KETIK, PACITAN – Ratusan hektar kebun kopi berjenis Liberika peninggalan Belanda ditemukan di Kecamatan Nawangan, Kabupaten Pacitan, Jawa Timur.
Peninggalan Belanda tersebut berada di Dusun Banaran, Lingkungan Gubukan, Desa Tokawi yang tersebar di sejumlah titik lokasi. Diperkirakan, berdiri pada tahun 1830 sampai 1865 di era tanam paksa.
Penemuan kebun kopi tersebut berawal dari penelusuran yang dilakukan oleh Wahyu Fitrianto (39), seorang penggiat kopi asal Nawangan, bersama adiknya, Dimas. Keduanya memulai penelusuran sejak 10 tahun lalu.
"Awalnya, saya dan adek menelusuri cerita-cerita yang beredar berkenaan dengan keberadaan perkebunan kopi Belanda," kata Wahyu Fitrianto (39), saat dikonfirmasi ketik.co.id, Sabtu, (11/11/2023).
Pada akhirnya, mereka bertemu dengan salah seorang warga bernama Mbah Katino, yang dulu pernah bekerja pada orang Belanda pemilik kebun kopi tersebut, Mr. Jansen.
Catatan orang Belanda yang menunjukkan bahwa Pacitan pernah menjadi produsen kopi di era penjajahan. (Foto: Wahyu for ketik.co.id)
Menurut cerita Mbah Katino, kata Wahyu, produksi kopi di daerah Gubukan pada masa itu sempat sangat populer. Bahkan, saking terkenalnya kopi asal daerah tersebut dikenal masyarakat dengan sebutan 'Kopi Londo Gubukan'.
Pangsa pasarnya tak main-main, kopi Liberika petikan daerah Gubukan penjualannya tembus ke berbagai daerah. Meskipun, kopi hanya dipanen dan diolah secara manual oleh pekerja pribumi waktu itu.
"Setelah semua siap untuk di packing. Pekerja menyetorkan dengan cara dipikul ke sebuah tempat di Desa Mbiting, Kecamatan Badegan, Kabupaten Ponorogo. Untuk di lorikan ke kota Surabaya dan Semarang," ungkapnya menirukan cerita Mbah Katino.
Tak sampai disitu saja, bukti keberadaan pabrikan itu, ditemukan pula beberapa bekas lokasi yang dulu di tengarai sebagai tempat tinggal dan gudang kopi. Disamping masih menyisakan pohon kopi Liberika yang diameter pohonnya cukup besar berusia ratusan tahun.
"Kata Mbah Katino, tempat itu merupakan gudang kopi yang dulu Mr Jansen tinggali, di area situ ada beberapa pohon kopi yang ditanam sekitar tahun 1800an," ungkapnya.
Meski diproduksi secara manual. Namun, peninggalan Belanda itu juga menyisakan beberapa alat yang lumayan modern. Yakni sistem irigasi yang digunakan pekerja pribumi untuk bertani.
"Kalau dulu, sebelum rusak karena umur, ada sumber air yang sudah di cor, dan pembangkit listrik mikrohidro (dinamo) di area kebun kopi itu juga," ungkapnya.
Namun, kebun kopi tersebut mengalami kehancuran pada masa pendudukan Jepang. Pihak mereka mengganti kebun kopi tersebut dengan tanaman jarak dan ketela untuk keperluan perang.
"Mr. Jansen pergi setelah kedatangan pasukan Jepang, akhirnya banyak kopi yang habis ditebangi digantikan tanaman lain," terangnya.
Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1970an lahan dan kebun tersebut menjadi tanah perdikan bagi petani. Mereka pun mendapat hak tanah masing-masing hingga saat ini.
"Jadi begitu, baru sejak waktu itu mulai hingga sekarang oleh masing-masing pemilik," jelasnya.
Pohon kopi berjenis Liberika bekas peninggalan Belanda, berumur ratusan tahun yang ditemukan Wahyu beserta tim. (Wahyu for Ketik.co.id)
Kondisi Petani dan Kebun Kopi Gubukan yang Terancam Punah
Masih ada beberapa warga Dusun Banaran, Lingkungan Gubukan, Desa Tokawi, Kecamatan Nawangan yang melanjutkan profesi sebagai petani kopi. Pasalnya, nilai jual kopi diatas Rp10 ribu dirasa masih cukup menggiurkan bagi mereka.
Namun, kebun kopi tersebut saat ini terancam punah. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti alih fungsi lahan dan kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang pengelolaan kebun kopi.
Alhasil, kini pohon-pohon kopi yang tersisa pun rawan ditebang oleh sebagian besar petani setempat, salah satunya untuk dijadikan arang.
"Itu dulunya ratusan hektar, sekarang hanya tinggal menyisakan satu lokasi yang dimiliki warga setempat," ucapnya dengan miris.
Pun begitu, petani setempat mengakui, hingga saat ini belum tersentuh adanya edukasi pengelolaan kebun kopi yang lebih modern. Sekarang ini, para petani masih menggunakan cara semampunya.
"Terkadang, mereka juga menjual kopi kepada tengkulak dengan sistem borongan, padahal itu kalau dihitung-hitung ketemu rugi," ujarnya.
Wahyu berharap agar kebun kopi tersebut dapat dilindungi dan dilestarikan. Ia juga berharap agar dapat diberikan edukasi kepada masyarakat untuk mengelola kebun kopi tersebut.
"Jadi, kami berharap kopi ini bisa mendapatkan perlindungan dari siapapun itu yang punya kepentingan. Terutama, dari Pemerintah atau semacamnya," jelasnya dengan mengharap.
Dengan adanya upaya-upaya tersebut, diharapkan kebun kopi peninggalan Belanda di Nawangan dapat dilestarikan dan menjadi salah satu produk unggulan di Pacitan dengan memiliki nilai sejarah.
"Kopi Liberika ini memiliki potensi yang besar. Namun, jika tidak dilestarikan, maka kopi ini akan punah," pinta pria yang juga sebagai produsen Kopi Dajoen Partowidjojo. (*)