KETIK, KEDIRI – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kediri bersama dengan organisasi mahasiswa menggelar mimbar bebas bertajuk 'Darurat Demokrasi' di Cafe Kios Domisili Sekitar, di Kelurahan Rejomulyo, Kota Kediri, Minggu (11/2/2024) kemarin. Kegiatan itu sebagai bentuk kritik terhadap pemerintah sekarang di bawah Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Koalisi terdiri dari AJI Kediri, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Kediri, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kediri, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Kediri dan Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kediri. Dalam agenda tersebut, semua peserta yang hadir diberi kesempatan untuk menyampaikan uneg-uneg dan kegelisahan terhadap pemerintah Presiden Jokowi. Sebelum berorasi, kegiatan ini diselingi dengan nonton bareng (nobar) film Dirty Vote karya Dandy Laksono serta diakhiri dengan pernyataan sikap bersama.
Ketua AJI Kediri, Danu Sukendro mengatakan kegiatan ini diadakan untuk merespon adanya dugaan rekayasa dalam Pemilihan Presiden Republik Indonesia oleh Presiden Jokowi untuk memenangkan pasangan calon presiden nomor urut 2, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabumi Raka.
"Saat ini, Presiden Jokowi makin menunjukkan ambisinya melanggengkan kekuasaan dengan cara yang kotor," tegas Danu.
Tak hanya itu, lanjut Danu, Jokowi juga melemahkan Mahkamah Konstitusi (MK) yang kemudian melahirkan politik dinasti, menyalahgunakan sumber daya negara dan mengintimidasi oposisi. Rezim Jokowi mengabaikan pentingnya Pemilu yang jujur, adil dan berintegritas.
"Tidak ada demokrasi dalam pemilu yang cacat. Tidak ada kebebasan pers jika demokrasinya mati," imbuhnya. Menurut Danu, Indonesia saat ini telah mengalami kemunduran demokrasi yang luar biasa di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi. Penghormatan terhadap hak asasi manusia diabaikan demi mempertahankan investasi yang menguntungkan oligarki.
Danu mencontohkan, kepemimpinan Presiden Jokowi yang anti-demokrasi kata dia telah ditunjukkan dengan pengesahaan sejumlah undang-undang yang justru mengancam HAM dan memperlemah institusi demokrasi mulai dari Perpres jabatan fungsional TNI, revisi UU KPK,UU Cipta Kerja, Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik yang masih memuat pasal-pasal berbahaya bagi kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
"Represi dan kriminalisasi terhadap kritik dan pembela hak asasi manusia telah mempersempit ruang kebebasan sipil. Alih-alih mendengarkan aspirasi rakyat, masyarakat sipil yang berunjuk rasa atas berbagai undang-undang yang mengancam itu, justru ditindak dengan kekerasan. Alih-alih mengakomodir masukan dari rakyat, aktivis yang mengkritik kebijakan justru diancam dengan pasal-pasal pidana," tuturnya.
Senada dengan Danu, Ketua Umum HMI Cabang Kediri, Wahyu Agus Hariadi mengatakan kegiatan ini merupakan respon tindakan semena-mena yang dilakukan oleh presiden jokowi untuk memuluskan dinastinya. "Kami miris dan prihatin melihat tingkah laku para pejabat yang hari ini menunjukkan ketidak netralannya dalam pemilu 2024. Untuk itu kami mendesak dengan keras para pejabat untuk menunjukkan netralitasnya, serta tidak menggunakan kewenangan dalam pemerintahan untuk membantu salah satu paslom dalam pemilu 2024," katanya.
Sementara itu, Ketua DPC GMNI Kediri Moh. Abdur Roziqin mengatakan, Presiden Jokowi tak sama seperti awal mula muncul, hari ini yang terlihat adalah ambisi besar untuk mencapai tujuan pribadinya. "Kita tertipu dengan tampilan awal, yang seolah-olah beliau adalah orang baik, namun setelah mendapatkan kekuasaan rentan melakukan manipulasi publik demi kelancaran ambisi dan mencapai tujuannya," tuturnya.
"Dengan begitu saya berpandangan, siapapun yang mendapat kesempatan untuk duduk pada posisi ruang kuasa teramatlah sangat berpotensi menjadi tirani," lanjutnya. Roziqin juga menyebut, kasus etik Anwar Usman di Mahkamah Konstitusi jelas-jelas menunjukan bahwa ada upaya konkrit dari penguasa untuk memuluskan jalan Gibran Rakabuming Raka untuk maju menjadi Cawapres. Selain itu, menurut Roziqin politisasi Bansos, penyanderaan pihak - pihak melalui kasus hukum dipertontonkan secara telanjang tanpa rasa malu demi memenangkan kandidat tertentu.
"Betapa publik yang diwakili oleh guru besar, tokoh kebudayaan memberi peringatan telah dilecehkan dan dicemooh dituduh sebagai partisan," katanya. "Ini teramat membuat kami muak, namun perasaan muak itu saya harap tidak membuat kalangan aktivis dan mahasiswa putus asa. Sebab begitulah perjuangan dititik nadir itu harus diuji secara habis habisan," katanya.
Ketua PC PMII Kediri, Syaiful Amin menambahkan demokrasi di Indonesia hari ini dalam kondisi yang tidak baik dan penyebabnya adalah Presiden Jokowi. "Ini sebagaimana pandangan para pakar politik dan guru-guru besar berbagai universitas, bahwa Jokowi adalah penyebab krisis ini, dari serangkaian produk hukum yg tidak partisipatif, keputusan MK yang meloloskan anaknya, sampai inkonsistensi ucapan sang presiden mengenai keterlibatan aktifnya di dalam Pemilu 2024," tutupnya. (*)