KETIK, JAKARTA – Peneliti senior dari Institute for Strategic and Development (ISDS), Aminudin menegaskan bahwa ada satu tokoh pembawa perubahan dalam memperbaiki perekonomian bangsa.
Ia layak menjadi pemimpin Indonesia 2024 mendatang jika rakyat menghendakinya menjadi presiden. Aminudin secara tegas menyebut tokoh tersebut adalah ekonom senior Dr Rizal Ramli.
“Yang bisa membawa perubahan lebih baik saat ini hanya Dr. Rizal Ramli. Rizal Ramli sudah teruji mampu mengatasi krisis ekonomi dan tata pemerintahan yang baik,” papar Aminudin, Kamis (6/4/2023).
Aminudin mengatakan, saat Rizal Ramli menjabat sebagai Menteri Perekonomian Kabinet Gus Dur, ia tercatat merupakan menteri tercepat dalam mengatasi angka kemiskinan hingga 4,29 persen setahun. Ia juga berhasil mengurangi kesenjangan ekonomi di Indonesia yang ditunjukkan oleh indikator rasio gini.
“Tercatat koefisien gini ratio Indonesia terendah sepanjang 50 tahun terakhir terjadi di akhir zaman Gus Dur, yaitu sebesar 0,31. Yang terdekat dengan capaian Gus Dur adalah era Suharto di tahun 1993, gini ratio sebesar 0,32,” jelasnya.
Selama era Gus Dur, lanjut Aminudin, tim sukses ekonomi mengurangi beban utang sebesar USD 4,15 miliar. Selain itu, yang juga secara mengagumkan, ternyata pertumbuhan yang terjadi di era Gus Dur lebih berkualitas dibandingkan era pemerintahan setelah hingga Jokowi sekarang ini.
“Karena kuncinya sukses menekan inflasi dan membangkitkan sektor riil terutama pertanian. Kualitas yang berbeda dari era pasca Gus Dur, yang pertumbuhan ekonominya mengikuti memburuknya distribusi pendapatan,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie mengatakan, Capres yang ada saat ini Prabowo, Ganjar dan Puan belum bisa menunjukkan visi membawa perubahan.
Jerry menilai, selain Rizal Ramli, tak ada visi perubahan untuk bangsa.
“Jadi, Capres yang saat ini selain Rizal Ramli, hanya adopsi grand design Jokowi. Jadi kalau bukan antitesa Jokowi maka akan sulit bagi calon manapun menang,” katanya.
Ganjar, sambung Jerry, saat ini posisinya sudah terganjal. Aalagi Ganjar telah menolak timnas Israel dalam Piala Dunia U-20.
Demikian pula dengan Prabowo. Ia juga akan melanjutkan program Jokowi salah satunya IKN di Kalimantan. Jerry mengatakan, saat ini Prabowo telah berubah total, ia tak segarang waktu lalu, ketika belum bergabung dengan Jokowi
“Contohnya banyak kebijakan Jokowi yang tak pro rakyat tak dihadangnya,” papar Jerry.
Menurutnya, Rizal Ramli adalah ekonom terbaik tanah air dan peduli rakyat kecil. Selain itu, Rizal Ramli juga mempunyai grand strategy ekonomi dan master plan yang kuat untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera ke depannya.
“Saya komplain narasi Yusril yang tak melihat Capres alternatif yang anti pencitraan bahkan anti oligarki. Kalau saya nilai apa yang disampaikan dia (Yusril) bukan tipe dia juga,” tandasnya.
Jerry mengemukakan, saat ini publik ingin pemimpin yang pintar, bukan pencitraan.
"Kalau krisis ekonomi maka Rizal Ramli jagoannya. Kalau public policy maka Anies jawaranya. Kedua tokoh ini masih di atas Prabowo, Airlangga, Ridwan Kamil sampai Ganjar,” tambah Jerry.
Kiat Sukses Rizal Ramli Bangkitkan Ekonomi
Dari berbagai pujian yang bergulir atas kehebatannya, Rizal Ramli menanggapi dengan positif.
Menurut Rizal, peluang Indonesia untuk bangkit kembali tetap masih ada. Asalkan, tim ekonomi harus memiliki terobosan secara nyata yang mampu menggairahkan kembali perekonomian rakyat.
"Semua masalah pasti selalu ada jalan keluarnya, selama kita memiliki terobosan. Bahkan, masalah itu bisa menjadi peluang," demikian ungkap Rizal Ramli.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, dan Industri (Menko Ekuin) itu mengisahkan kesuksesan tim ekonomi yang dipimpinnya pada era Presiden RI ke-4, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi dari pertumbuhan ekonomi negatif ke positif.
