KETIK, JAKARTA – Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago mengungkapkan, penentuan calon wakil presiden (cawapres) menjadi variabel paling menentukan dalam Pilpres 2024 mendatang.
Penyebabnya adalah, karena dalam beberapa temuan survei hanya terdapat tiga nama calon presiden (capres) kuat dan kompetitif dengan selisih elektabilitas yang tipis. Ada Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto dan Anies Baswedan.
Elektabilitas ketiga tokoh ini bersaing ketat dan saling salip menyalip di berbagai lembaga survei, sehingga membuat posisi cawapres menjadi kunci pemenangan Pemilu mendatang.
"Tidak ada capres yang leading sendiri jauh di atas angka psikologis 30 persen, sebagai capres pemenang tanpa lawan tanding, masih relatifly dalam rentang range margin of error. Dengan demikian, maka cawapres lah menjadi kunci kemenangan," ungkap Pangi, Kamis (11/5/2023).
Ia menambahkan, dinamika elektoral tidak terlalu terpaut jauh. Bahkan pernah Prabowo menyalip Ganjar, Anies pernah menyalip Prabowo, dan Anies pernah menyalip Ganjar dan Prabowo demikian seterusnya.
Ia menyarankan para capres memastikan posisi cawapres agar mereka mampu mengenjot elektabilitas.
Dengan kata lain, cawapres berfungsi sebagai doping politik. Maka, jika salah mengandeng cawapres bisa menjadi blunder yang mematikan langkah politik capres.
"Tak heran, parpol koalisi sengaja menyimpan nama cawapres," ucapnya.
Pangi menambahkan, sejuh ini parpol koalisi tidak akan mau terburu-buru mengumumkan cawapresnya.
Caranya adalah dengan mengunci nama cawapres. Sebab, cawapres harus dipastikan kontributif terhadap capresnya, menjadi bagian dari desain adu strategi politik.
"Kenapa penting bagi parpol koalisi meracik cawapres ideal potensial pendamping capres? Sebab kalau salah maka bisa bunuh diri politik," ucapnya.
Sementara, kekeliruan dan kesalahan dalam mengandeng cawapres berpotensi mengerus elektabilitas capresnya.
Dalam situasi ini, jika capres memilih cawapres yang tidak tepat, bisa jadi perolehan suara tidak akan mengalami peningkatan yang signifikan.
Model Tren Elektoral
Pangi mengatakan, bisa saja tidak terjadi trend pertumbuhan elektoral secara signifikan. Dua model yakni cawapres yang berhasil mentracing capres sehingga mendapatkan tambahan yang kontributif mengenjot elektabilitas capresnya.
Kedua, atau justru dukungan modal elektoral yang sudah ada pada capres malah kian tergerus.
Pangi menyebut, setidaknya terdapat tiga kriteria penting dalam penentuan cawapres. Pertama, modal elektabilitas (racikan elektoral).
"Kedua adalah dukungan partai politik. Ketiga, berupa ketersedian isi tas alias odal logistik kampanye sebab biaya pilpres high cost," lanjutnya.
Cawapres Dapat Dukungan Parpol
Pada pemilihan presiden, partai politik memiliki peran penting dalam memperoleh suara dan mendapatkan dukungan dari anggota partai.
Oleh karena itu, ucap Pangi, memilih calon wakil presiden yang berasal dari partai politik yang memiliki basis dukungan kuat, dapat membantu pasangan calon presiden memperoleh suara dari basis partai tersebut.
Mengamankan Basis Dukungan
Calon wakil presiden yang memiliki pengaruh politik kuat dan berasal dari daerah berpotensi elektoral besar dapat memberikan keuntungan bagi pasangan calon presiden.
Hal ini karena, calon wakil presiden yang berasal dari daerah tersebut memiliki kecenderungan untuk mendapatkan dukungan dan memperluas dari basis pemilih di wilayah itu.
Calon wakil presiden yang memiliki basis elektoral yang kuat atau memiliki jaringan politik yang luas dapat membantu pasangan calon untuk memenangkan dukungan dari partai politik atau koalisi politik yang sebelumnya tidak mendukung.
"Pada akhirnya akan mempengaruhi format koalisi dan partai partai politik yang tergabung dalam koalisi untuk membentuk koalisi yang stabil dan solid," jelasnya.
Memilih calon wakil presiden yang dapat menjaga stabilitas politik dan meredam potensi konflik di dalam pemerintahan, lanjut Pangi, juga dapat memberikan keyakinan kepada pemilih bahwa pasangan tersebut mampu menghadapi tantangan dan dinamika politik dengan baik.
"Salah satu contoh, bagaimana JK (Jusuf Kalla, red) sebagai wapres waktu itu bisa menarik Golkar ke gerbong koalisi pemerintah, sehingga tercipta stabilitas politik dalam koalisi. Namun alasan capres digandeng ada kebutuhan lain, tergantung kebutuhan user capresnya," bebernya.
