KETIK, PALEMBANG – Kerajinan gerabah diperkirakan berasal dari Negeri Tirai Bambu, sekitar 4000 SM. Kala itu, orang-orang membuat gerabah dengan tujuan sebagai perkakas rumah tangga.
Gerabah adalah alat-alat dapur-- untuk memasak dan sebagainya-- yang dibuat dari tanah liat dan kemudian dibakar.
Dari awal ditemukan sampai hari ini, teknik pembuatan gerabah masih sangat sederhana dan segala sesuatunya dikerjakan dengan tangan.
Masa kejayaan gerabah, khususnya di Kota Palembang, diperkirakan berlangsung pada tahun 1980 sampai 2000, di mana sebanyak delapan usaha rumahan alias pabrik gerabah beroperasi di Lorong Keramik, Sei Selincah, Kecamatan Kalidoni, Kota Palembang.
Satu pabrik gerabah pada masa itu dapat menghasilkan lebih dari 100 buah kerajinan setiap harinya. Gerabah-gerabah itu pun dijual sampai ke luar daerah.
Namun, memasuki era 2000an, minat masyarakat untuk menggunakan gerabah semakin lama semakin surut. Penggunaan alat-alat dapur yang dibuat dari tanah liat semakin berkurang.
Hal ini mengakibatkan lesunya industri gerabah di Lorong Keramik. Dari delapan pabrik gerabah yang mampu memproduksi ratusan buah setiap hari, kini tersisa lima usaha rumahan yang tak menentu jumlah produksinya.
Salah satu usaha gerabah yang masih bertahan adalah Gerabah milik Sumardi (62). Dia adalah salah satu perajin yang telah menekuni dunia pembuatan gerabah sejak masih remaja.
Sumardi mengikuti jejak sang ayah sebagai pengrajin gerabah di rumah sampai akhirnya dia menikah dengan Asmi (53) dan mendirikan pabrik gerabahnya sendiri pada tahun 1988.
Hari ini, usaha gerabah Sumardi tak seeksis dulu. Dia hanya mampu mempekerjakan satu orang untuk membantu produksi usahanya. Padahal, pada masa jayanya, usaha gerabah Sumardi mampu merekrut beberapa pengrajin sekaligus.
Hal ini disebabkan permintaan gerabah yang semakin hari semakin menyusut. Di rumah Sumardi, tumpukan ribuan gerabah menghiasi segala sudut ruangan.
"Itu yang di teras rumah kurang lebih sudah dua tahunan tertumpuk di sana (belum terjual)," kata Sumardi, Selasa, 15 Oktober 2024.
Asmi (53) menunjukkan gerabah yang menumpuk di ruang tamunya. Gerabah-gerabah itu merupakan hasil produksi yang tidak terjual selama dua tahun terakhir. (Foto: Wisnu Akbar Prabowo/Ketik.co.id)
Produktivitas menurun
Dengan sisa tenaganya, Sumardi mengangkati gerabah-gerabah yang dijemur di halaman rumahnya. Sesekali, dia harus beristirahat sejenak akibat penyakit rematik yang dideritanya.
"Kalau sekarang ini rematik, mau kerja gak bisa ngoyo lagi," tutur Sumardi sembari memperbaiki gerabah yang bentuknya tidak sempurna.
Jumlah produksi gerabah Sumardi tak sebanyak sewaktu dirinya masih muda. Dulu, dalam sehari dia mampu memproduksi antara 80 sampai 100 gerabah sendirian.
Kini, angka tersebut tinggallah kenangan. Sumardi tak lagi mempunyai tenaga yang cukup untuk memproduksi sebanyak itu. Paling banyak dalam sehari dia mampu menghasilkan sebanyak 40 gerabah berbentuk kendi.
"Sekarang mau buat banyak sudah tidak kuat. Kalau dulu iya, kita masih muda masih bertenaga. Sehari itu bisa buat 80 sampai 100 gerabah sendirian," jelas Sumardi.
