KETIK, JAKARTA – Selama Pemerintahan Jokowi, makin ke sini pidato kenegaraan semakin tidak bermutu. Demikian kritikan Tokoh Nasional Dr Rizal Ramli. Dia mengkritik pidato presiden pada 16 Agustus 2023 lalu di Gedung Parlemen.
Pidato kenegaraan puluhan tahun biasanya dinilai penting. Karena ada evaluasi capaian, meretas permasalahan dan program arahan tahun berikutnya.
Pidato ini kerap menjadi acuan kalangan bisnis, luar negeri maupun para analis.
Namun selama pemerintahan Jokowi, Rizal melihat pidato kenegaraan semakin tidak bermutu.
"Jujur aja selama tiga tahun terakhir saya nggak pernah denger lagi tuh ada nilai tambahnya seperti dulu-dulu. Apalagi yang terakhir," kata Rizal saat wawancara bersama Metro di kanal YouTube miliknya baru-baru ini.
Pidato kenegaraan terakhir yang dimaksud Rizal Ramli adalah pada saat di Gedung Parlemen 16 Agustus kemarin.
Pertama, Presiden Jokowi dinilai tidak menjawab permasalahan yang tengah dihadapi oleh bangsa, bagaimana langkah untuk mengatasi serta tidak membedah tantangan di masa depan. Ia juga tak menemukan solusi dalam bidang ekonomi, hukum, kemiskinan dan lainnya.
"Nggak ada sama sekali, yang ada orang curhat. Ini kan presiden kalau dibilang berani, ya kagak lah. Jokowi kan hanya berani ama rakyat. Dia kagak berani sama oligarki, nggak berani sama yang kuat, nggak berani sama Cina," ujarnya.
Menjual Mimpi
Dalam momen pidato kenegaraan, Presiden Jokowi juga menyelipkan pertanyaan dan pernyataan soal sebutan "Pak Lurah" yang ternyata ditujukan pada dirinya oleh kalangan politisi. Korelasi pak lurah itu merujuk pada agenda Pilpres 2024.
"Lha kok yang disebut pak lurah ternyata saya," kata Jokowi.
Menurutnya, posisi sebagai presiden tak senyaman bayangan orang. Karena ada tanggung jawab besar yang harus diemban.
Selanjutnya Jokowi juga menyampaikan bahwa dalam setiap kesempatan, ia mengatakan bahwa Indonesia memiliki peluang besar untuk meraih Indonesia Emas pada 2045. Meraih posisi sebagai empat besar kekuatan ekonomi dunia.
"Oleh sebab itu, saya berulang kali menyampaikan, kepemimpinan ke depan sangat menentukan masa depan Indonesia," ucapnya.
Bukan tentang siapa yang menjadi presiden pada 2024 nanti. Tegas Jokowi kala itu. Tetapi apakah pemimpin berikutnya sanggup bekerja sesuai apa yang sudah ia mulai saat ini. Apakah juga memiliki keberanian dan kemampuan untuk tetap konsisten.
Menyoroti pidato kenegaraan itu, mantan Menko Perekonomian Rizal Ramli seolah mementahkan.
Cara mencapai Indonesia Maju yang diharapkan oleh Presiden Jokowi dalam pidato kenegaraan dinilai hanya sebuah dagelan.
Apa pasal? Itu karena Jokowi dinilai Rizal mencoba memonopoli cara untuk memperbaiki Indonesia.
Padahal faktanya selama sembilan tahun berkuasa, kata Rizal, Indonesia makin mundur dalam banyak hal. Kemiskinan dan pengangguran bertambah. Gap antara kaya dan miskin makin tinggi.
"Jadi bagaimana you monopoli tentang jalan maju Indonesia selama itu jadi presiden sembilan tahun, yang ada kemunduran berbagai bidang," kata Rizal yang kerap memandang penampilan Jokowi merakyat, namun hatinya oligarki tersebut.
"Ini lelucon yang sama sekali nggak lucu," tandasnya.
Pidato kenegaraan dalam balutan data dan angka sekaligus dibumbui peningkatan kepercayaan dunia internasional kepada Indonesia itu, belum lagi pernyataan Menteri Luhut bahwa tidak mudah membangun sebuah pondasi itu, ditanggapi Rizal dengan dingin.
"Itu kan menurut para pejabat, datanya juga data yang selektif yang kelihatan sisi positifnya doang. Tetapi tidak data yang komprehensif dan berimbang dan melihat berbagai hal yang lain. Sederhana aja lah, selama Jokowi jadi presiden pertumbuhan ekonomi Indonesia maksimum 6 persen," ujarnya.
Padahal, lanjut Rizal, jika ingin mencapai mimpi menjadi negara besar di dunia pada 2045 dengan target pendapatan rakyat maupun ekonomi, pertumbuhan ekonomi haruslah 8 persen per tahun.
"Jokowi nggak mampu kok, becusnya cuma 6 persen. Tapi membuahkan mimpi 8 persen. Dia jual mimpi Indonesia bakal maju, bakal jadi negara besar hebat tahun 2040. Tapi kemampuannya hanya maksimum 6 persen," terangnya.
"Padahal kalau mencapai target yang diumumkan itu perlu 8 persen dan tidak mungkin Jokowi bisa tumbuhkan ekonomi Indonesia lebih dari 6 persen karena modal pembangunannya itu sangat bergantung kepada utang," tandas Rizal.
Utang itu disebut Rizal berfungsi sebagai rem automatic. Karena begitu utang ketinggian, karena account defisitnya besar, maka laju pertumbuhan ekonomi harus ditahan.
Maka, utang ini bisa saja memupuskan mimpi Indonesia menjadi empat besar negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia.
Kedua, agar bisa membayar cicilan utang, pada tahun ini pemerintah harus menyedot Rp400 triliun untuk membayar pokok utang dan Rp380 triliun untuk membayar bunga utang. Total sebesar Rp780 triliun atau sepertiga dari APBN.
"Uangnya dari mana? Uangnya disedot dari rakyat," kata dia.
Banyak uang rakyat disedot untuk membayar utang pemerintah. Demikian Rizal kembali menegaskan.
"Nah itu automatic rem. Mohon maaf pejabat Pak Jokowi nggak ngerti macro economic. Nggak ngerti yang begini, ngomongnya itu ngibul dengan fakta-fakta yang selektif. Tetapi bukan dengan fakta-fakta yang komprehensif," terang Rizal.(*)