KETIK, SURABAYA – Direktur Rumah Pemotongan Hewan (RPH) Fajar Arifianto Isnugroho mengungkapkan jumlah pemotongan babi mencapai 200 ekor per hari. Jumlah ini, menurutnya, lebih bisa diandalkan karena harga satu kali potongnya Rp115 ribu per ekor.
Menanggapi hal itu, Ketua Sementara DPRD Surabaya Adi Sutarwijono menjelaskan dari segi ekonomi untuk Kota Pahlawan memberikan nilai positif.
Secara keseluruhan, penyembelihan dan penjualan daging babi menciptakan nilai ekonomi yang besar bagi peternak, pedagang, dan industri makanan di Indonesia, terutama di daerah-daerah yang konsumsinya tinggi.
"Kalau berarti itu pertumbuhan usaha-usaha RPH itu semakin baik karena misinya BUMD untuk melayani kebutuhan masyarakat," jelasnya pada Ketik.co.id pada Senin 23 September 2024.
Adi menjabarkan adanya pertumbuhan usaha dari BUMD seperti RPH mendapatkan keuntungan nantinya akan disetorkan dan meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kota Surabaya.
"Mendapatkan keuntungan yang nanti akan disetorkan RPH ke APBD Kota Surabaya," jelas Adi.
Mengenai misi dari RPH yang memenuhi kebutuhan daging babi di Surabaya, Adi menambahkan distribusinya juga untuk seluruh wilayah Kota Pahlawan.
Ketua Sementara DPRD Surabaya Adi Sutarwijono. (Foto: Shinta Miranda/Ketik.co.id)
"RPH ini untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Surabaya, kemudian terikat peredaran dan sebagainya," tutur Ketua DPC PDIP Surabaya ini.
"Dalam konteks pertumbuhan, itu berarti ya kinerja yang positif," imbuh Adi.
Ditambahkan Anggota DPRD Surabaya Zuhrotul Mar'ah mengenai jumlah babi yang disembelih mencapai 200 ekor per hari, mengenai segi pendapatan hal itu semakin banyak.
"Kalau dari segi pendapatan semakin banyak yang menyembelih, ya semakin baik kan itu jadi pendapatan Kota Surabaya meningkat," ucapnya.
Ia menambahkan dalam hal penyembelihan babi di Kota Surabaya sudah benar-benar terpisah dari daging sapi yaitu tepatnya di Jl Pergirian dan di Banjar Sugihan untuk penyembelihan babi, karena itu kualitas daging sangat terjamin.
"Tempatnya kan terpisah, jadi halal haramnya itu sudah jelas, dalam konsumsi untuk warga Surabaya sudah jelas makanan itu mengandung daging babi otomatis harus diinfokan," terang Mantan Anggota Komisi B DPRD Surabaya ini.
Namun, Zuhro mengingatkan untuk para pengusaha makanan non halal harus memberikan informasi mengenai produk yang dihasilkan mengandung daging babi.
"Bahwasanya makanan ini mengandung babi, sehingga warga muslim yang itu tidak boleh mengonsumsi makanan haram jadinya sudah tahu, mana yang bisa dimakan dan mana yang tidak," terang Politisi PAN ini.
Dengan banyaknya penyembelihan babi, Zuhro mengapresiasi dari segi ekonomi untuk pendapatan Kota Surabaya hal itu adalah capian yang baik.
"Dari sisi pendapatan its okay bagus untuk mendongkrak pendapatan asli daerah Kota Surabaya," ungkap Zuhro.
Zuhrotul Mar'ah anggota DPRD Surabaya. (Foto: Instagram @dr.zuhrotul)
Banyaknya jumlah ini, menurut Zuhro karena berkembangnya wisata di Kota Surabaya sehingga banyak pendatang dari luar kota menginginkan kuliner nonhalal di Kota Pahlawan.
"Sebagai daerah yang terbuka tidak masalah, asalkan jelas, jelas mana yang halal mana yang halal, mana yang haram sehingga tidak menganggu, tidak membuat khawatir yang tidak menginginkan makanan mengandung babi," pungkas Zuhro.
Mengenai proses penyembelihan yang sesuai standar ini dilakukan dengan sangat hati-hati untuk menghindari kontaminasi daging dan memastikan keamanan pangan.
Tingkat Konsumsi Babi di Surabaya
Tingkat konsumsi daging babi di Surabaya, bagian dari Jawa Timur, merupakan salah satu yang signifikan dalam konteks Indonesia.
Meskipun data spesifik untuk konsumsi per kapita di Surabaya tidak disebutkan, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur menunjukkan bahwa produksi daging babi di provinsi ini pada 2021 dan 2022 mencapai lebih dari 70.000 kg per tahun.
Mayoritas daging babi ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan restoran dan usaha kuliner yang populer di daerah perkotaan seperti Surabaya.
Secara umum, konsumsi daging babi di Indonesia lebih tinggi di wilayah yang memiliki populasi non-Muslim yang signifikan, seperti Bali, Sumatra Utara, dan Nusa Tenggara Timur.
Jawa Timur, termasuk Surabaya, juga menjadi daerah konsumsi besar karena adanya komunitas Tionghoa yang banyak mengonsumsi daging babi dalam menu tradisional mereka.