KETIK, JAKARTA – Respon atas disahkannya Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2024 tentang Tanggung Jawab Perusahaan Platform Digital untuk Mendukung Jurnalisme Berkualitas, mulai bermunculan. Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) sebagai organisasi wadah sejumlah perusahaan media online mengapresiasi regulasi yang kerap disebut sebagai Perpres Publishers Rights pada 20 Februari 2024.
Organisasi yang juga konstituen Dewan Pers ini optimistis Perpres Publishers Rights akan membuka jalan bagi negosiasi bisnis yang setara antara perusahaan platform digital global seperti Google, Meta, Tiktok bahkan platform Artificial Intelligence seperti OpenAI dengan perusahaan atau penerbit media digital di Indonesia.
“Bagi kami, dampak dari pemberlakuan aturan ini akan signifikan. Sejumlah media yang selama ini sudah memiliki perjanjian lisensi konten dengan platform digital akan memperoleh kepastian pendapatan. Sementara media-media yang belum memiliki perjanjian dengan platform--selama sudah terverifikasi di Dewan Pers-- bisa mulai menegosiasikan sebuah relasi bisnis yang saling menguntungkan,” ujar Wahyu Dhyatmika, Ketua Umum AMSI, dalam pernyataannya, Selasa (20/02/2024).
Perjanjian bisa dilakukan masing-masing media secara individu maupun kolektif. AMSI berkomitmen menjembatani anggota yang belum terverifikasi di Dewan Pers untuk mendapatkan kompensasi melalui perjanjian kolektif.
AMSI mengakui, Perpres Publishers Rights belum memecahkan semua persoalan model bisnis media yang saat ini mengalami goncangan atua disrupsi akibat perkembangan teknologi digital.
Namun, perpres ini setidaknya menawarkan sebuah solusi transisi yang dapat memberi nafas buat media yang tengah melakukan transformasi digital menjadi media siber sepenuhnya.
“Selain itu, Perpres ini membuka ruang bagi model bisnis baru di luar model bisnis yang mengandalkan impresi atau pencapaian traffic (page views). Dominasi model bisnis media semacam itu turut berkontribusi pada munculnya banyak konten sensasional, click bait, serta konten yang terlampau mengandalkan kecepatan dengan mengorbankan akurasi dan kelengkapan fakta,” lanjut Wahyu.
AMSI berharap, perpres ini dapat memperbaiki ekosistem bisnis media di Indonesia. Untuk itu, AMSI berjanji akan mendorong penerbit media digital anggotanya untuk berlomba mencari inovasi baru untuk melayani kepentingan publik akan jurnalisme berkualitas.
"Perpres ini memungkinkan model revenue stream baru selama publishers bisa membidik segmen audiens yang tepat dengan layanan informasi yang relevan, dengan mempertimbangkan kebutuhan platform untuk menjaga kenyamanan penggunanya," tutur pria yang juga CEO Tempo Digital ini.
Untuk itu, AMSI berharap para perusahaan platform digital bersedia menerima keberadaan regulasi ini sebagai ajakan untuk bersama sama meningkatkan kualitas ekosistem informasi digital di Indonesia.
Poin Penting
Salah satu poin penting sekaligus yang memicu perdebatan dari Perpres No 32 Tahun 2024 tentang Jurnalisme Berkualitas atau Publisher Rights adalah ketentuan yang mewajibkan perusahaan Platform Digital untuk bekerjasama dengan perusahaan atau penerbit media digital.
Seperti yang dilihat Ketik.co.id, pada pasal 5 disebutkan, perusahaan platform digital wajib mendukung jurnalisme berkualitas, salah satunya dengan bekerjasama dengan perusahaan pers.
Lalu pada Pasal 7 ayat (2) disebutkan, makna kerja sama antara platform digital dan perusahaan pers adalah berupa lisensi berbayar, bagi hasil, berbagi data agregat pengguna berita dan/atau bentuk lain yang disepakati.
Bagi hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan pembagian pendapatan atas pemanfaatan Berita oleh Perusahaan Platform Digital yang diproduksi oleh Perusahaan Pers berdasarkan perhitungan nilai keekonomian," demikian bunyi Pasal 7 ayat (3).
Kemudian, pasal 8 Perpres ini juga mengatur penyelesaian sengketa antara platform digital dan perusahaan pers.
"Dalam hal terjadi sengketa antara Perusahaan Platform Digital dengan Perusahaan Pers, para pihak secara sendiri-sendiri atau secara bersama dapat mengajukan upaya hukum di luar peradilan umum dalam bentuk arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa," jelas aturan ini.
Penyelesaian sengketa tersebut dilaksanakan secara independen sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (*)