KETIK, JAKARTA – Ekonom Senior Dr Rizal Ramli hadir sebagai Ahli Pemohon dalam sidang lanjutan pengujian formil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU Cipta Kerja) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945).
Sidang yang digelar tersebut beragenda mendengarkan keterangan Ahli dari Pemohon Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh 15 serikat atau federasi pekerja.
Rizal Ramli menyampaikan sejumlah alasan-alasan dan justifikasi penyebab UU Cipta Kerja tidak diperlukan.
Alasan pemerintah dengan menyatakan ekonomi nasional sangat genting karena pandemi Covid-19 dan dampak krisis global dinilainya suatu alasan yang mengada-ada karena dalam pengamatannya ekonomi Indonesia pada 2020-2023 tumbuh sekitar lima persen.
"Hal ini jelas ekonomi memperlihatkan ekonomi Indonesia tumbuh dan tidak mengalami kegentingan serta masih dapat diatasi dengan cara-cara inovatif. Suatu keadaan dikatakan genting jika terjadi resesi dan diperlukan tindakan besar untuk mengembalikannya pada kondisi normal. Sementara lahirnya UU ini tidak berlaku karena alasan yang dibuat terlalu mengada-ada," ujar Rizal dalam sidang di Mahkamah Konstitusi (MK) dilansir dari Metro News, Kamis (27/7/2023).
Selain itu, Rizal juga menyampaikan bahwa alasan lainnya yang digunakan pemerintah untuk melegalkan penyusunan UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan peraturan, perizinan, dan tumpang tindih aturan sehingga dengan adanya aturan ini investasi akan membaik.
Rizal yang pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Indonesia Periode Agustus 2015-Juli 2016 lalu mengakui birokrasi di Indonesia cukup rumit dan segala perizinan pun ruwet, tetapi dengan dihasilkan UU Cipta Kerja ini justru semakin menambah masalah yang rumit dan kompleks.
“Coba diamati sederhana bagaimana UU ini yang 1.000 halaman dan penjelasannya ada 500 halaman, masa disederhanakan tetapi antar pasal banyak konflik ide, sehingga untuk memahami undang-undang ini perusahaan besar saja harus menyewa lawyer untuk memahaminya, apalagi usaha-usaha kecil dan menengah. Jika ingin membantu usaha kecil, cukup jadikan normanya 50 halaman sehingga tidak ada keraguan pengertian terhadap isi substansi undang-undang," jelasnya.
"Bahkan akibatnya dari undang-undang ini semakin membuka peluang bagi birokrat untuk mengunakan sebagai sarana memeras lagi. Dampaknya pada investasi tidak meningkat signifikan, kecuali tambang tetapi bidang jasa manufaktur investasi jauh merosot dari Vietnam dan Thailand,” sambung Rizal.
Berikutnya, Rizal juga mengaitkan keberadaan UU Cipta Kerja yang dinilainya sangat merugikan buruh dan keluarganya.
Sebagai ilustrasi, ia mencontohkan pemberlakuan sistem outsourcing seumur hidup. Umumnya sistem ini hanya berlaku sementara atau setidaknya hanya tiga bulan, kecuali bagi industri yang cocok untuk pemberlakuan sistem ini.
Akibat dari norma ini, sambungnya, pekerja tidak mendapatkan tunjangan kesehatan, para buruh tidak punya pegangan ekonomi bagi keluarga dan ini merupakan bentuk perbudakan di masa modern.
Ia menyebut, perbudakan tersebut terjadi karena UU Cipta Kerja menekan hak-hak pekerja atau buruh, layaknya masa kolonial karena masyarakat pribumi tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki nasib kehidupannya secara normal.
Rizal kembali mengingatkan pemerintah dan rakyat Indonesia tentang cita-cita dari pendiri bangsa dalam mendirikan Republik Indonesia yakni membentuk negara kesejahteraan dan bukan melahirkan sistem kapitalis yang spekulatif dan ugal-ugalan.
Peran negara, koperasi, dan swasta menjadi soko guru untuk keberlangsungan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi Indonesia yang terbaik dan ideal. Dengan demikian, akan lahir bangsa Indonesia yang cerdas dan makmur.
Akan tetapi, lahirnya UU Cipta Kerja ini baginya sangat bertentangan dengan UUD 1945 karena lagi-lagi keberadaan norma di dalamnya mencoba menjadikan buruh lebih miskin dan hanya dijadikan sebagai alat produksi dan bukan bagian dari pekerja untuk menikmati kemakmuran.
Sebelumnya, dalam sidang pendahuluan yang digelar pada Rabu (31/5), Alif Fachrul Rachmad selaku kuasa Pemohon menyampaikan pembentukan UU Cipta Kerja harus tunduk pada Undang-undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Alif melanjutkan Pemohon menilai UU Cipta Kerja cacat formil karena UU Cipta Kerja yang semula merupakan Perppu Cipta Kerja disahkan dalam masa reses. Pemohon menemukan fakta hukum yang terjadi bahwa Perppu Cipta Kerja yang menjadi cikal bakal lahirnya UU Cipta Kerja ditetapkan pada 30 Desember 2022 yang merupakan masa reses. Hal ini, menurut Pemohon merupakan bentuk pelanggaran nyata terhadap Pasal 22 UUD 1945 dan Pasal 52 ayat (1) UU P3.(*)