KETIK, PACITAN – Kisah perjuangan dialami warga Desa Nanggungan, Kelurahan Pacitan, Pacitan, Jawa Timur. Perempuan ini bernama Rida Cahyani, seorang guru honorer di SDN Mangunharjo yang semangatnya tak pernah pudar untuk mengajar.
Rida, sapaan akrabnya, sudah mengajar di sekolah tersebut selama 13 tahun, namun gajinya masih cukup rendah. Sebagai guru honorer, ia hanya menerima upah berkisar beberapa ratus ribu saja.
Bahkan, ia mengaku sering mengutang demi berangkat mengajar lantaran uang yang diterimanya tidak cukup membeli bensin motor untuk pergi ke sekolah.
Guru Honorer, Rida Cahyani bersama peserta didiknya. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)
Meskipun begitu, perjalanan dari rumah yang berkisar 18 kilometer dan memakan waktu sekitar 30 menit tetap ditempuh. Seolah tak peduli biaya bensin Rp15.000 setiap kali pulang pergi, untuk 5 hari jadwal mengajar.
"Kadang-kadang, saya terpaksa harus berhutang bensin ke warung atau numpang (nebeng) teman demi bisa mengajar," kata Rida kepada wartawan, Sabtu (25/11/2023).
Sempat, Rida mengeluhkan uang yang didapati jika untuk membeli bensin motor saja kurang. Dirasakannya bahwa pengabdian yang lakukan selama puluhan tahun itu, tentu sangat jauh dari kata sejahtera.
"Bagi saya datang kesekolah dan melihat senyum ceria ketika anak-anak menyambut kedatangan gurunya itu hal yang paling terindah dan motivasi saya untuk terus mengajar," ucapnya.
Guru Honorer, Rida Cahyani bersama peserta didiknya. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)
Kendati demikian, dengan keikhlasan hati dan tekad, dirinya tetap berupaya memberikan yang terbaik demi mencerdaskan anak-anak bangsa.
Berbagi pengalaman sebelumnya, sekitar empat tahun lalu, kehidupan Rida kian sulit ketika ibunya sakit diabetes dan harus dirawat di rumah sakit. Rida membutuhkan biaya yang besar untuk pengobatan ibunya.
"Ibu sakit diabetes kakinya hampir di amputasi. Akhirnya ya gaji suami yang bekerja dipakai buat biaya ibu berobat," kisahnya.
Tak hanya itu saja, ujian masih datang bertubi-tubi. Selepas ibunya melakukan pengobatan diabetes, Rida kembali bernasib pilu, ibunya tersebut bertambah mendapatkan penyakit stroke, disusul ayahnya yang juga terkena penyakit serupa pada satu tahun lalu.
Pun sialnya, pada saat itu, Rida juga tidak bisa mengikuti tes Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) karena ijazah Sarjana (S1)-nya tidak linier dengan bidang mengajarnya.
"Pada waktu itu juga, saya tidak bisa mengikuti tes PPPK karena ijazah saya kan Sarjana bahasa inggris atau tidak linier. Makanya saya harus melanjutkan kuliah lagi, untuk ambil PGSD," imbuhnya.
Mulanya, Rida mengajar mata pelajaran bahasa Inggris, tetapi sejak dua tahun lalu ia menjadi guru kelas. Oleh karena itu, dia harus melanjutkan kuliah lagi untuk mengambil jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD).
"Beban saya bertambah, ketika saya begitu bisa ikut tes PPPK untuk guru kelas, tapi formasi yang di butuhkan hanya lima saja, dengan jumlah pelamar guru kelas sampai 400 orang lebih. Padahal di kota-kota lain formasinya mencapai ratusan," lanjutnya.
Rida berharap pemerintah memperhatikan nasib para guru honorer seperti dirinya. Ia ingin mendapatkan kesejahteraan agar bisa mencerdaskan generasi penerus bangsa.
"Mohon pemerintah melihat keiklasan kami mengabdi, yang kami butuhkan adalah kejelasan nasib," pintanya.
Rida juga mengungkapkan bahwa formasi PPPK untuk guru kelas di daerahnya terbilang sangat sedikit. Padahal, di kota-kota lain formasinya mencapai ratusan.
"Peluang guru kelas di Pacitan sangat sedikit, tolong untuk pihak pemerintah, untuk menambahkan formasinya lagi agar teman-teman GTT ini bisa tenang dan ada harapan yang lebih baik," ujarnya.
Rida berharap pemerintah dapat memperhatikan nasib para guru honorer seperti dirinya. Ia ingin mendapatkan kesejahteraan agar bisa terus mengabdi dan mendidik para generasi penerus bangsa.
"Alhamdulillah, dua tahun ini saya baru dapat insentif dari daerah 500 ribu per bulan dan di terimakan tiga bulan sekali. Tapi sementara ini masih saya gunakan buat bayar kuliah," pungkasnya. (*)