KETIK, JAKARTA – Sejumlah pengamat menyoroti ambiguitas pernyataan Presiden Jokowi tentang kelanjutan visi misi pemimpin berikutnya.
Presiden Jokowi mengatakan, pemimpin berikutnya tidak perlu mengganti visi dan orientasi pembangunan Indonesia agar tidak mengulang dari awal lagi.
"Jangan sampai ganti pemimpin ganti visi, ganti orientasi, sehingga kita harus mulai semuanya dari awal lagi," kata Presiden Jokowi tatkala menghadiri Apel Akbar Komando Kesiapsiagaan Angkatan Muda Muhammadiyah (Kokam) di Stadion Manahan, Solo, Rabu (20/9/2023) lalu.
Presiden Jokowi kemudian menganalogikan pelajar yang sudah mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA. Apabila pemimpin Indonesia berikutnya mengganti visi, sama saja mengulang pembangunan dari awal atau dari SD lagi.
"Sudah SD, sudah SMP, sudah SMA, ganti pemimpin ganti visi lagi sehingga mulai lagi dari SD, SMP, SMA, Universitas. Ganti pemimpin balik lagi mulai dari SD lagi. Kapan kita S1, S2 S3 dan seterunya," katanya.
Pernyataan Presiden Jokowi itu memantik komentar dari sejumlah pihak. Karena visi misi merupakan 'dagangan' dalam pemilihan presiden (Pilpres).
Peneliti senior dari Institute for Strategic and Development (ISDS) Aminudin kepada media mengatakan, visi capres dengan presiden sebelumnya bisa saja beda.
"Bahkan sebaiknya memang harus berbeda dengan presiden sebelumnya. Apalagi jika presiden sebelumnya ketika berkuasa visi dan kebijakannya melenceng dari konstitusi dan ideologi negara,” ujar Aminudin.
Staf Ahli DPR-RI 2008/2009 ini juga memberikan contoh. Apabila presiden sebelumnya cenderung pro PKI yang melawan TAP MPRS XXV/1966 dan Pancasila, maka visi capres berikutnya harus mengoreksi penyelewengan presiden sebelumnya.
Atau jika visi dan kebijakan presiden sebelumnya menunjukkan sebagai boneka asing atau 'aseng', maka visi dan kebijakan capres berikutnya harus memberikan koreksi total.
"Seperti Donald Trump di Amerika, setelah turun dari jabatan presiden harus diseret ke pengadilan atas arah politik hukum yang digariskan oleh Presiden Joe Biden sebagai pengganti Presiden Donald Trump," jelas Aminudin.
Gus Amin, panggilan akrab Aminudin ini menilai jika melihat visi kebijakan yang menyimpang dari rezim Presiden Jokowi maka sudah seharusnya visi dan misi dan kebijakan capres penggantinya harus berbeda dengan melakukan banyak koreksi.
Di antaranya dengan merelokasi pos anggaran APBN yang sama sekali tak ada urgensinya bagi kepentingan rakyat.
Seperti, merelokasi anggaran kereta cepat China Jakarta-Bandung yang anggaran menggelembung dari Rp60 triliun menjadi sekitar Rp114 triliun.
Senada. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara (LAKSAMANA), Samuel F. Silaen juga mengatakan, setiap pemimpin tentunya memiliki visi dan misi yang tidak sama dengan pemimpin manapun.
Namun yang terpenting visi misinya masih dalam koridor aturan yang berlaku. Karena pemimpin sejatinya hadir sesuai dengan kebutuhan rakyat yang memilih dan memberikan kepercayaan padanya.
Maka, bicara program pembangunan yang sudah jalan atau sedang berjalan tentunya harus dirampungkan pemimpin yang terpilih berikutnya.
"Program pembangunan tersebut tentunya bukan yang kontroversi semisal Rempang dan Pulau Komodo itu, maka pemimpin yang baik tentunya akan mengevaluasi kebijakan pemerintah yang salah arah dan melanjutkan yang memberikan manfaat buat masyarakat,” jelasnya.
Samuel menegaskan, visi-misi presiden harus selaras dengan tantangan dan kemajuan zaman yang begitu cepat berubah.
“Artinya pemimpin bangsa harus memiliki visi yang jelas keberpihakannya kepada rakyat bukan jargon yang tidak bisa membumi,” tandasnya.
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah P turut angkat suara. Ia menilai pernyataan Jokowi terkait pemimpin berikutnya tidak perlu mengganti visi terlalu berlebihan dan bernuansa mengalami sindrom kekuasaan.