Di sana, pelbagai jenis gerabah dihasilkan oleh Sumardi. Ada yang dibentuk secara manual, ada yang memakai cetakan.
Gerabah yang bentuknya bulat seperti kendi dibuat dengan menggunakan alat khusus yang dapat diputar agar menghasilkan bentuk bulatan yang apik.
Sedangkan, untuk beberapa jenis seperti celengan ayam, dibuat menggunakan cetakan.
Produktivitas gerabah Sumardi juga menurun akibat dari bahan baku yang sulit didapat. Dulu, Sumardi cuma perlu menggali tanah di belakang rumahnya untuk mendapatkan bahan baku.
Namun dalam tiga tahun belakangan ini, Sumardi harus memesan tanah liat dari Tanah Mas di Desa Gasing, Kabupaten Banyuasin.
Selain karena tenaganya yang sudah tidak seperkasa dahulu, tanah galian di belakang rumah Sumardi juga sudah terlalu dalam dan sulit untuk digali lagi.
"Untung masih ada yang jual tanah liat. Kalau tidak ada, mungkin kami sudah tidak beroperasi lagi," kata dia.
Gerabah milik Sumardi dijual dengan harga yang relatif terjangkau. Untuk kendi berukuran kecil, mereka mematok harga Rp7.500 per buah.
Untuk celengan ayam berukuran kecil, Sumardi menjualnya dengan harga Rp25.000, sedangkan yang berukuran besar dibanderol dengan harga Rp50.000.
Sedangkan untuk kerajinan berbentuk lainnya, keluarga tersebut mematok harga mulai dari Rp10.000, tergantung ukuran dan tingkat kesulitan dalam pembuatannya.
Gelisah mereka di hari tua
Pada masa jayanya, Sumardi dan sang istri mampu mengoleksi pundi-pundi rupiah dengan mudah. Setiap hari selalu ada konsumen yang datang ke rumah untuk membeli gerabah Sumardi.
Ratusan gerabah mampu terjual dalam satu hari dengan mudah. Bahkan, mereka sempat tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar kala itu.
Dari hasil penjualan itu, keduanya mampu membesarkan tiga orang anaknya sampai lulus SMA, termasuk si bungsu yang masih duduk di bangku kuliah.
Akan tetapi di masa kini, boro-boro menabung. Untuk membiayai kebutuhan sehari-hari pun Sumardi dan istri harus memutar otak dengan keras.
Sebab, konsumen datang tak menentu. Dalam seminggu terakhir ini, belum ada satu orang konsumen pun yang datang membeli gerabah Sumardi.
Sekalipun datang, mereka hanya membeli 20 sampai 40 buah saja. Hal ini membuat gerabah Sumardi tertumpuk tidak karuan di rumahnya sampai bertahun-tahun.
"Sekarang kalau kita tidak ke pasar tidak ada yang beli. Kalau dulu mereka (konsumen) yang datangi kita. Sekarang paling-paling dari rumah sakit yang datang membeli. Mereka beli untuk dipakai ibu-ibu melahirkan," kata Asmi.
Dewasa ini, usaha gerabah Sumardi bagai telur di ujung tanduk. Tinggal menunggu waktu sampai pabrik gerabahnya benar-benar berhenti beroperasi.
Hal ini disebabkan tidak adanya generasi penerus dari keluarga Sumardi dan Asmi untuk melanjutkan usaha yang telah berjalan kurang lebih 36 tahun itu.
Ketiga anaknya tak ada yang ingin menjadi pengrajin gerabah. Mereka lebih memilih menekuni profesi lain dibanding berkutat di dunia kerajinan tanah liat.
Selain itu juga, kerajinan gerabah juga semakin lama semakin ditelan zaman. Gerabah kalah dengan perabotan rumah yang lebih modern dan jauh lebih efisien.
Asmi berharap, usaha gerabah miliknya bisa bertahan setidaknya sampai si anak bungsu lulus perkuliahan, karena pengeluaran terbesar saat ini berasal dari situ.
"Yang penting kalau sekarang kita bisa makan, itu saja," tutupnya. (*)