Seperti pertama, kata Pangi, representasi basis segmen pemilih yang tidak beririsan alias tidak sama dengan capresnya. Kedua, irisan representasi wilayah.
"Misalnya Jawa-Non Jawa," tandas Pangi.
Menjaga keseimbangan regional dalam konteks Indonesia yang memiliki keberagaman regional, memilih calon wakil presiden dari wilayah yang berbeda dengan calon presiden, disebut Pangi, juga dapat membantu menjaga keseimbangan dukungan dari berbagai daerah.
Ketiga, adalah kebutuhan cawapres dalam konteks blok ideologis. Cawapres digandeng ada kebutuhan lain karena mengentalnya blok ideologis polarisasi isu dan menguatkan politik identitas sehingga muncul capres cawapres representasi kombinasi nasionalis-religius dalam kasus Jokowi-Ma’ruf.
"Model cawapres kebutuhan lain misalnya sipil-militer, cawapres dari kluster kepala daerah, dari menteri dan dari ketum partai," ujarnya.
Keempat, cawapres merupakan representasi kebutuhan pemilih Gen Z dan Milenial, sebab bagaimana pun generasi milenial cukup besar dan potensial pemilihnya, bahkan mendekati angka 60 persen.
Pemilih ini masuk pada kategorisasi pemilih rational dan psikologis, memperhatikan rekam jejak kandidat, kompetensi, kapasitas, integritas dan jam terbang serta pengalaman dari capres-cawapresnya.
"Jadi harus hati-hati juga dengan perilaku memilih (voting behavior) kelompok cluster ini. Genz dan milienial termasuk pemilih yang kritis yang naik kelas menjadi pemilih rational dan psikologis, sehingga penting juga cawapres mempertimbangkan trace record," demikian saran dia.
Mempengaruhi persepsi publik juga harus menjadi perhatian. Karena dengan memilih wakil presiden yang memiliki citra politik yang baik dan bersih akan lebih mudah diterima oleh pemilih kritis Gen Z dan pemilih milenial dan dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap kemampuan pasangan calon presiden.
"Saya mencermati, nampaknya ada desain untuk membisikkan cawapres yang salah kepada capres. Skenario pembusukkan dari dalam, membisikkan cawapres yang salah kepada king maker atau veto players dalam hal konteks mengandeng cawapres, sehingga semakin menyulitkan kans kemenangan," ungkapnya.
Penentuan posisi cawapres ideal pun ia jelaskan tidak bisa reaksioner dan egois.
"Jika sekadar untuk mendaftar ke KPU, ambil saja ketum partai menjadi cawapres, namun harus berhati-hati betul menentukan cawapres yang tepat, perlu kalkulasi dan hitung-hitungan secara matang, dengan ukuran matematika politik yang terukur, jangan sampai salah menghitung," terangnya.
Selain memang tingkat akseptabilitas cawapres penting, ada faktor lain seperti penerimaan parpol koalisi, king maker, maupun penerimaan basis grasroot itu sendiri.
"Daya rekat koalisi capres-cawapres kita sangat transaksional pragmatis bukan ideologis," jelasnya.
Pangi justru khawatir, posisi penentuan cawapres di dalam koalisi dengan pendekatan politik lastminute atau injuretime juga punya resiko.
Antara lain dapat membuat guncangan koalisi, rawan, semen basis kaolisi berbasiskan siapa cawapres yang akan digandeng di internal koalisi, sehingga koalisi gampang mengalami patahan di tengah jalan atau bubar.
Oleh karena itu, capres-cawapres yang terpenting merupakan paket komplementer, saling melengkapi.
Karena, jelasnya, cawapres yang memiliki keahlian dan pengalaman yang komplementer dengan calon presiden dapat memberikan keuntungan tambahan dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan jika terpilih.
Namun demikian, harus dengan tetap mempertimbangkan variabel elektabilitas, wilayah, logistik, partai, kombinasi latar belakang, representasi figur dan lain lain.
Cawapres yang mampu menopang kemenangan (the winning coalition) adalah cawapres yang dapat membantu mendulang elektoral kemenangan dan termasuk kebutuhan untuk stabilitas koalisi itu sendiri.
Pangi mengatakan, Pilpres 2024 adalah gelanggang datar, tanpa incumbent. Maka, kunci kemenangan Pilpres bukan pada capres. Akan tetapi, sejauh mana capres piawai mengandeng cawapres yang mengantarkan kemenangan.
"Sekali lagi, kunci kemenangan adalah cawapresnya. Chemestry capres-cawapres juga penting menjadi perhatian, jangan sampai matahari kembar seperti SBY-JK tempo dulu. Apalagi, pada periode kedua ada potensi persaingan elektoral antara capres dengan cawapresnya untuk merebut RI-1 pada periode kedua masa jabatan," pungkasnya.(*)