KETIK, MALANG – Peribahasa 'akibat nila setitik, rusak susu sebelangga' perlu menjadi perlu menjadi perhatian baik dari Pemerintah Kota Malang maupun pengelola pariwisata Kayutangan Heritage.
Pasalnya Kayutangan Heritage baik dari sisi koridor maupun perkampungan harus memperhatikan hal-hal kecil agar tidak merusak citra yang selama ini telah susah payah dibangun.
Epik selaku Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) yang mengelola kawasan RW 10 di Kampung Kayutangan Heritage menjelaskan selalu memperhatikan kebersihan wilayahnya untuk menjaga kenyamanan pengunjung.
Kendati demikian ia mengaku sempat ditemukan bau tak sedap yang berada di area tersebut khususnya di sekitar Depot Es Talun. Ia menjelaskan bau tak sedap tersebut bukan berasal dari saluran air, melainkan bangkai tikus yang ditemukan terjepit di bangunan kosong dekat Depot Es Talun.
"Sempat ada bangkai tikus pada hari Minggu (3/3/2024) yang ada di rumah kosong, dia kejepit di situ. Tapi sudah langsung kami cari-cari sumbernya dan sudah ditangani sehingga Senin (4/5) siang sudah ketemu," ujarnya, kepada media nasional ketik.co.id, Selasa (5/3/2024).
Area Depot Es Talun yang sempat ditemukan bau tidak sedap. (Foto : dok ketik.co.id)
Untuk menjamin kebersihan lingkungan, setiap pengunjung yang masuk selalu ditarik uang kontribusi kebersihan sebesar Rp 5.000. Hasil penjualan tiket, setiap satu semester sekali akan dibagi ke setiap RW yang ada di Kawasan Kayutangan Heritage untuk mengelola wilayahnya masing-masing.
"Di sini tidak ada selokan terbuka dan selokan di sini hanya untuk pembuangan air hujan, bukan limbah rumah tangga. Apalagi pengunjung selalu diminta kontribusi lingkungan. Dari uang itu dibuat untuk memenuhi fasilitas seperti polisi tidur, lampu penerangan, dan juga kebersihan," jelasnya.
Perlu diketahui bahwa pengelolaan Kampung Kayutangan Heritage sepenuhnya menggunakan swadaya masyarakat sekaligus uang hasil penjualan tiket. Beberapa kampus maupun instansi juga ikut membantu melalui tanggung jawab sosial perusahaan atau Corporate Social Responsibility (CSR).
Salah satu bentuk CSR yang diterima Kampung Kayutangan Heritage ialah papan nama yang berada di gapura masuk. Sayangnya salah satu huruf yang ada di gapura tersebut telah hilang sehingga merusak nilai estetika dari Kampung Kayutangan Heritage.
"Gapura depan itu dari pendidikan, dari Universitas Negeri Malang (UM). Mereka memberikan sumbangsih ke kampung, istilahnya seperti memberikan pendampingan," jelasnya.
Akademisi Universitas Merdeka Malang, Dr. Fitria Earlike Anwar Sani, SST. Par., MM. menjelaskan dalam dunia pariwisata harus memperhatikan sapta pesona, salah satunya kebersihan.
Dalam kepariwisataan dikenal adanya word of mouth, dalam hal ini kesan seseorang ketika berwisata meskipun hanya sehari mampu menular kepada orang lain.
"Dengan mulut ini ketika kita bicara bahwa di situ bau dan memilih untuk putar balik maupun melanjutkan dengan menggerutu, dia bisa menyebarkan informasi itu. Dari satu orang bisa menyebar ke banyak orang sehingga mengubah citra menjadi jelek," ungkap Earlike.
Begitu pula dengan huruf-huruf yang hilang dalam papan nama sebuah tempat wisata. Meskipun terdengan remeh dan sederhana, kondisi tersebut dapat berakibat fatal bagi citra pariwisata di Kampung Kayutangan Heritage.
"Kembali lagi ke sapta pesona itu ada keindahan. Alangkah bainya pengelola tahu kalau ada yang kurang, huruf-hurufnya ada yang hilang maka harus segera diperbaiki. Karena ada beberapa tempat wisata yang ketika hurufnya hilang satu maka akan berbeda makna. Itu juga bisa merusak citra destinasi wisata," tutur Dosen yang bergerak di bidang Destinasi Wisata tersebut. (*)