KETIK, JAKARTA – Para pakar menilai bahwa ketentuan sistem Presidential Treshold (PT) 20 persen mempersempit ruang demokrasi.
Sementara untuk mendapatkan pemimpin nasional terbaik dan demokratis, pemerintah seharusnya menetapkan ambang batas (Threshold) 0 persen.
Apalagi aturan mengenai PT 20 persen tersebut tidak tertuang dalam Undang-undang Dasar.
Presidential Threshold atau ambang batas presiden 0 persen dan mahar politik nol rupiah berguna menghindari terjadinya money politic pada saat Pemilu dan juga agar tokoh bangsa yang memiliki potensi dan kapabilitas dapat muncul sebagai pemimpin baru.
Sistem PT 20 persen semakin mempersempit peluang bangsa ini memperoleh calon pemimpin unggul seperti Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli.
Karena berdasarkan analisa para pakar politik, Rizal Ramli memiliki peluang besar sebagai presiden pilihan rakyat. Bahkan ia digadang se frekuensi dengan Anies Baswedan.
Rizal Ramli sendiri adalah sosok pengusung Trisakti yang berkarakter Soekarnois sekaligus pengusung ekonomi kerakyatan Bung Hatta. Humanismenya bercorak humanisme transendental Gus Dur.
Maka tak heran, apabila Analis Politik dan Sosial Umar Hamdani MA (alumnus pasca sarjana STF Driyarkara, Direktur Institute for Social and Strategic Studies-Lembaga Studi Sosial dan Strategi) dan peneliti CSRC UIN Jakarta Muhamad Nabil MA berpendapat bahwa majoritas pemilih NU kemungkinan besar akan memilih RR.
Muda mudi Muhammadiyyah 75 persen akan mendukung Anies dan sisanya memilih RR sebesar 25 persen.
Kemudian mayoritas pemilih dari abangan dan minoritas akan memilih RR. Mayoritas Nasionalis akan memilih RR.
"Anies vs RR mah bisa-bisa 30-70 persen. Tapi karena Anies tokoh baik, pasti RR akan rangkul jadi apa gitu lho. Ga usah ribet-ribet amat," beber Umar.
Oleh karena itu, para pakar menilai bahwa sistem PT 20 persen ini harus dibenahi. Karena pemilihan presiden yang seharusnya dipilih rakyat, maka dengan PT 20 itu membuat pemilihan dan pembatasan ditentukan oleh elit partai politik sebelum Capres diusung.
Bagaimana kalau rakyat menginginkan Begawan Ekonomi tersebut maju nyapres di Pilpres 2024?
“Kalau maju nyapres di 2024 dengan sistem seperti ini ya buat apa? Sudah kelihatan sistemnya aja sudah direkayasa, dari IT-nya, kecurangannya, faktor duit. Jadi lebih bagus kalau betulin sistemnya dulu. Nah sistem yang kacau ini kan treshold. Padahal di Undang-Undang Dasar tidak ada treshold 20 persen. Ini hanya akal-akalan yang berkuasa doang,” kata Dr. Rizal Ramli.
"Jadi, jebolin dulu treshold ini," tandasnya.
Rizal Ramli menegaskan, bahwa persaingan akan semakin kompetitif dan bukan hanya mengandalkan modal pencitraan apabila menggunakan sistem treshold 0 persen.
"Calonnya bisa banyak dari 17 partai yang ada sekarang ini. Setiap partai berhak mengajukan pasangan Capres-Cawapres. Sehingga harus ada kompetisi visi, karakter, integritas, track record,” ujar Rizal Ramli yang akrab dipanggil Bang RR.
Apabila sistem tersebut diperbaiki, lanjutnya, Indonesia berpotensi menemukan para pemimpin hebat mulai dari tingkat daerah.
Sistem PT 20 persen merupakan legalisasi dari sistem politik uang dan kriminal yang merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan sosial ekonomi rakyat.
Berdasarkan data di seluruh dunia ada 48 negara yang menggunakan sistem pemilihan dua tahap seperti di Indonesia tetapi tidak ada pembatasan semacam Presidential Threshold.
Ada negara seperti Ukraina yang bahkan memiliki 39 calon presiden, dengan 18 orang dicalonkan Parpol yang berbeda dan 21 orang dicalonkan independen. Itulah esensi demokrasi yang sesungguhnya, rakyat yang menyortir dan memilih calon presiden.
Bukannya malah parpol yang melakukan sortir dan pre seleksi calon presiden berdasarkan kriteria kekuatan finansial. Di Indonesia Capres-Cawapres disinyalir harus bayar atau ”menyewa” parpol-parpol untuk bisa dicalonkan.
Bahwa akibat sistem tersebut, kekuatan uang menjadi sangat menentukan bagi pemilihan pemimpin di Indonesia.
Kelompok utama yang mendukung sistem demokrasi kriminal adalah para bandar atau cukong yang membantu biaya menyewa parpol, pollster, public relations, dan kampanye di media sosial sang calon.
Begitu calon menang, dia lebih mengabdi kepada para bandar dan cukong, melupakan kepentingan nasional dan rakyat.
"Dilema kita, kita mengaku Pancasila tetapi kita tidak memiliki sistem seleksi kepemimpinan yang kompetitif. Hanya berdasar faktor uang, kalau faktor uang maka yang menentukan bukan partai-partai, bukan DPP tapi bandar (Cukong) yang menentukan. Makanya, perbaiki sistem kita supaya Indonesia punya sistem kepemimpinan yang selektif. Otomatis akan bermunculan yang baik-baik," ungkap Rizal Ramli.
Rizal Ramli memberikan contoh sistem pemilu di negara kapitas sperti Amerika.
"Nah, sistem negara kapitalis Amerika itu pemilihan pemimpin sangat kompetitif. Partainya memang hanya dua di Amerika. Tapi calon pemimpin dari Partai Demokrat Amerika ada 12 calon. Dan calon partai republik ada 10 calon pemimpin negaranya. Melalui konvensi, sangat kompetitif. Sehingga mendapatkan pemimpinan yang bagus dari berbagai level,” paparnya.
Demikian juga sistem negara komunis di China, tidak jauh beda dengan Amerika dengan melalui seleksi kepemimpinan sangat kompetitif.
"Di China, orang-orang yang bagus diangkat dulu dijadikan sekertaris kelurahan di ujung Beijing sana. Kemudian selama 3 tahun berprestasi, dari ujung baru maju ke tengah menjadi sekertaris Partai di desa yang di tengah. Kemudian menjadi camat, lalu dilempar lagi ke ujung dunia di luar Beijing. Nanti kalau sudah ditest selama 3 tahun, kembali lagi sampai menjadi wali kota Sanghai yang paling top. Kemudian masuk menjadi pemimpin partai komunis. Siapa yang berhasil masuk, karena sudah melalui berbagai ujian,” urai Rizal Ramli.(*)