KETIK, JAKARTA – Tidak lengkap rasanya jika belum mencicipi kuliner khas jika healing ke Kota Malang. Di Kota Pendidikan ini cukup banyak kuliner legendaris yang bisa dikunjungi. Mulai dari jajanan, cemilan, hingga makanan berat untuk diceritakan di media social.
Beberapa kuliner di Kota Malang ada yang masih mempertahankan cita rasa kendati sudah dijalankan generasi ketiga. Malahan ada yang sudah berusia 100 tahun dan masih bertahan hingga saat ini! Penasaran? Ini dia:
Sego Resek
Pelafalan “e’ pada kata resek sama penyebutannya dengan sesak. Resek dalam Bahasa Jawa adalah sampah. Sego resek bisa diartikan nasi sampah. Dulu di sekitar tempat berjualan terdapat tempat pembuangan sampah, di Jalan Brigjen Katamso.
Sebetulnya, sego resek ini adalah nasi goreng. Disebut resek atau sampah lantaran dicampur dengan berbagai macam bahan seperti tauge, sawi hijau, hingga mie kuning yang digoreng dengan porsi jumbo.
Tak jarang pembeli request aneka lauk digoreng menjadi satu. Di beberapa daerah lebih mirip dengan nasi goreng mawut.
Ciri khas dari nasi goreng resek ini dimasak menggunakan arang. Terdapat aneka lauk, seperti jerohan ayam, kepala dan sayap ayam, telur hingga aneka lauk lainnya. Warung ini sudah beroperasi sejak 1959, buka mulai pukul 18.00 hingga 22.00 WIB
Nasi Buk
Menurut lama resmi Kementerian Komunikasi dan Informasi, nasi buk atau nasi madura pertama kali beroperasi di Malang. Tepatnya di Jalan Laksamana Martadinata Gang Madiun.
Makanan ini diperkenalkan warga Desa Banjeman, Bangkalan saat hijrah ke Kota Malang. Ciri makanan ini berisi nasi yang dipadu gorengan jerohan sapi. Kemudian diberi sambal khas Madura, ditambah parutan kelapa yang digoreng.
Adapun sayurannya lodeh nangka muda, rebung dan bumbu bali telur maupun tahu. Diperkirakan Nasi Buk sudah buka sejak tahun 1960-an di Kota Malang. Nasi buk lebih menjamur di Kota Malang dan Surabaya dibanding daerah asalnya, Madura.
Puthu Lanang
Kudapan ini sudah berumur 88 tahun! Puthu lanang didirikan oleh Supiah warga yang tinggal di Celaket, Kecematan Klojen. Menurut laman Pemkot Malang, di awal berdirinya diberi nama puthu celaket.
Nama itu diubah menjadi puthu lanang pada tahun 2000-an lantaran Supiah belum dikarunia cucu laki-laki. Spontan ia menyebut puthu lanang untuk mendapat hak paten.
Puthu merupakan jajan pasar yang terbuat dari tepung beras, gula merah, dan parutan kelapa. Kini puthu lanang sudah dilengkapi dengan klepon, lupis, cenil, tiwul, gatot, dan bledus. Puthu lanang tidak membuka cabang dan hanya buka di Celaket, Kecamatan Klojen.
Soto Lombok
Disebut soto lombok lantaran awal berdirinya di Jalan Lombok. Kuliner ini didirikan Hj.Maimunah di Jalan Lombok tahun 1955, dan sudah memiliki beberapa cabang di Kota Malang hingga Kabupaten Pasuruan.
Dulu suami Hj.Mauimunah kerap memikul soto ayam saat berjualan di pasar malam. Pikulan yang kerap dibuat keliling dijadikan ciri khas soto lombok.
Ciri khas soto lombok adalah berbahan ayam kampung yang Sudah diolah, koyah berwarna coklat gelap, ditambah kerupuk ikan berukuran jumbo. Terdapat pula toples kerupuk ikan yang ukurannya bisa buat sembunyi saat makan.
Sate Gebug
Sate gebug merupakan salah satu yang tertua di Kota Malang. Sebab sate yang berlokasi di Jalan Basuki Rakhmad 113 A itu berdiri tahun 1920! Hingga kini sate gebug masih eksis dijalankan generasi ketiga.
Sate gebug menjadi kuliner tertua lantaran sudah berusia 100 tahun lebih dan masih eksis. (Foto: Pemkot Malang)
Sesuai namanya, sate gebug merupakan menu utama. Terdapat pula rawon, soto dan sop sebagai menu pendamping. Bahan utama sate gebug adalah daging lulur luar sapi yang dihaluskan. Kemudian dikepal dan ditusuk menggunakan tusuk sate.
Gebug dalam bahasa malangan berarti pukul. Kurang lebih sate gebug adalah daging sate yang dipukul atau dihaluskan. Ada pula yang menyebutnya sate komoh. Untuk satu porsi sate gebug Rp 25 ribu, sedangkan sate tanpa lemak Rp 30 ribu.(*)