KETIK, SURABAYA – Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim kebut pemberkasan kasus korupsi penghilangan aset milik Pemerintah Kota Surabaya berupa waduk Wiyung.
Dalam kasus ini, Korps Adhyaksa menetapkan dua tersangka dugaan tindak pidana korupsi. Yakni Suismanto(50) dan Dul Ali (72).
Hal ini setelah Kejati Jatim menerima hasil audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait jumlah kerugian negara yang dialami. Yakni sebesar Rp 11 Miliar.
"Saat ini kami masih kebut untuk pemberkasan dan untuk bisa dilakukan tahap dua dengan menyerahkan tersangka dan barang bukti ke jaksa penuntut umum yang akan menyidangkan," ungkap Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Jatim Ardito Muwardi, Jumat (4/8/2023).
Ardito mengatakan kedua orang tersangka ini merupakan panitia yang bertugas untuk mengumpulkan data tanah milik warga.
"Sehingga aset milik pemkot Surabaya ini tercoret. Terhadap keduanya saat ini sudah dilakukan penahanan," ungkapnya.
Ardito mengatakan hilangnya aset milik Pemkot Surabaya itu ada peranan juga dari Lurah Babatan berinisial GT dan Sekertaris Kelurahan Babatan berinisial STN.
"Saat ini lurah dan sekertaris tersebut sudah meninggal yang menjadi peran adanya hilangnya aset milik Pemkot tersebut," ucapnya.
Waduk Wiyung sendiri memiliki luas 21.812 meter persegi dengan nilai kerugian negara ditaksir lebih dari Rp 11 miliar. GT, dan STN menjual secara lelang setengah waduk sisi barat dengan luas mencapai 11.000 meter persegi atau bagian dari Waduk di Jalan Raya Babatan-UNESA, yang merupakan aset Pemkot Surabaya dengan keseluruhan luas 20.200 m².
Lahan seluas 11.000 m² itu lantas dijual kepada seorang pengusaha properti berinisial AA. Belasan meter persegi tanah itu dihargai Rp 5,5 miliar. Penjualan aset tanah itu dilakukan SMT dengan menggandeng GT dan STN.
Salah satunya dengan membuat sejumlah surat keterangan tanah palsu, yakni mencatut nama orang yang sesungguhnya bukan pemilik atau yang berhak.
Dalam surat tersebut, dibuat seakan-akan sebagai pemilik atau yang berhak atas setengah waduk sebelah barat dengan luas 10.100 m² tersebut.
Surat keterangan tanah yang dipalsu itu lantas digunakan untuk membuat akta Perjanjian Ikatan Jual Beli dan Surat Kuasa di kantor Notaris-PPAT antara nama orang yang dicatut tersebut sebagai penjual dengan pembelinya. (*)