KETIK, PACITAN – Upacara adat Baritan menjadi tradisi turun temurun sejak ratusan tahun lalu. Masyarakat Dusun Wati, Desa Gawang, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur rutin melaksanakan kegiatan tersebut setiap memasuki Bulan Suro atau Muharram.
Bupati Pacitan Indrata Nur Bayuaji hadir bersama rombongan Minggu (30/7/2023) di ritual tersebut. Perhelatan dilaksanakan di Lapangan Dusun Wati, Desa Gawang.
"Dari tradisi seperti ini kita semua bisa mengekspresikan rasa syukur, juga menghibur masyarakat. Yang jualan juga lebih laris, yang punya sanggar seni pun punya panggung untuk menampilkan keseniannya, yang jelas kegiatan seperti ini sangat positif," kata Bupati Pacitan dalam sambutannya, (30/7/2023).
Dalam perkembangan zaman ini, masyarakat masih konsisten melaksanakan sedekah bumi yang diberi nama Baritan itu. Tradisi itu sebagai upaya mendekatkan diri, memohon perlindungan Allah SWT dan mengharapkan kebaikan menyertai kemajuan daerah. Kegiatan ini juga sebagai upaya untuk menjaga kebudayaan dan sejarah.
"Tahun ini banyak tampilan seni budaya mulai tari tarian, seni karawitan dan langen beksa atau tayub," tutur Kepala Desa Gawang Sogiyatno.
Sogiyatno mengharapkan, adanya kegiatan ini yang berlangsung selama dua hari mampu meningkatkan gairah laju ekonomi pada masyarakat. Terbukti melalui berjejerannya para masyarakat dalam menjual produk produk unggulannya dalam acara tersebut.
"Ya utamanya selain nguri-uri budaya, ini menjadi lantaran untuk masyarakat agar menambah perekonomian," ucapnya.
Sejarah Ritual Baritan Ratusan Tahun
Ritual Baritan konon bermula sejak abad ke 16 atau 1.600 Masehi, saat masyarakat Jawa Tengah dilanda penyakit (wabah/pageblug) yang tidak ditemukan obatnya pada masa itu. Diceritakan oleh Wijen (66), sosok juru kunci Baritan pada Minggu (30/7/2023) malam.
"Dulu itu pagebluk yang mengerikan, para masyarakat ketakutan, gejalanya pagi demam sorenya sudah mati," ungkap Mbah Wijen sapaan akrabnya.
Sempat kebingungan karena wabah, kata Mbah Wijen, para orang orang sakti seluruh daratan Jawa pada masa itu melakukan komunikasi (alam ghaib), upaya apa yang harus ditempuh guna menyembuhkan dan memberantas merebaknya wabah tersebut.
Wijen menambahkan, orang sakti pada masa itu merupakan zaman keturunan Ki Buwana keling yang ke delapan. Beberapa dari mereka sempat melarikan diri ke berbagai wilayah, salah satunya di Dusun Wati.
Tertulis di berita sebelumnya, secara umum disebabkan oleh pertarungan pasukan Islam dan Ki Buwana Keling yang menganut agama Hindu pada masa itu.
Usai dilakukannya komunikasi alam ghaib, keturunan buwana keling ke delapan, namanya Bayu Ratas dan Posong Singo Yudo, mendapatkan sebuah petunjuk untuk melakukan pertapaan selama 40 hari di Gunung Wati (Pongko Wati)."Sampai seperti itu, demi mencari obat dari pagebluk," ujarnya.
Prosesi penyembelihan wedus kendit di tengah lapangan Dusun Wati. (Foto: Al Ahmadi/Ketik.co.id)
Pertapaan Pongko Wati, jelas Mbah Mijen, merupakan tempat yang tidak bisa dijamah orang biasa, yakni, berada di tempat sunyi tengah-tengah gunung. Masuknya ke situ, lanjut Mbah Mijen, naik melalui aliran sungai Dong Manten (kolam pengantin) Desa Gawang.
"Mereka masuknya dari bebatuan sungai itu, dengan cara melompat jauh ke atas hingga ke pertapaan pongko wati, kalau dinalar memang tidak bisa," jelasnya.
Mbah Wijen menjelaskan, disana terdapat dua pertapaan, mereka (keturunan Buwana Keling) melakukan pertapaan secara terpisah di area tersebut.
"Posong Singo Yudho di sebelah sini (sembari menujuk arah gunung wati), Bayu Ratas ada di bagian sana," ungkapnya.
Mereka (saudara kandung itu), kata Mbah Mijan, merupakan seorang Resi (orang suci atau penyair yang mendapat wahyu dalam agama Hindu). Kemudian, pada saat memang satu-satunya harapan masyarakat sekitar, untuk mencarikan penawaran wabah yang membunuh ratusan umat itu.
Hingga, setelah dilakukannya pertapaan panjang, mereka akhirnya mendapatkan pituduh (wangsit/wahyu), berupa perhelatan ritual tolak bala, dengan syarat syarat yang harus dipenuhi.
"Nk arep ngilangi pagebluk (kalau menginginkan wabah ini selesai), siapkan ayam tolak dan wedus kendit (jenis kambing yang warna bulunya warna putih yang melingkar seperti sabuk), terus lakokno ruwatan nk bulan suro (terus buatkan ritual di bulan suro," ungkapnya.
