KETIK, SIDOARJO – Sebagai salah satu kabupaten yang menjadi wilayah kerajaan Majapahit di masa silam, Kabupaten Sidoarjo menyimpan banyak peninggalan. Sejumlah kisah yang diturunkan dari tetua pun turut menyertainya.
Pesarean Raden Ayu Putri Ontjat Tondo Wurung salah satunya. Secara administratif tempat ini berada di Desa Terung Wetan, Kecamatan Krian.
Memasuki areal pesarean, kesan panasnya Sidoarjo langsung sirna digantikan dengan udara yang sejuk, tenang disertai semilir angin langsung menyapa. Keberadaan dua pohon ringin rimbun yang diperkirakan usianya sudah puluhan tahun ikut menyambut para peziarah yang datang.
Di depan pesarean juga sudah disediakan sebuah tempat seperti balai yang cukup luas. Bisa untuk istirahat melepas lelah sejenak sebelum ziarah. Di sebelah timur juga tersedia mushola kecil lengkap dengan tempat wudhunya.
Bagi peziarah yang hendak memasuki makan yang memang ditutup, diharapkan menghubungi juru kunci makam, Sumaji, agar bisa dibukakan pintu dan melihat langsung makam Raden Ayu.
Menurut cerita yang ada seperti yang dituturkan juru kunci makam, sosok Raden Ayu Putri Ontjat Tondo Wurung merupakan anak tunggal dari penguasa Kadipaten Terung, Raden Kusein yang masih berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Majapahit saat dipimpin oleh Prabu Brawijaya V.
Kesehariannya Putri cantik kebanggaan sang ayah ini gemar menanam bunga di areal pekarangannya, salah satunya bunga Pandan Wangi. Hasilnya pun lantas ia bagikan kepada masyarakat.
Suatu hari saat hendak memotong bunga yang sudah waktunya panen, Raden Ayu Putri lupa membawa pisau untuk memotong bunga. Hingga akhirnya ia meminjam pisau pada seseorang yang diketahui memiliki kesaktian. Pemilik pisau berpesan pada Raden Ayu agar jangan sekali-kali meletakkan pisau di atas pangkuannya.
Makam Sang Putri yang selalu terjaga kebersihannya. (Foto: Yudha Fury/Ketik.co.id)
“Keasyikan memotong bunga, tanpa sadar Raden Ayu Putri Ontjat meletakkan pisau di pangkuannya,” ceritanya. Beberapa saat kemudian pisau itu lantas lenyap.
Beberapa waktu kemudian perut R.A. Putri Ontjat tiba tiba terus membesar. Ia dituduh tengah berbadan dia akibat perbuatan yang tak terpuji. Kabar tersebut lantas menyebar luas ke seantero Kadipaten. Sang Ayah yang baru datang dari luar kota sangat malu mendengar kabar ini.
Meski demikian R.A. Putri Ontjat bersikeras dirinya tak berbuat seperti yang dituduhkan kepadanya. Namun sayangnya Sang Ayah, Raden Husen lebih percaya kabar dari masyarakat daripada dari Putri kesayangannya sendiri. Untuk menjaga kehormatan, Adipati Terung ini memutuskan untuk menghukum mati anaknya.
Sebelum dieksekusi, R.A. Putri Ontjat berujar jika dirinya tak bersalah maka darah yang keluar dari tubuhnya berwarna putih dan berbau harum. Namun jika ia bersalah seperti yang dituduhkan darahnya berwarna merah dan berbau anyir. Ia juga berpesan agar jenazahnya nanti dilarung di Bengawan Terung.
Sesaat kemudian Adipati Raden Husen mengeksekusi anaknya. Menggunakan Pusaka Segoro Wedang, ia menghujam tubuh R.A. Putri Ontjat.
“Dan benar, ternyata dia mengeluarkan darah putih yang harum,” jelasnya. Spontan Sang ayah langsung memeluk tubuh putrinya yang sudah tak bernyawa.
Keanehan pun terus berlanjut, saat jenazah sang putri dilarung di Bengawan Terung, air Bengawan berhenti seketika. Jenazah tetap mengapung di atasnya. Lama kelamaan, air Bengawan surut dan Bengawan menyempit. Sehingga jenazah R.A. Putri Ontjat dikebumikan di tempat itu. Sama seperti sekarang.
Kini, makam Sang Putri kerap didatangi para peziarah yang didominasi oleh perempuan, khususnya pada jumat legi. Selain memanjatkan doa untuk Sang Putri, mereka juga membedaki nisan.
Mitos yang beredar, bedak yang digunakan ini jika dipakai dapat membuat awet muda. Sedangkan untuk yang masih lajang, maka akan segera dipertemukan dengan jodohnya. (*)