KETIK, SURABAYA – Masjid Muhammad Cheng Hoo adalah salah satu masjid ikonik yang beralamat di Jalan Gading Ketabang, Kecamatan Genteng Surabaya. Sesuai namanya, kekhasan dan keistimewaan masjid ini terletak pada gaya arsitekturnya yang bernuansa Tionghoa.
Sejarah Masjid Muhammad Cheng Hoo
Atas gagasan dari HMY. Bambang Sujanto dan teman-teman PITI, pembangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia dimulai dari tanggal 15 Oktober 2001.
Diawali dengan upacara peletakan batu pertama yang dihadiri oleh sejumlah tokoh Tionghoa Surabaya antara lain: Liem Ou Yen, Ketua Paguyuban Masyarakat Tionghoa Surabaya Bintoro Tanjung Presiden Komisaris PT Gudang Garam Tbk, Henry J. Gunawan Direktur PT Surya Inti Permata Tbk dan Bingky Irawan Ketua Makatin Jawa Timur, serta puluhan pengusaha dan tokoh-tokoh masyarakat Tionghoa.
Selain itu moment berharga ini juga disaksikan oleh semua anggota PITI Surabaya dan Jawa Timur serta tokoh-tokoh masyarakat di Surabaya.
Rancangan awal Masjid Mohammad Cheng Hoo Indonesia ini diilhami dari bentuk Masjid Niu Jie di Beijing yang dibangun pada tahun 996 Masehi.
Kemudian pengembangan didesain arsitekturnya dilakukan oleh Ir. Aziz Johan yang menjadi Anggota PITI dari Bojonegoro dan didukung oleh tim teknis: HS. Willy Pangestu, Donny Asalim, SH., Ir. Tony Bagyo serta Ir. Rachmat Kurnia dari jajaran pengurus PITI Jatim dan Yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo Indonesia.
Untuk pertama pembangunan ini, diperlukan dana sebesar Rp 500 juta yang diperoleh dari jerih payah teman-teman dengan menerbitkan buku Saudara Baru/Jus Amma dalam tiga bahasa.
Dan sisanya adalah gotong royong dari sumbangan-sumbangan masyarakat hingga terselesaikannya pembagunan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia.
Total keseluruhannya pembangunan ini menelan biaya Rp 3,3 miliar dengan luas tanah seluruhnya yaitu 3.070 m² dengan status kepemilikan tanah SHM No. 502 atas nama H.M. Trisnoadi Tantiono dan H.M.Y. Bambang Sujanto.
Keduanya telah menerbitkan surat pernyataan bahwa kepemilikan tanah tersebut adalah milik Yayasan Haji Mohammad Cheng Hoo.
Filosofi Bangunan Masjid Cheng Hoo
Secara keseluruhan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia berukuran 21 x 11 meter, dengan bangunan utama berukuran 11 x 9 meter.
Pada sisi kiri dan kanan bangunan
utama tersebut terdapat bangunan pendukung yang tempatnya lebih rendah dari bangunan utama.
Tampak samping Masjid Muhammad Cheng Hoo Surabaya. (Foto: Shinta Miranda/Ketik.co.id)
Setiap bagian bangunan Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia ini memiliki arti tersendiri, misalnya ukuran bangunan utama. Panjang 11 meter pada bangunan utama Masjid Muhammad Cheng Hoo Indonesia ini menandakan bahwa Ka'bah saat pertama kali dibangun oleh Nabi Ibrahim AS memiliki panjang dan lebar 11 meter, sedangkan lebar 9 meter.
Pada bangunan utama ini diambil dari keberadaan Wali Songo dalam melaksanakan syi'ar Islam di tanah Jawa.
Arsitekturnya yang menyerupai model kelenteng itu adalah gagasan untuk menunjukkan identitasnya sebagai muslim Tionghoa (Islam Tiongkok) di Indonesia dan untuk mengenang leluhur warga Tionghoa yang mayoritas beragama Budha.
Selain itu pada bagian atas bangunan utama yang berbentuk segi 8 (pat kwa), angka 8 dalam bahasa Tionghoa disebut Fat yang berarti jaya dan keberuntungan.
Dalam risalah, pada saat Rasulullah Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau dikejar-kejar oleh kaum kafir quraish dan bersembunyi di dalam gua Tsur.
Pada bagian depan bangunan utama terdapat ruangan yang dipergunakan oleh imam untuk memimpin salat dan khotbah yang sengaja dibentuk seperti pintu gereja, ini menunjukkan bahwa Islam mengakui dan menghormati keberadaan Nabi Isa AS sebagai utusan Allah yang menerima Kitab Injil bagi umat Nasrani.
Menunjukkan bahwa Islam mencintai hidup damai, saling menghormati dan tidak mencampuri kepercayaan orang lain.
Pada sisi kanan Masjid terdapat relief Muhammad Cheng Hoo bersama armada kapal yang digunakannya dalam mengarungi Samudera Hindia.
Relief ini memiliki pesan kepada muslim Tionghoa di Indonesia pada khususnya agar tidak risih dan sombong sebagai orang Islam.
Orang Tionghoa masuk Islam bukan merupakan hal yang luar biasa, tetapi merupakan hal yang biasa karena pada 600 tahun yang lalu, terdapat seorang Laksamana beragama Islam yang taat bernama Muhammad Cheng Hoo.
Beliau telah turut mensyi'arkam agama Islam di tanah Indonesia pada jaman itu. Beliau adalah utusan Raja Dinasti Ming yang menjalani kunjungan ke Asia sebagai Utusan/Duta Perdamaian.
Sebagai seorang bahariawan dan Laksamana, Muhammad Cheng Hoo berhasil mengelilingi dunia selama 7 kali berturut-turut, dan menjalin hubungan perdagangan dengan negara-negara yang dikunjunginya termasuk di antaranya adalah bersilaturahmi mengunjungi Kerajaan Majapahit untuk menjalin hubungan perdagangan. (*)