KETIK, SIDOARJO – Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Delta Sidoarjo sedang tidak baik-baik saja, setidaknya hingga Sabtu (2/12). Bukan tanpa alasan tentunya. Indikasi ini terlihat dari kinerja Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo yang tengah berusaha mengungkap adanya sejumlah dugaan korupsi di tubuh perusahaan air milik Pemkab Sidoarjo itu.
Salah satu kasus dugaan korupsi terkait pasang baru yang terjadi dalam interval waktu 2012-2015, sudah naik ke tingkat penyidikan. Bahkan di bawah komando Roy Revalino Herudiansyah, pihak kejaksaan sudah menyita barang bukti berupa uang tunai senilai Rp 1,849 Miliar.
Tak hanya itu, kasus dugaan korupsi lainnya yang juga ditangani korps Adyaksa di Jalan Sultan Agung, Sidoarjo ini juga mencuat. Menyusul adanya dugaan korupsi terkait penghapusan hutang senilai Rp 5 Miliar pada tahun 2022.
Namun demikian kedua kasus ini berada di tahapan berbeda. Jika kasus dugaan korupsi terkait pasang baru pada tahun 2012-2015 sudah pada tahap penyidikan, maka kasus dugaan korupsi penghapusan hutan ini masih berada di tahap penyelidikan.
Hingga kini, muncul dugaan adanya upaya saling bongkar di internal perusahaan air yang memiliki kantor di Jalan Pahlawan no 1 ini.
Namun sayangnya, Roy Revalino Herudiansyah selaku Kajari Sidoarjo enggan menanggapi ketika dikonfirmasi awak media soal dugaan korupsi penghapusan hutang yang dilakukan di Perumda Delta Tirta Sidoarjo.
"Itu (soal kasus dugaan penghapusan hutang, red) lain lagi. Jadi kita fokus terkait penyitaan barang bukti ini," ungkapnya ketika konfrensi pers saat penyitaan barang bukti uang Rp 1,849 miliar beberapa waktu lalu.
Sikap serupa juga ditunjukkan direksi Perumda Delta Tirta Sidoarjo, yang memilih tak berkomentar banyak terkait dua kasus ini, baik penyerahan barang bukti Rp 1,849 milkar maupun dugaan korupsi penghapusan hutan.
"Perkaranya sudah berjalan, kami serahkan ke penyidik," kata Dirut Perumda Delta Tirta Sidoarjo Dwi Hary Soeryadi usai penyerahan barang bukti di Kejari Sidoarjo.
Dwi, sapaan akrabnya, berdalih bahwa tidak ada yang namanya penghapusan, yang terjadi hanyalah pemindah bukuan.
"Tentunya kalau ada dokumen-dokumen yang komplit. Kalau tidak ada, gak berani (membayar)," jelasnya pendek.
Sementara itu, Kuasa Hukum pengurus KPRI PDAM periode 2012-2015, Nizar Fikri menanggapi secara langsung dua kasus yang begulir ini. Ia mengapresiasi langkah penyidik untuk menyita barang bukti uang tunai tersebut.
Menurut Nizar, adanya upaya pengembalian dana sebesar Rp 1,849 miliar merupakan salah satu itikad baik yang ditunjukkan oleh KPRI PDAM terhadap Perumda Delta Tirta. Meskipun untuk sementara uang tersebut disita oleh penyidik Kejari Sidoarjo.
"Perlu diingat bahwa temuan adanya kelebihan bayar itu dari pengurus Koperasi. Lalu pengembalian awal terhadap dana kelebihan bayar itu juga inisiatif dari pihak KPRI PDAM. Dana itu mulai dikembalikan sejak 2014 hingga terkumpul Rp 1,849 miliar itu," urainya.
Dan sekali lagi Nizar menegaskan jika pengembalian dana merupaka itikad baik. Terlebih dalam proses pengembalian dana ini, tanpa didahului oleh permintaan apapun dari pihak Perumda Delta Tirta kepada KPRI PDAM.
"Kami ada dokumennya semua," tegasnya.
Tak hanya itu, Nizar menguraikan jika awal persoalan antara KPRI PDAM dengan Perumda Delta Tirta (dulu PDAM) bermula dari adanya kesepakatan perjanjian kerjasama antara kedua belah pihak terkait pekerjaan pengadaan pasang baru sambungan langganan tahun 2012 hingga 2015.
Dalam perjanjian yang disepakati jika KPRI selaku pihak kedua berkewajiban melaksanakan pekerjaan sambungan langganan setelah mendapat pemberitahuan melalui program CORE (Computerized Registration) atau program lainnya atau lewat data elektronik yang tersedia dan dapat digunakan sebagai dasar acuan pekerjaan pasang baru.
Lebih lanjut Nizar menguraikan jika kelebihan bayar yang dilakukan Perumda Delta Tirta kepada KPRI dengan Hutang Perumda kepada KPRI merupakan hal yang tak boleh dipotong begitu saja. Karena hubungan itu masih berkaitan dengan pihak KPRI yang saat itu memiliki kelebihan dana. Sedangkan di sisi lain, pihak Perumda Delta Tirta juga memiliki piutang kepada KPRI.
"Karena PDAM memiliki hutang kepada KPRI dan KPRI memiliki hak tagih kepada PDAM itu tidak boleh dipisah. Kalau jumlahnya setelah kami kalkulasi itu sekitar Rp 5 Miliar, sedangkan PDAM memiliki hak tagih kepada KPRI itu senilai Rp 4 Miliar lebih," jelasnya.
Meskipun begitu, menurut Nizar sebenarnya perkara piutang ini bisa diselesaikan dengan cara duduk bersama mencari jalan keluar terbaik. Terlebih menurut kalkulasinya, ada kemungkinan PDAM masih memiliki hutang ke KPRI alias pihak Koperasi memiliki hak tagih ke PDAM.
"Kami justru mempertanyakan karena kalau tidak salah, di laporan keuangan PDAM sejak tahun 2016 sampai 2021 itu mencatat piutang KPRI ke PDAM, namun di tahun 2022 hutang PDAM ke KPRI tiba - tiba hilang begitu saja," katanya.
Atas dasar ini, pihak KPRI pun lantas mempertanyakan landasan dan dasar apa yang digunakan PDAM untuk menghapus piutang pada tahun 2022 hingga menjadi nol rupiah. Padahal sejak tahun 2016 hingga 2021 piutang itu masih tercatat.
"Ini bagaimana. Kami meminta agar Kejaksaan adil," harapnya. (*)