Memasuki musim politik, selain membahas pentingnya membangun kesadaran dan pengetahuan bagi pemilih pemula, isu yang tak kalah penting lainnya adalah suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
SARA bisa dipahami sebagai isu yang berkaitan dengan tindakan pemahaman sentimen terhadap suatu identitas yang menyangkut keturunan, suku, agama, tradisi, dan lain sebagainya.
Sebenarnya, SARA bukanlah hal negatif karena menunjukkan keragaman dan kekayaan bangsa Indonesia. Namun isu ini bisa menjadi negatif bagi persatuan dan kesatuan bangsa apabila bisa memecah belah masyarakat, terlebih pada musim politik seperti saat ini.
Isu SARA yang berisi fitnah sangat berbahaya dan pastinya dapat merusak keharmonisan bangsa kita. Bukan hanya sebagian orang yang dirugikan, tetapi kita semua, sebagai bangsa, akan terluka akibat embusan isu dan fitnahan yang berbau SARA. Maka, mari kita bersikap
dewasa dalam menyikapi persoalan perpolitikan bangsa ini dan isu-isu SARA yang menganggu ketentraman masyarakat. Marilah kita menyikapi politik secara rasional dengan pemikiran yang jernih demi kebaikan bersama dan bangsa kita tercinta.
Betapa pentingnya dalam berpolitik kita menjaga dan menahan diri agar isu-isu berbau SARA dapat dihindari. Sebab mengunakan isu SARA demi kepentingan dan ego politik yang bersifat sementara, sama dengan melukai falsafah dan semboyan bangsa kita yaitu Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika.
Potensi kerusakan bangsa Indonesia begitu besar jika isu SARA terus dijadikan “komoditas” dalam kancah perpolitikan. Apakah kita tidak malu bangsa yang telah dibangun dengan susah payah oleh para pejuang kita malah dirusak oleh anak bangsa sendiri? Dan apakah kita tidak takut jika dari dalam telah rusak, tentunya Indonesia makin rentan mendapat ancaman dari luar.
Pada beberapa tahun terakhir sudah bukan menjadi tabu lagi bahwa SARA sering menjadi barang “dagangan” demi memuluskan misi politik individu maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab.
Demi kuasa dan jabatan, para politisi menjadikan identitas-identitas keragaman tersebut saling berbenturan hingga memanas dan menjadi sebuah konflik. Walaupun memang kita harus pahami juga bahwa tak semua politisi itu buruk.
Politik dapat diibaratkan dengan pisau bermata dua, yang artinya kegunaannya tergantung siapa yang menggunakan. Politik akan menjadi baik bahkan mulia jika diisi oleh orang-orang yang baik, dan politik akan menjadi buruk bahkan busuk jika diisi oleh orang-orang yang tak bertanggung jawab dan sekadar haus jabatan.
Menjelang tahun politik ini, memang kita rasakan bahwa masyarakat kita seolah terbelah dan saling mencemooh satu satu sama lain. Berbagai media pun dijadikan etalase untuk menjalankan misi-misi yang tidak baik dari mereka yang tidak bertanggung jawab.
Lingkungan keluarga amat penting dalam mensosialisasikan budaya rukun dan toleran, sebab dari sikap dan ajaran yang ditanamkan oleh orangtua mereka akan sangat berpengaruh bagi pertumbuhan kepribadian generasi muda tersebut.
Peran pemerintah juga amat penting dalam mensosialisasikan ide-ide kerukunan, toleransi, dan kemanusiaan. Sebab negara juga bertanggung jawab dalam mendidik dan membentuk karakter mental masyarakatnya, yaitu karakter yang sadar akan perbedaan, mampu menerimannya dan mampu mengelolanya.
Calon pemimpin harusnya memiliki rasa sikap kenegarawanan yang mendalam. Merasa khawatir jika tidak ada lagi rasa keadilan, maka mereka tidak menggunakan cara curang untuk memenangkan pemilu. Keadilan merupakan cerminan dari perasaan sentosa. Sebagai calon pemimpin bukan harta dan kekuasaan yang menjadi hal utama. Menciptakan keadilan untuk mewujudkan perasaan sentosa itulah yang utama.
Dengan sikap kenegarawanan, maka Pemilu yang dilakukan untuk pemilihan pemimpin bukan semata-mata untuk perebutan kedudukan, melainkan terwujudnya perasaan sentosa.
Seorang calon pemimpin harus takut jika pemilu menggunakan cara curang, karena dampaknya akan menimbulkan perpecahan, dan rasa ketidakpercayaan rakyat kepada parpol atau pemimpin. Seorang negarawan tidak akan melakukan politik uang, karena mencintai negaranya dan sadar akan pentingnya kepercayaan rakyat.
Calon pemimpin pada pemilu harus memiliki rasa cintakasih terhadap rakyatnya. Setiap hak rakyat haruslah dipenuhi. Calon pemimpin harus selalu membina diri untuk dapat berguna bagi rakyatnya. Karena pemimpinlah yang akan membuat rasa keadilan dan kesejahteraan, bukan memanfaatkan rakyat demi kepentingan pribadi.
Jika calon pemimpin semua memegang teguh cinta kasih, maka tidak akan ada kecurangan yang akan terjadi. Semua bertujuan untuk kemajuan negara Indonesia, bukan untuk kepentingan pribadi ataupun parpolnya.
Tidak akan ada lagi praktik politik uang, sebab sadar bahwa menjadi pemimpin itu bagian dari pengabdian kepada negara dan janji satya kepada Tuhan dengan cara melayani masyarakat. (*)
*) Naskah opini di atas merupakan kompilasi pemikiran dari pengamat politik dan mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad). Berikut nama-namanya:
1. Jari Sastra Prasetya
2. Dony Damara
3. Ibnu Hidayat
4. Jaka Iwan
5. Ibnu Malik
6. Dirga Prayogi
7. Echie Lidya
8. Nawra Indrita
9. M. Andra
10. Joel Pratama
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Karikatur by Rihad Humala/Ketik.co.id
****) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi