KETIK, SIDOARJO – Tragedi itu terungkap pada akhir Januari 2024 lalu di Surabaya. Seorang gadis kecil yang tidak berdosa dicabuli ayah, kakak, dan paman kandungnya sendiri. Orang-orang terdekat yang seharusnya melindungi malah tega menodai bocah siswi SMP itu.
”Korban (B) sampai ketakutan dan trauma,” ungkap SN, bibi korban yang membongkar kejadian itu kepada Polresta Surabaya pada 23 Januari 2024.
Peristiwa pencabulan yang terjadi di Kecamatan Tegalsari, Kota Surabaya, itu mengundang miris karena melibatkan pelaku orang-orang terdekat. Ayah korban, PE, 43 tahun; kakak korban, MA, 17 tahun; dan JW, paman korban, 49 tahun. Polresta Surabaya telah menetapkan tiga lelaki bejat tersebut sebagai tersangka.
Kekerasan terhadap anak dan perempuan, termasuk kekerasan seksual atau pencabulan, masih mengundang keprihatinan. Pada Oktober 2023 lalu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3APPKB) Kota Surabaya Ida Widayati mencatat ada 173 kasus kekerasan di wilayahnya.
Dari seluruh kasus itu, kekerasan terhadap anak-anak mendominasi. Angkanya mencapai 122 kasus. Masing-masing kasus anak berhadapan hukum (ABH) 27 kasus, korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 26 kasus, dan non-KDRT 69 kasus.
”Semuanya sudah dilakukan pendampingan dan intervensi,” jelas Ida Widayati kepada media pada Senin (2/10/2023).
Di Kabupaten Sidoarjo, Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Sidoarjo mencatat, selama 2023, kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak mencapai angka 220 kejadian. Yang paling banyak adalah kekerasan terhadap anak mencapai 137 kasus. Sisanya, 83, kasus kekerasan menimpa perempuan.
Di Jawa Timur, Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Jatim Restu Novi Widiani pada Desember 2023 di Malang menyebutkan, di Jatim tercatat ada 1.955 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak. Kondisi ini patut menjadi perhatian bersama.
Tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak itu menjadi salah satu materi debat calon presiden Pemilihan Presiden 2024 lalu. Disebutkan bahwa selama 8 tahun terakhir, diperkirakan terjadi 3,2 juta kasus kekerasan terhadap perempuan.
Fenomena itu pun menjadi perhatian penting Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga. Saat berkunjung ke UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak di Sidoarjo pada Selasa (6/2/2024), Menteri Bintang Puspayoga menyatakan bahwa peristiwa kekerasan terhadap perempuan dan anak layaknya fenomena gunung es.
”Terutama dalam 1,5 tahun terakhir ini, jumlahnya terus meningkat,” katanya.
Menteri Bintang Puspayoga berpandangan, peningkatan jumlah kasus kekerasan yang terungkap ini sebenarnya merupakan hal yang baik. Sebab, sudah semakin banyak masyarakat yang berani melapor. Kalau tidak ada yang berani mengungkap, selamanya kasus kekerasan ini tidak terungkap. Dan, tentu saja, ada penyelesaian.
”Jika tidak ada yang melapor, para korban tidak memperoleh keadilan. Juga tidak ada efek jera terhadap para pelaku kekerasan terhadap perempuan,” ungkapnya.
Sepanjang pihak korban tidak berani melapor, kasus kekerasan bisa terus berulang. Untuk ini, dibutuhkan kolaborasi dari semua lapisan masyarakat. Kementerian PPPA sudah mengembangkan call center Sapa 129. Sistem aduan ini sudah terintegrasi ke seluruh Indonesia.
Menteri Bintang Puspayoga menegaskan, para korban tidak lagi menganggap kasus kekerasan, termasuk pelecehan seksual ini, sebagai aib keluarga. Mereka berani mengungkap. Speak up ke publik. Salah satunya, lewat media sosial.
Tidak hanya para korban yang harus berani speak up. Perhatian dan kepekaan keluarga serta lingkungan sangat dibutuhkan. Menteri Bintang Puspayoga mengajak, jika terlihat ada perubahan perilaku atau sifat pada anak, mereka harus segera didampingi. Baik oleh orang tuanya sendiri maupun oleh guru-guru di sekolahnya.
”Semua anak itu tidak hanya menjadi tanggung jawab orang tua. Semua anak adalah anak kita. Kita harus hadir melindungi mereka,” tandas Menteri Bintang Puspayoga. (*)