Rizal Ramli menjelaskan, salah satu strategi kebijakan yang dijalankan Tim Ekonomi Gus Dur sehingga sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari negatif 3 persen ke positif 4,9 persen adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta.
“Tim ekonomi pemerintahan Gus Dur sukses mempercepat pertumbuhan ekonomi dari minus 3 persen ke positif 4,9 persen. Seiring dengan itu, utang-pun berkurang, dan mencapai indeks Gini Ratio terendah (0,31) sepanjang sejarah Indonesia adalah melalui program restrukturisasi korporasi milik negara maupun unit usaha swasta,” katanya.
Mantan Anggota Tim Panel Ekonomi PBB itu menyebutkan, sejumlah contoh sukses restrukturisasi korporat, antara lain, restrukturisasi Bulog, PT Dirgantara Indonesia (PT DI), dan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kemudian juga pemisahan manajemen PT Telkom dan PT Indosat, serta penanganan Bank Internasional Indonesia (BII). Selain itu, kebijakan di sektor properti, Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Tani.
Restrukturisasi Bulog
Bulog semasa pemerintahan Suharto dikenal sebagai lembaga yang sangat korup. Kemudian, diubah oleh Tim Ekonomi Gus Dur menjadi lembaga yang transparan, profesional, dan akuntabel.
Langkah pertama Rizal adalah melakukan mutasi besar-besaran yang mencakup 5 pejabat eselon satu (Deputi) dan 54 pejabat eselon dua (Kepala Biro dan Kepala Dolog).
Dari 26 Kepala Dolog, 24 di antaranya dipensiunkan atau dimutasi. Total sekitar 80 karyawan di bawahnya dipensiunkan secara dini.
Langkah selanjutnya adalah memangkas rekening Bulog dari 117 rekening menjadi hanya 9 rekening. Sistem pembukuan di Bulog yang tidak jelas standarnya diubah menjadi General Accepted Accounting Principles, sehingga dapat diaudit dan dipertanggungjawabkan.
Ketika selesai dibenahi, Bulog surplus Rp5 triliun (yang akhirnya malah dibelikan pesawat Sukhoi pada era setelah Gus Dur).
Bulog di era pemerintahan Gus Dur, kata Rizal, juga meningkatkan pembelian gabah, bukan beras, dari para petani.
Tujuannnya adalah untuk memotong kecurangan para tengkulak yang sebelumnya selalu membeli gabah petani, mengoplosnya dengan beras impor, baru menjualnya ke Bulog.
Langkah ini efektif karena gabah lebih tahan lama disimpan di gudang-gudang Bulog ketimbang beras.
Cara seperti itu, menurut Rizal, sangat menguntungkan para petani, karena selama musim panen ketika harga gabah turun, Bulog terjun untuk menyerap dengan patokan harga dasar yang optimal.
Sedangkan ketika masa paceklik gabah stok Bulog dilepas dan digiling di desa-desa untuk mencegah kenaikan harga beras.
Pada periode itu, sambung Rizal, Bulog juga dilarang impor beras, hanya swasta yang boleh impor beras dengan dikenakan sedikit tarif (tanpa sistem kuota). Akibat dari kebijakan ini, selama masa pemerintahan Gus Dur harga beras menjadi sangat rendah dan stabil.
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN)
Tim ekonomi Gus Dur, imbuh Rizal, juga sukses menyelamatkan PLN dari kebangkrutan dengan cara renegosiasi harga beli listrik dari swasta yang ketinggian (akibat KKN peninggalan Suharto) dari USD cents 7-9/kWh ke harga normalnya sekitar USD cents 3,5/kWh.
Strategi tersebut membuat beban utang pemerintah dan PLN turun dari USD 80 miliar ke USD 35 miliar.
Selain itu, revaluasi aset sehingga aset PLN meningkat 4 kali lipat dari Rp 52 triliun ke Rp202 triliun dan modal PLN yang awalnya minus (-) Rp 9,1 triliun bertambah menjadi Rp119,4 triliun.
PT Dirgantara Indonesia (PT DI)
Sewaktu masih bernama Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN) di tahun 1998, perusahaan itu masih merugi Rp75 miliar dan hanya mencatatkan penjualan sebesar Rp508 miliar.
Setelah masuk era Gus Dur, IPTN diubah namanya menjadi PT Dirgantara Indonesia seiring juga diubahnya paradigma dari industri yang bersifat biaya tinggi menjadi industri penerbangan yang kompetitif.
