatis yang ia tulis dalam beratus-ratus halaman.
Padahal, seperti diceritakannya kepada sejumlah orang dekatnya, ada dua momen dalam hidup Hatta yang paling berharga. Pertama, ketika kemerdekaan Indonesia tercapai secara de jure dan de facto tahun 1949. Kedua, ketika ia menikah pada November 1949.
Sosok Hatta yang serius dan lurus, kerap kali menjadi bahan guyonan di kalangan para aktivis pro kemerdekaan pada masa itu. Salah satu yang kerap mengolok-olok Hatta adalah Sutan Sjahrir.
Dalam salah satu surat yang dikirim untuk istrinya -Maria Johanna Duchateau, Sjahrir melukiskan Hatta sebagai sosok yang terlalu serius dan tidak romantis kepada lawan jenis. Kala itu, Sjahrir memang sedang menjalin hubungan jarak jauh atau LDR dengan perempuan warga Belanda berdarah Prancis itu.
Begitu kakunya Hatta terhadap lawan jenis, bahkan sampai ada sebuah anekdot atau joke yang cukup populer pada masa itu. Kisah fiktif itu dikarang oleh Sukarno untuk menggambarkan kepribadian putra Minangkabau ini.
“Suatu sore, ada sebuah mobil sedang berjalan di daerah yang sepi. Di dalamnya hanya ada tiga orang. Sopir, Hatta dan seorang gadis yang cantik. Lalu ban mobil itu pecah. Sang sopir kemudian pergi untuk mencari bantuan. Hingga dua jam kemudian, saat sopir itu kembali, ternyata gadis cantik itu tertidur di pojok mobil. Sedangkan Hatta juga mendengkur di sudut yang lain,” cerita Sukarno kepada Cindy Adams, jurnalis asal Amerika Serikat yang menulis buku biografi yang berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.
Sukarno menggambarkan sahabatnya itu sebagai “Jejaka Hatta yang memerah mukanya bila bertemu dengan seorang gadis. Ia tak pernah menari, tertawa atau menikmati kehidupan ini.”
Perbedaan karakter kedua pemimpin itu tergambar juga dari pernikahan masing-masing. Bung Hatta dikenal akan sumpahnya, yakni tidak akan menikah sebelum Indonesia merdeka. Dan akhirnya, ia baru menikah 18 November 1945 atau tiga bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Pernikahan Hatta itu terjadi melalui proses perjodohan yang cukup singkat. Hal ini berkat campur tangan Sukarno yang “menagih” janji Hatta untuk menikah setelah negeri tercintanya merdeka.
Hatta menikah di usia 43 tahun, dengan Rahim Rachim atau Siti Rahmiati Hatta yang saat itu berusia 19 tahun. Ini adalah pernikahan pertama dan satu-satunya bagi Hatta.
Ini kontras dengan Sukarno yang di tahun 1964 masih sempat menikah dengan gadis berusia 19 tahun, Yurike Sanger. Presiden berusia 63 tahun itu menjadikan pelajar Paskibraka ini sebagai istri ke delapan. Dan itu bukanlah pernikahan terakhir bang bung besar berjuluk Putra Sang Fajar. (*)