KETIK, SURABAYA – Jatuh bangun Laksmi Widjajanti memperjuangkan pendidikan anak keduanya yang mengidap disleksia sangat mengagumkan.
Kesabaran, keberanian, dan ketegarannya sebagai seorang ibu sekaligus Psikolog Anak dan Remaja dalam mendidik Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) tidak diragukan lagi.
Laksmi panggilan akrabnya bercerita bahwa anak perempuannya mengalami disleksia dengan komorbid Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Sebuah gangguan saraf di bagian otak yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan memproses bahasa. Ditambah ADHD, yakni gangguan yang menyebabkan seseorang kesulitan memusatkan perhatian.
Sulitnya Mencari Sekolah
Laksmi bercerita, anak keduanya itu kesulitan membaca, mengeja, dan menulis. Awalnya, dia tidak mengerti apa yang terjadi pada anak perempuannya itu. Karena secara umum, dia melihat anaknya sama seperti lainnya, tidak ada yang berbeda.
Saat dia duduk di bangku Sekolah Dasar kelas 1, Laksmi pernah dipanggil oleh guru dan disarankan memeriksakan mata anaknya karena tidak bisa membaca dan menulis.
"Sekarang anak saya umur 32 tahun, sudah punya anak. Waktu kelas 1 SD saya dipanggil gurunya untuk memeriksakan matanya karena nggak bisa membaca dan menulis. Ternyata benar minus 3, tapi sudah pakai kacamata tetap nggak bisa, akhirnya saya leskan," kata Laksmi ketika ditemui Ketik.co.id, Minggu 8 Desember 2024 di Shangri-La Hotel Surabaya.
Karena khawatir, Laksmi memutuskan memanggil guru les terbaik teladan tingkat nasional dekat rumah untuk mengajari anaknya baca tulis. Selama 6 bulan, anak perempuannya intens belajar membaca dan menulis, namun tidak ada kemajuan sama sekali.
Laksmi terus bertanya, ada apa dengan putrinya saat itu. Ditambah kondisi ADHD yang membuat emosi putrinya begitu drastis.
"Kalau lagi senang bisa senang banget, kalau sedih bisa sampai mengunci pintu di kamar," ujarnya pada Ketik.co.id.
Soal kemampuan literasi, dia pernah mendapat teguran dari guru bahwa apabila akhir tahun tidak ada perkembangan soal baca tulis, maka putrinya tidak bisa lagi bersekolah di situ.
"Ini kenapa gitu kan, sampai gurunya bilang kalau sampai akhir tahun pelajaran nggak bisa baca tulis, nggak bisa sekolah di sini," kenang Laksmi.
Mendengar itu, Laksmi mulai resah. Dia bertanya-tanya mau di sekolahkan di mana putrinya ini? Dia pun memutuskan menyekolahkan anaknya ke sekolah dengan jumlah murid sedikit. Namun, sayang tidak ada sekolah yang mau menerima.
"Alasannya selalu kuotanya sudah banyak, sudah cukup. Akhirnya saya sekolahkan di Sekolah Luar Biasa (SLB)," katanya.
Memang pada awal tahun 2000-an, kata Laksmi, perhatian terhadap ABK belum se-masif seperti saat ini. Sekolah-sekolah pada saat itu memandang aneh ABK, terlebih pada mereka yang tidak bisa membaca dan menulis.
Singkat cerita, sejak dimasukkan SLB Laksmi mulai bernapas lega karena putrinya mulai ada perkembangan di kemampuan membaca dan menulis.
Tapi, perasaan itu tidak berlangsung lama karena ada satu dan lain hal yang menyebabkan guru favorit anaknya pindah sekolah. Ini yang membuat putrinya sempat tidak mau sekolah.
"Saya cari guru itu di mana, saya pindahkan sesuai dengan di mana guru itu berada, ternyata mendirikan SLB baru, saya sekolahkan di situ. Tapi, waktu kelas 4, saya bertemu dengan guru sekolahnya yang dulu, akhirnya masuk lagi ikut guru itu, jadi ijazahnya bukan SLB tapi sekolah itu," ceritanya.
Beberapa kali Laksmi memindahkan sekolah anaknya. Ini karena dia belum menemukan sekolah yang tepat. Putrinya tersebut sempat merasa takut pergi ke sekolah karena tidak bisa membaca dan menulis. Dia suka berpura-pura tidur agar tidak pergi ke sekolah.
Tetapi seiring berjalannya waktu, kemampuan akademisnya mengalami peningkatan. Bahkan kemampuan mengerjakan soal bahasa Inggris berkembang.
