KETIK, JAKARTA – Infeksi virus Mpox (juga dikenal sebagai cacar monyet) menjadi perhatian di banyak belahan dunia, termasuk Asia Tenggara (SEA). Indonesia melalui Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), terus mengawal perkembangan kasus " Mpox" ini. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk satgas MPox.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), DR Dr Moh. Adib Khumaidi, SpOT, mengatakan bersama pemerintah PB IDI akan memberikan penanganan terbaik bagi para pasien dan masyarakat. Penanganan Mpox ini memerlukan kolaborasi dari banyak pihak. Selain itu, perlu peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini sebagai upaya pencegahan.
"Kami terus bersinergi dengan pemerintah agar dapat mengatasi masalah Mpox di Asia Tenggara ini secara efektif," jelas Adib, di Jakarta, Minggu (29/10/2023).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan penyakit Cacar Monyet atau MPox ini sebagai darurat kesehatan masyarakat global pada Juli 2022. Laporan WHO juga menyebutkan ada kekhawatiran bahwa masalah MPox ini agak terabaikan di wilayah Asia Tenggara karena kurangnya akses terhadap fasilitas medis yang memadai.
Sementara itu Ketua Satgas MPox PB IDI, Dr Hanny Nilasari, Sp DVE menuturkan kurangnya kesadaran masyarakat terhadap penyakit ini adalah salah satu alasan utama diabaikannya Mpox di Asia Tenggara. Banyak masyarakat yang masih belum mengetahui gejala Mpox dan mungkin tidak tahu cara melindungi diri dari penyakit tersebut.
"Kurangnya informasi ini dapat menyebabkan keterlambatan dalam mencari pertolongan medis, yang dapat berakibat lebih parah. Selain itu, sering terjadi kesalahpahaman mengenai penyakit ini," tutur Hanny.
PB IDI juga menilai bahwa perlu dikembangkan penelitian lebih lanjut untuk pengendalian Cacar Monyet ini. Banyak pemerintah di kawasan Asia Tenggara yang kurang memperhatikan masalah penelitian.
Selain itu, Mpox sering kali mendapat prioritas rendah dari berbagai organisasi dan tidak dipandang sebagai isu prioritas dibandingkan penyakit lain, seperti HIV/AIDS, tuberkulosis, atau malaria.
"Hal ini menyulitkan organisasi layanan kesehatan untuk menerapkan langkah-langkah pengendalian yang efektif dan melakukan penelitian yang diperlukan mengenai pengobatan dan vaksin,"pungkasnya.(*)