Mengenal Larung Sesaji, Ritual Leluhur Setiap Tahun Baru Islam di Pacitan

Jurnalis: Al Ahmadi
Editor: M. Rifat

19 Juli 2023 09:19 19 Jul 2023 09:19

Thumbnail Mengenal Larung Sesaji, Ritual Leluhur Setiap Tahun Baru Islam di Pacitan Watermark Ketik
Sesaji dibawa menggunakan kapal menuju tengah lautan, (18/7/2023). (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)

KETIK, PACITAN – Tradisi larung sesaji atau sedekah laut di Pelabuhan Ikan Tamperan, Kecamatan Pacitan, Jawa Timur kembali digelar pada Selasa (18/7/2023). Tradisi larungan itu merupakan ritual leluhur yang rutin diadakan setiap tahun.

Beberapa rangkaian acara ditempuh hingga sesaji di hanyutkan di tengah lautan.

Diketahui, acara diawali dengan upacara pembukaan yang diikuti oleh nelayan, masyarakat, dan tamu undangan. Di antaranya pembacaan sholawat, sambutan-sambutan, dan ditutup dengan doa bersama. Di antara peserta terdapat sesaji yang telah disiapkan.

Seusai pembukaan, dilanjutkan acara kembul bujono alias makan bersama hasil sedekah dari para nelayan. "Yang dimakan, hasil sedekahan dari para nelayan untuk dirasakan bersama," ungkap Yuli, nelayan asal Sirnoboyo, Selasa, (18/7/2023).

Sesajian yang berada di tengah upacara pembukaan tersebut ada 2 macam. Pertama ada 'Tumpeng Sedekah Laut', terdiri dari nasi uduk (dibentuk laiknya gunung), Ingkung (ayam panggang), aneka sayur-sayuran dan buah. Kedua, yakni, 'Buceng suci', terdiri dari nasi kuning, bubur sumsum, nasi berbentuk gunungan kecil, dan berbagai ragam lainnya, yang di bungkus dengan daun pisang.

Beragam hasil bumi tersebut terlihat diberi wadah berupa tampah, (wadah terbuat dari anyaman bambu), dengan dirias sedemikian rupa. Seperti anyaman janur (daun kelapa muda), dan bendera merah putih digunakan untuk pernak-pernik maupun simbol negara.

Foto KH KRT Luqman Harist Dimyathi, tengah memberikan tausiah di acara Larung SesajiKH. KRT Luqman Harist Dimyathi, tengah memberikan tausiah di acara Larung Sesaji. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)

Sesaji (buceng suci dan tumpeng) kemudian diangkat dan lanjut dilepas (dihanyutkan) dengan dibawa kapal menuju tengah lautan.

Nampak ribuan masyarakat cukup antusias, terbukti banyaknya warga yang berebut naik di atas kapal, untuk ikuti arak-arakan iringi prosesi akhir dalam ritual tersebut.

Saat sampai di tengah laut, beberapa tokoh mulai menurunkan sesaji di permukaan air dengan dikelilingi kapal-kapal lainnya.

Acara dilanjutkan dengan puluhan kapal kembali menuju pelabuhan. Mereka disambut saut teriakan semangat antar penumpang kapal yang tengah merayakan tahun baru Islam sekaligus tanda selesainya tradisi tersebut.

Rituas Sambut Tahun Baru Islam

Tradisi tahunan itu digelar setiap bulan Suro, sebagai rangkaian dari festival nelayan oleh Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Pacitan guba menyambut tahun baru Islam 1 Muharram 1445 Hijriah.

Ketua HSNI Pacitan Damhudi mengatakan, kegiatan larung sesaji ini adalah cara bersyukur kepada Allah SWT bahwa para nelayan semua diberikan kesehatan sehingga para nelayan bisa berkarya di laut.

"Agar rasa syukur ini benar -benar merasuk kepada teman -teman pelayan sehingga dalam mengaruhi lautan menghasilkan keberkahan," kata Damhudi.

Pun untuk menghormati larung saji itu, sebagian besar nelayan rela istirahat melaut dan berhenti mencari ikan, untuk ikut merayakan tradisi tahunan itu.

"Saat ini free dulu, hampir semuanya ikut di dalam acara ini, ya paling nanti malam mereka sudan mulai (melaut) kembali. Sekitar jam 5 atau 4 pagi. Dan Insyallah tidak mengganggu pekerjaannya nelayan," pungkas Dambudi.

Bagi masyarakat pesisir di berbagai belahan dunia, memang sejak dahulu banyak ritual-ritual yang diadakan sebagai bentuk rasa syukur atas anugerah yang mereka dapatkan dari laut. Prosesi yang berlangsung seharian itu diramaikan dengan beragam kegiatan lainnya, seperti Reog Ponorogo, Bazar UMKM, hingga bakar ikan 1.4 ton gratis.

Disamping itu, Pengasuh Perguruan Islam Pondok Pesantren Tremas Pacitan, KH KRT Luqman Harist Dimyathi menegaskan, secara umum ritual apa saja wajib diniatkan untuk minta ridho Allah SWT. Agar masyarakat selain hanya merasakan nikmatnya tradisi, terlebih tak terpeleset ke dalam jurang kemusyrikan.

"Persoalan festival nelayan, atau sedekah laut, buceng suci, sedoyo niat niku, niatipun setunggal (semua niat itu, diniatkan hanya satu), yoiku bersyukur karo gusti Allah, mboten wonten sanesipun (yaitu bersyukur kepada Allah, tidak ada yang lain), sedoyo niku mangke bakal wangsul dumateng Allah (semua itu nanti bakal kembali pada Allah),"tegasnya.

Tambah Luqman, tidak ada yang lain, kecuali mentauhidkan Allah SWT. Pun ia meyakini bahwa masyarakat tetap berpancasila dan beragama, karena siapapun yang bersyukur kepada Allah.

Tegas Luqman, Allah pasti akan menambah rezekinya. Sebaliknya, apabila engkau mengingkari nikmat (kufur), azabNya sangatlah pedih.

Merujuk dalam Al-Qur'an, surat Ibrahim ayat 7, papar Luqman, yang artinya, dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan, sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Allah akan menambah (nikmat), kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.

"Bakal nambahi sopo ingsun temenan (bakal ditambah bagi siapa yang meyakini), dan kalau tidak syukur sebaliknya. Wes dikei iwak pirang pirang kilo, pirang pirang ton (sudah diberikan ikan berkilo kilo, berton-ton), terus sampean sedoyo iku podo kufur utowo mengingkari nikmatKu (terus kalian semua kufur atau mengingkari nikmat), azab Allah sangat pedih," terang Luqman.

Meskipun, kata Luqman, dengan berbagai macam cara untuk bersyukur tidak menjadi masalah, karena ini adalah tradisi bukan termasuk unsur ibadah.(*)

Tombol Google News

Tags:

Larung Saji Tamperan pacitan HSNI Pacitan