"Saya merasa lega karena ternyata anakku bisa. Cuma baca tulisnya itu lo, itu yang saya masih bertanya-tanya karena waktu itu belum kenal sama disleksia. Dia cara belajarnya pakai auditori,” jelas pendiri Ghaudia Psychological Clinic Surabaya ini.
Diagnosa Disleksia
Perjalanan mencari jawaban atas kondisi sang putri tidak mudah. Menurut pengakuannya, butuh waktu puluhan tahun hingga akhirnya Laksmi mengerti bahwa anaknya mengidap disleksia.
Itu setelah dia belajar dari banyak sumber sampai bertanya dengan dosen-dosennya di kampus.
“Hampir setiap hari saya ke toko buku cari buku baru, cari di internet anakku ini kenapa. Balik ke kampus, tanya ke para dosen tapi mereka tidak tahu,” akunya.
Informasi tentang disleksia saat itu, kata Laksmi, memang masih minim di Indonesia. Itulah yang membuat dia kesulitan mendapatkan jawaban.
“Tahun 2015 itu baru ketemu setelah saya belajar. Lho ini kan seperti anakku, seperti aku,” ungkapnya.
Lebih dalam soal disleksia, perempuan 60 tahun ini menerangkan bahwa anaknya mengerti nama-nama huruf, tapi kesulitan menggabungkan setiap huruf tersebut menjadi sebuah kalimat. Misalnya huruf B, terbalik menjadi D.
Putrinya juga kesulitan mengeja huruf, semisal Jakarta. Dia kesulitan mengeja kata Jakarta untuk ditulis dan menyalin tulisan dari papan tulis ke buku.
“Jadi ada gangguan persepsi. Kalau saya tanya ada apanya? Dia jawab kayak ada bunga mataharinya di tulisan,” ucap Laksmi tidak bisa membayangkan bunga matahari seperi apa yang dimaksud.
Keterbatasan putrinya sempat membuat dia tidak naik kelas. Ini terjadi saat putrinya duduk di bangku kelas 1 SMP. Ketika itu putrinya tidak mendapatkan rapor karena dianggap tidak ada kontribusi hitam di atas putih (tulisan).
“Karena dia memang tidak bisa menulis. Jadi waktu ulangan dia bisa verbal, dia bisa menjelaskan perbedaan gaya dan gerak itu bisa, tapi jangan disuruh nulis,” jelas Ketua Jaringan Kewirausahaan dan Ketenagakerjaan Sosial ini.
Setelah dicari tahu lebih dalam, gangguan bahasa ini ternyata menurun dari orang tua. Laksmi sendiri mengidap diskalkulia, kebalikan disleksia, yang mana dia kesulitan memahami konsep angka atau matematika.
Hadapi Bullying
Ketidakmampuan membaca dan menulis yang dialami putrinya ini menimbulkan berbagai macam bullying. Tidak hanya dari masyarakat sekitar, tapi juga guru di sekolah.
Sambil berkaca-kaca, Laksmi bercerita pernah ada seorang guru yang bertanya “Ibu tidak salah menyekolahkan putrinya di sini?” tanya sang guru.
Dengan tegas Laksmi menjawab bahwa dia tidak salah menyekolahkan putrinya di tempat itu. Guru tersebut menjawab dengan pernyataan menohok, “Ibu tahu, dia tidak pantas sekolah di sini!,” kata guru tersebut.
Laksmi merasa apa yang dikatakan guru tersebut tidak pantas. Ini karena apa yang dialaminya adalah takdir. Artinya, kehadiran anaknya di dunia ini adalah takdir dari Tuhan.
“Anak saya tidak mendapat rapor, sampai dia tanya, ibu aku tidak dapat rapor teman-teman dapat, terus aku nasibnya bagaimana?” kata psikolog alumni Universitas Surabaya ini menirukan ucapan anaknya.
Pengalamannya ini membuat sang anak sempat tidak ingin melanjutkan sekolah. Dia mau sekolah asalkan ditemani dengan ayahnya.
“Perjuangan seorang ibu yang punya anak ABK itu setiap hari menangis. Karena apa yang terjadi besok itu kami nggak tahu, tergantung emosi anaknya. Jadi orang tua harus punya strategi A sampai Z untuk menangani itu,” bebernya.
Meski begitu, dia percaya ABK memiliki talenta terpendam dan belum ketemu. Dia juga percaya bahwa Allah tidak pernah salah dalam menciptakan makhluknya. Hanya saja manusia yang seringkali tidak mengerti apa maksudnya.
“Orang tua ABK itu tidak memiliki ekspektasi tinggi kepada anaknya. Cukup bisa berdiri sendiri, berguna bagi dirinya dan orang lain di sekitarnya, itu cukup,” tegas Laksmi. (*)