KETIK, SURABAYA – Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur Dr Mia Amiati meluncurkan Rumah Restorative Justice Sekolah di SMKN 5 Surabaya, Rabu (1/3/2023).
Peresmian dihadiri oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dan Kapolda Jatim Irjen Pol Toni Harmanto serta Kepala Dinas Pendidikan Jatim Wahid Wahyudi.
Total terdapat 630 Rumah Restorative Justice Sekolah di Jatim saat peluncuran perdana untuk tingkat SMA, SMK dan SLB di seluruh Jatim.
"Pada hari ini ada 630 Rumah Restorative Justice Sekolah ada 630 dalam satu peresmian," ungkap Mia Amiati.
Kehadiran Rumah Restorative Justice Sekolah bertujuan agar siswa mendapatkan rasa keadilan dan merasa aman di lingkungan pendidikan.
Rumah Restorative Justice Sekolah juga berperan sebagai ruang penyelesaian masalah hukum untuk anak usia sekolah sekaligus memulihkan anggapan atau cap negatif bagi lingkungan pendidikan yang siswanya terjerat kasus hukum.
Rumah Restorative Justice Sekolah melibatkan pihak sekolah, tokoh agama, tokoh masyarakat, komite sekolah dan lembaga penegak hukum dalam proses mediasi.
Namun tidak semua kasus menjadi bagian penanganan Rumah Restorative Justice Sekolah. Untuk kasus hukum kategori extra ordinary crime seperti pengedar narkotika, residivis, kasus dengan ancaman pidana di atas lima tahun dan tindakan asusila tidak masuk dalam penanganan.
Contohnya adalah kasus gangster anak usia sekolah yang berujung pada kecacatan atau menghilangkan nyawa.
Rumah Restorative Justice Sekolah sendiri merupakan adopsi dari program senada yang telah diluncurkan beberapa bulan lalu di berbagai kampus dan tingkat desa serta kecamatan.
Mia menjelaskan, aparat penegak hukum di Indonesia diwajibkan mengedepankan restorative justice atau keadilan restorasi dalam menangani setiap perkara pidana tertentu berbasis kearifan lokal di setiap daerah guna mewujudkan keadilan.
Rumah Restorative Justice adalah sebuah manifestasi kejaksaan dan implementasi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Mia menyebut sudah ada ratusan Rumah Restorative Justice bentukan Kejaksaan Tinggi Jatim.
Saat ini total ada 630 Rumah Restorative Justice di lingkungan sekolah, 4 Rumah Restorative Justice di lingkungan kampus, dan 319 Rumah Restorative Justice di lingkungan desa dan kecamatan.
"Ini menjadi angka yang luar biasa terbanyak dan teraktif di Indonesia. Karena berkewajiban pada Kajari melakukannya setiap bulan semua kegiatan tersebut," kata Mia.
Rumah Restorative Justice tak hanya sekadar diresmikan begitu saja. Akan tetapi juga berfungsi sebagaimana mestinya di lingkungan masing-masing.
Total perkara yang sudah berhasil diselesaikan di Rumah Restorative Justice sebanyak 193 perkara pada 2022.
"Sedangkan awal tahun 2023 hingga hari ini berhasil menghentikan 25 perkara," sambungnya.
Mia berkomitmen terus berupaya mengedepankan pemulihan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat.
Gubernur Khofifah mengapresiasi kehadiran Rumah Restorative Justice Sekolah. Ia berharap jumlah ruang perlindungan dan penegakan hukum di lingkungan pendidikan ini akan terus bertambah. Karena di Jatim terdapat 4454 sekolah tingkat SMA, SMK, dan SLB.
"Artinya saat ini baru sekitar 20 persen Rumah Restorative Justice Sekolah," ungkap Gubernur Khofifah.
Gubernur Khofifah juga mendorong Rumah Restorative Justice Sekolah berkembang hingga tingkat SMP dan SD.
"Mudah-mudahan pembentukan Rumah Restorative Justice akan bisa kita perluas," ucapnya.
Jatim sendiri saat ini memiliki dua rumah restorative justice. Masing-masing besutan Kajati Jatim (Rumah Restorative Justice) dan Kapolda Jatim (Omah Rembug).
"Hari ini kita kembangkan lagi Rumah Restorative Justice Sekolah. Ini menjadi bagian penting karena memang hal-hal yang harus kita semai mungkin berbasis klarifikasi yang intensif, kearifan yang lebih persuasif, " ujar Gubernur Khofifah.
Gubernur berharap secara keseluruhan Rumah Restorative Justice dan Omah Rembug dapat memberikan perlindungan hukum kepada warga Jatim.
"Mudah-mudahan Omah Rembug bisa nyekrup dengan Rumah Restorative Justice," harapnya.
Pada kesempatan yang sama Kapolda Jatim Irjen Pol Toni Harmanto menambahkan, proses penegakan hukum adalah upaya terakhir atau ultimum remedium.
"Bahwa yang perlu dikedepankan adalah konsep restorative justice atau dengan alternative dispute resolution artinya proses di luar sidang pengadilan," kata Kapolda.
Kehadiran restorative justice diharapkan dapat menekan angka kejahatan. Jatim sendiri, kata Kapolda, menempati posisi kedua dalam angka kejahatan.
"Semoga ini bisa menjadi langkah terbaik untuk bisa menekan angka kejahatan yang terus menjadi beban anggaran bagi kepolisian juga dan tentunya juga di masyarakat Jatim sendiri," sambung Irjen Pol Toni Harmanto.
Kapolda Jatim Irjen Pol Toni menjelaskan,
dari total 6.004 kasus sepanjang 2022 menelan anggaran negara Rp247 miliar. Sedangkan yang masuk penanganan kepolisian sejumlah 59.918 kasus.
"Artinya, banyak perkara-perkara juga yang tidak dibiayai di sini," sambungnya.
Sebut saja, indeks perkara terbagi dalam tiga kategori. Yaitu klasifikasi perkara sedang, sulit dan sangat sulit. Rata-rata perkara sedang ditangani selama 14-30 hari. Perkara sulit sekitar 3-6 bulan. Perkara sangat sulit mencapai 1-3 tahun. Indeks dalam perkara yang ditangani kepolisian adalah sulit dan sangat sulit. Sehingga, waktu, tenaga, biaya untuk saksi juga menjadi beban dari proses penegakan hukum.
Sementara jumlah penyidik di Polda dan Polres sebanyak 3.702 anggota. Dalam artian, rasio perbandingan antara jumlah perkara dalam satu tahun tidak seimbang.
"Satu penyidik menangani 16 perkara dan ini berjalan terus sehingga akumulasi itu akan menjadi beban juga bagi kepolisian," ungkap Toni.
Apalagi pada 2023 kepolisian mengalami penyusutan dukungan anggaran dalam penyelidikan dan penyidikan menjadi sekitar Rp62 miliar saja atau turun sekitar 40 persen dari tahun lalu.
Maka, Kapolda Jatim berharap Rumah Restorative Justice dan Omah Rembug bisa menjadi solusi sebagai alternatif di luar persidangan atau alternative dispute resolution.(*)