Bukan Soekarno, Bung Karno Ingin Ditulis Sukarno, Mengapa?

Jurnalis: Muhammad Faizin
Editor: M. Rifat

20 September 2023 01:41 20 Sep 2023 01:41

Thumbnail Bukan Soekarno, Bung Karno Ingin Ditulis Sukarno, Mengapa? Watermark Ketik
Bung Karno saat berdiskusi dengan pemimpin revolusioner Amerika Latin, Che Guevara. (Foto: Repro buku "Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia" karya Cindy Adams)

KETIK, SURABAYA – Sepanjang sejarah, Indonesia memiliki dua presiden yang namanya berawalan “soe” atau “su”. Yakni Sukarno dan Soeharto. Dalam tradisi Jawa, awalan kata “su” pada sebuah nama berarti baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Soeharto dalam salah satu buku biografinya, “Pak Harto: The Untold Story”.

Kedua pemimpin bangsa tersebut, yakni Sukarno dan Soeharto merupakan dua tokoh bangsa yang lahir pada masa penjajahan. Sukarno lahir tahun 1901, sedangkan Soeharto lahir tahun 1921.

Keduanya bersekolah pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda masih kukuh di bumi nusantara. Pada saat itu, di bumi Nusantara masih berlaku ejaan Van Ophuysen (ejaan lama ditulis Van Ophuijsen).

Ejaan Van Ophuysen berlaku sejak tahun 1901 hingga 1947. Ejaan ini diciptakan oleh Charles Adriaan van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) yang saat itu menjabat sebagai inspektur pendidikan ulayat, semacam menteri urusan pendidikan untuk kaum pribumi.

Sebagai informasi, saat itu pemerintah kolonial Hindia Belanda memang sedang menerapkan politik etis yang salah satunya dipengaruhi gerakan liberalisme di Kerajaan Belanda. Salah satu wujud politik etis itu adalah penyediaan fasilitas pendidikan secara terbatas untuk sebagian kecil masyarakat pribumi seperti yang bisa dirasakan oleh Sukarno dan Soeharto.

Salah satu ciri utama dari ejaan Van Ophuysen adalah lafal “u” yang ditulis dengan ejaan “oe”. Atau nama hari “Jumat” yang ditulis dengan ejaan “Jum’at”. Atau juga kata serapan dari bahasa Arab seperti “Adil” yang ditulis dengan tanda petik di depan huruf A, yakni “ ‘adil”.

Sebagai generasi yang lahir dan tumbuh besar saat ejaan Van Ophuysen masih berlaku, tak heran jika nama Sukarno dan Soeharto ditulis menggunakan ejaan “oe”. Hal itu misalnya terlihat dalam naskah teks proklamasi yang asli, yakni pembubuhan tanda tangan dari kedua proklamator. Tertulis kalimat di akhir teks proklamasi “Atas nama Bangsa Indonesia: Soekarno Hatta”.

Situasi berubah ketika Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Sejak itu, semangat anti kolonial terus bergelora di kalangan para tokoh bangsa, tak terkecuali Sukarno yang sejak muda benci terhadap segala yang berbau kolonial Belanda.

Saat itu, pemerintah Indonesia yang baru lahir menetapkan ejaan baru yang disebut Ejaan Republik untuk menggantikan ejaan sebelumnya yang merupakan warisan kolonial.

Ejaan itu ditetapkan oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia saat itu, Mr Raden Soewandi. Karena itu, ejaan ini disebut juga “Ejaan Soewandi”.

Salah satu ciri utama dari ejaan ini adalah ucapan “u” yang sebelumnya ditulis dengan huruf “oe”, kini cukup ditulis dengan satu huruf saja, yakni “u”.

Namun, khusus untuk nama orang, sebagian masih bisa menggunakan ejaan lama dan itu bersifat opsional. Salah satu yang memilih untuk tetap menggunakan ejaan lama adalah sang pencipta ejaan itu sendiri, yakni Soewandi.

Bung Karno Menegur Wartawan Karena Ditulis Soekarno

Berbeda dengan Soewandi ataupun Soeharto, Bung Karno termasuk pemimpin Indonesia yang dengan tegas meminta penulisan namanya diubah menjadi sesuai ejaan Soewandi.

“Karena itulah, maka Sukarno menjadi namaku yang sebenarnya dan satu-satunya,” ujar Bung Karno kepada Cindy Adams, jurnalis asal AS yang menulis buku biografi berjudul “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”.

Buku yang diterbitkan pertama kali tahun 1966 –beberapa bulan menjelang proses jatuhnya Presiden Sukarno- menjadi buku biografi pertama tentang Bung Karno yang ditulis menggunakan ejaan Suwandi.

Pernah suatu ketika, di tahun 1965, Presiden Sukarno dalam sebuah lawatan ke Jerman memprotes seorang jurnalis. Karena namanya ditulis menggunakan ejaan lama –Soekarno.

“Kenapa kamu tulis nama saya dengan ejaan “oe”? “ tanya Bung Karno dengan raut wajah serius dan dalam bahasa Jerman.

Sang jurnalis pun menjawab, bahwa terakhir kali mereka bertemu, nama Bung Karno masih ditulis dengan menggunakan ejaan lama, Soekarno.

Bung Karno lalu menjawab dengan tegas, bahwa sejak Indonesia merdeka, penulisan namanya telah berubah. Ia pun menuliskan namanya ke sebuah kertas dan memberikannya kepada si jurnalis. Tertulis nama “Sukarno”.

“Ini yang benar,” ucap Presiden Sukarno dengan serius.

Sikap Bung Karno yang menggebu-gebu dengan menekankan penulisan namanya menggunakan ejaan baru pasca kemerdekaan, memang punya alasan khusus.

Ia memiliki semangat dekolonisasi –yakni membuang segala hal yang beratribut atau sisa warisan penjajahan. Termasuk dalam hal ejaan nama.

Hal itu pula yang ditegaskan oleh salah satu putra Bung Karno, yakni Guruh Sukarno Putra saat menerbitkan ulang buku biografi ayahnya pada tahun 2007 silam.

“Kami berharap kepada semua pihak, agar dalam menulis nama Bung Karno disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia sebagaimana yang beliau inginkan. Yaitu Sukarno, bukan Soekarno. Dengan demikian, penulisan Bandara Soekarno – Hatta pun harus disesuaikan menjadi Bandara Sukarno – Hatta,” ujar Guruh.

Sayangnya, harapan Guruh untuk mengganti penulisan nama bandara itu tidak pernah terwujud. Meski sang kakak –Megawati- pernah menjadi presiden di negeri ini. (*)

Tombol Google News

Tags:

SUKARNO Soekarno Bung Karno Sejarah Nasional Indonesia Megawati Cindy Adams Penyambung Lidah Rakyat Hindia Belanda 1965 Guruh ejaan Soewandi Van Ophuysen