Tak perlu pikir panjang, ungkap Mbah Mijen, mereka lalu memerintahkan masyarakat untuk melakukan persiapan sesuai petunjuk (alam ghaib) itu. Dikisahkan, perintah keturunan ki buwana keling tersebut yang kini diwujudkan dalam rangkaian upacara adat, yang disebutnya Baritan atau Barisan Wiritan.
Prosesi Ritual Baritan yang Kini Digelar Rutin
Sesuai dengan perintah anak turun Ki Buwana keling, menjelang hari perhelatan, masyarakat diminta untuk melakukan bebersih desa, dan memperindah lingkungan dengan pemasangan ornamen janur muda di sisi-sisi jalan dan gapuro.
Terpisah, masyarakat setempat juga bergotong royong untuk mempersiapkan perlengkapan (persyaratan wajib), seperti (kambing kendit, ayam tolak, mori dan berbagai hasil bumi). Hal tersebut diupayakan dari hasil pemberian dan keikhlasan masyarakat tanpa adanya paksaan (penggalangan).
Kemudian, hingga pada malam sebelum ritual digelar, masyarakat melakukan tirakat (wiridan dan sholawatan) semalaman, secara jamaah maupun sendiri.
"Malam sebelum ritual, ada acara melekan, tirakat dan berdoa, minta diberikan kelancaran," ungkapnya.
Saat pagi harinya, kata Wijen, saat matahari mulai naik, rangkaian acara dimulai, diawali dengan penabuhan kentongan/rontek oleh masyarakat secara serentak bersamaan. Pukulan yang pertama diartikan sebagai persiapan, kedua isyaratkan sebagai komando perjalanan menuju Makam Dusun Wati.
Lanjut, dalam perjalanan, masyarakat melakukan arak-arakan (barisan), dengan membawa berbagai persyaratan upacara (kambing, ayam dan hasil bumi) sambil melantunkan wirid.
"Wiridan bagi orang-orang jawa dahulu, maksudnya tetap sama dengan syariat islam saat ini, hanya saja yang dilisankan mungkin saja berbeda," ucapnya.
Pemberhentian pertama dilakukan, di depan gerbang makam, kata Wijen, beberapa tokoh akan naik ke makam untuk melakukan tabur bunga dan kirim doa. Hal itu guna mengingat kembali, orang-orang, leluhur yang meninggal tdahulu, akibat wabah maupun hal lainnya.
Usai itu, barisan lanjut perjalanan menuju Lapangan Dusun Wati sebagai titik utama (punjer), dan tempat perhelatan ritual akan dilakukan. Persyaratan yang telah disiapkan, berupa kambing kendit, ayam tolak dan beragam hasil bumi akan digelar di area itu.
Sesaat setelah sampai, seorang juru kunci bakal membawa cambuk untuk mencambuk seseorang yang telah disiapkan. Ibarat roh jahat yang berusaha diusir dari bumi Jawa. Biasanya, yang menjadi media pencambukan adalah tokoh silat pencak jowo yang siap dan telah dibekali ilmu kesaktian kebal oleh juru kunci."Ya ada dan telah dibekali, Insyallah tidak akan menimbulkan rasa sakit," katanya.
Usai itu, lanjut dilakukan penyembelihan ayam tolak dan kambing kendit. Terkhusus bagian kepala kambing yang telah terpotong akanu dikubur di tengah-tengah dilapangan dusun, kemudian kakinya, dipendam di empat lokasi yang merupakan titik gerbang masuk ke Dusun Wati seperti perbatasan, Dusun Salam Rejo Desa Kebonagung, Desa Gembuk, Desa Banjarjo dan Gawang Selatan.
Daging itu, kata Wijen, selanjutnya akan dimasak untuk jamuan di akhir upacara. Sembari menunggu, berbagai kesenian khas daerah di tampilkan di hadapan penonton, berupa drama, tarian hingga atraksi.
Seiring waktu berlalu, daging (ulam sari) dan nasi (sekul suci) yang telah matang, selanjutnya bakal dibagikan ke semua penonton dan peserta Baritan yang ada untuk sebagai penutup ritual Baritan tersebut, masyarakat menyebutnya kembul bujono atau makan bersama.
"Maksud di dalamnya itu sebenarnya adalah meminta pertolongan kepada Allah SWT, tolak bala atau mohon dijauhkan dari bencana alam maupun penyakit. Kalau adanya penambahan kesenian hingga lainnya, itu merupakan kembangan (tambahan) agar masyarakat juga seneng dengan kebudayaan jawa," jelasnya
Sejak abad ke 16 lalu, ungkap Wijen, sebetulnya tradisi atau ritual Baritan tersebut digelar hanya pada saat-saat tertentu, seperti datangnya pagebluk maupun bencana alam. Namun, lantaran kini menjadi tradisi dan budaya asli daerah tersebut, guna mempertahankan dan memperkenalkan ke anak keturunan, acara tersebut dilaksanakan rutin setiap tahun, di bulan suro atau Muharram.
"Agar anak keturunan kami juga tahu, sehingga menjaga kekayaan budaya yang telah ada sejak ratusan tahun lalu. Khususnya Pacitan sebagai kota wisata, jelas berbeda dibandingkan kota kota besar diluar sana yang telah dibangun pabrik dan gedung tinggi," pungkas Mbah Wijen juru kunci ritual Baritan Pacitan. (*)