PT DI tidak hanya memproduksi pesawat terbang atau helikopter, tetapi juga memproduksi suku cadang dan komponen untuk memasok kebutuhan industri pesawat terbang terkemuka di dunia. Seperti Boeing, Airbus, British Aerospace dan lain-lain.
Akibat dari kebijakan ini pada tahun 2001, PT DI berhasil mencatatkan penjualan sebesar Rp1,4 triliun atau nyaris 3 kali lipat dibandingkan dengan tahun 1998 dan keuntungan sebesar Rp11 miliar.
“Setelah era Gus Dur kondisi PT DI kembali memburuk karena kesalahan strategi pemerintahan setelah Gus Dur, sehingga dampaknya harus memecat 6.600 karyawannya,” kata Rizal.
Sektor Properti
Sektor properti adalah entitas bisnis yang terkait dengan lebih dari 100 jenis industri. Seperti semen, genteng, besi baja, keramik, furnitur, kayu, cat, alat kelistrikan, dan sebagainya serta mampu menyerap sangat banyak tenaga kerja.
Karena itu, demi kembali membangkitkan kembali sektor properti yang terpuruk pasca krisis, pada April 2001, Tim Ekonomi Gus Dur meluncurkan kebijakan restrukturisasi utang bagi para pengembang properti.
Kemudahan ini lebih diutamakan kepada para pengembang Rumah Sangat Sederhana (RSH). Akibat kebijakan ini nilai kapitalisasi bisnis sektor properti naik dari Rp9,88 triliun (2001) menjadi Rp12,99 triliun (2002) dan Rp26,95 triliun (2003).
Akhirnya, menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi di era pasca Gus Dur.
Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Usaha Tani
Pada era Gus Dur, jumlah UKM yang terbelit kredit macet di perbankan mencapai 14 ribu unit usaha. Tim ekonomi pada tahun 2000 meluncurkan kebijakan memotong utang pokok UKM dan bunganya sebesar 50% asalkan dibayar dengan tunai.
Menurutnya, kebijakan restrukturisasi utang UKM ini berkontribusi menambah keuntungan Bank Mandiri sebesar Rp1 triliun pada tahun 2001.
Restrukturisasi utang juga diperoleh pelaku usaha tani di era Gus Dur. Bila luas lahan yang dimiliki petani kurang dari 0,5 Ha, petani mendapatkan potongan utang pokok sebesar 50%. Bila luas lahan 0,5-1 Ha, potongan utang pokok sebesar 35%. Bila luasa lahan lebih besar dari 1Ha, potongan utang pokok sebesar 25%.
PT Telkom dan PT Indosat
Pada era Gus Dur terjadi pemisahan manajemen silang (cross management) dan kepemilikan silang (cross ownership) di tubuh PT Indosat dan PT Telkom.
Tim Ekonomi Gus Dur ingin agar antara kedua perusahaan ini berkompetisi secara fair, meninggalkan kerjasama terselubung yang selama ini dipraktekan keduanya. Kebijakan ini menyebabkan negara mendapatkan Rp5 triliun tanpa menjual selembar saham.
Bank Internasional Indonesia (BII)
Awal Juli 2001, terjadi rush di Bank Internasional Indonesia (BII) yang awalnya hanya puluhan miliar rupiah kemudian mencapai Rp500 miliar.
Kondisi ini membahayakan sistem perbankan nasional. Saat itu IMF mengusulkan dua opsi. Yaitu membail-out BII sebesar Rp4,2 triliun atau melikuidasi BII yang memakan biaya Rp5 triliun.
Tim Ekonomi Gus Dur tidak menuruti nasehat IMF. Karena menilai IMF memiliki rekam jejak menjerumuskan Indonesia pada krisis ekonomi yang parah tahun 1997.
"Kami memilih opsi sendiri," tegas Rizal yang akrab disapa RR tersebut.
Tim ekonomi segera menggelar konferensi pers mengumumkan bahwa pemerintah melalui Bank Mandiri “seolah-olah” mengakuisisi BII sebesar 80 persen.
Keesokan harinya pers release ditempel di seluruh cabang BII. Mengetahui bahwa pemerintah dan bank terbesar “berencana” mengakuisisi, para nasabah BII pun merasa aman dan mulai kembali menyimpan dananya. Kemudian tim ekonomi mengganti direksi BII dengan bankir-bankir didikan Bank Mandiri.
“Setelah itu kondisi BII pun kembali normal. Pertama kali dalam sejarah Indonesia, sebuah bank diselamatkan dari rush tanpa melakukan bail-out dan likuidasi,” pungkas Rizal Ramli.(*)