Apalagi soal visi dan misi pembangunan dalam sistem politik Indonesia adalah kewenangan presiden yang terpilih. Visi misi pembangunan juga bukan hal tabu untuk diubah.
“Terlebih jika banyak agenda pemerintahan hari ini yang justru menjauh dari cita-cita kebangsaan kita, utamanya yang berdampak pada kondisi warga negara sendiri,” ujarnya.
Pengamat politik Rusmin Effendy tak ketinggalan memberikan komentar. Ia menilai saat ini banyak visi dan misi Jokowi yang tidak jelas.
Di antara visi dan misi Jokowi yang tidak jelas yakni, diminta tidak cawe-cawe dan berpihak kepada salah satu pasangan capres, termasuk menentukan visi dan misi.
"Alangkah naif seorang presiden masih mempengaruhi kontestasi Pilpres. Sedangkan dirinya gagal total dan tidak punya legacy setelah lengser. Jadi, biarkan semua berjalan apa adanya tanpa ada campur tangan Jokowi," ujar Rusmin.
Menurutnya, sejak periode pertama dan kedua semua visi dan misi Jokowi meleset dan tidak terealisasi.
Oleh karena itu Jokowi adalah sosok presiden yang gagal. Hingga kini janji-janji kampanye tidak ada yang terealisasi. Karena itu, siapa pun presidennya nanti harus memulai dari nol bukan melanjutkan program Jokowi yang gagal.
Tokoh Pergerakan DR Rizal Ramli turut memperkuat analisa para pengamat terkait kepemimpinan Presiden Jokowi.
Ia bahkan mengaku miris dengan pengelolaan kehidupan berbangsa dan bernegara (NKRI) yang semakin memprihatinkan dan jauh dari prinsip pengelolaan pemerintahan yang baik (good governance).
"Berbagai sendi kehidupan dikelola secara ugal-ugalan. Mulai dari pengelolaan keuangan negara yang masih mengandalkan utang, ketimpangan ekonomi yang makin parah, hingga pemretelan terhadap kehidupan demokrasi rakyat," kata Rizal Ramli.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sebuah amanat reformasi tahun 1998 lalu, dinilai malah semakin merajalela. Naasnya, kata Rizal, KKN muncul dalam bentuk yang lebih “kreatif” melalui munculnya politik dinasti, dan pro-oligarki.
Dalam situasi pengelolaan negara yang demikian, muncul gugatan dari tokoh nasional sekaligus ekonom senior, DR Rizal Ramli dalam beberapa tahun terakhir.
"Mas Jokowi, apo toh yang mau diteruskan? Pretelin demokrasi, KKN yang semakin ganas, politik dinasti dan pro-oligarki, ketimpangan ekonomi makin parah, utang ugal-ugalan, rakyat digusur?,” cuit mantan Menko Perekonomian itu dalam akun Twitternya, @RamliRizal yang diunggah pada Kamis (21/9/2023) kemarin.
Ironisnya, di tengah kondisi pengelolaan keuangan negara dan pemerintahan yang demikian, Presiden Jokowi masih juga berkeinginan untuk “melanjutkan” berbagai proyek pembangunan tanpa berusaha untuk melakukan koreksi terhadapnya.
Atau setidaknya, Rizal berharap Presiden Jokowi mencoba mundur selangkah dahulu untuk bercermin alias melihat dan mengevaluasi sejumlah langkah yang telah diputuskannya.
Mantan Menko Kemaritiman itu mengatakan jelas-jelas menolak proyek infrastruktur yang dilakukan dengan “model Jokowi” tersebut.
“Infrastruktur perlu diteruskan, tapi bukan model Jokowi!,” tegasnya.
Karena itu, mantan Kepala Bulog itu berharap agar Pemerintahan Jokowi menghentikan berbagai kebijakan yang hanya akan membuat rakyat bertambah miskin.
Menurutnya, jika pemerintahan ini tidak bisa mengusahakan kesejahteraan rakyat, alangkah lebih baik tidak membuat rakyat semakin miskin.
"Kontradiksi antara PR & selfie2 vs Kebijakan2 Yg bikin miskin rakyat. Wong nyadar, kalau ndak bisa bikin rakyat lebih sejahtera,, ya minimum jangan bikin semakin miskin !!!,” cuit Bang RR, sapaan Rizal Ramli pada bagian lain dari akunnya.
Rizal Ramli berharap kepada pemerintahan Presiden Jokowi untuk berhenti mengambil kebijakan yang hanya akan membuat rakyat sama-sama terjun menuju jurang kemiskinan secara beramai-ramai. Rizal Ramli ingin agar NKRI ini tidak menjadi beban untuk anak cucu yang akan datang.(*)