KETIK, SURABAYA – Belakangan ini marak kasus pidana yang dilakukan oleh anak di bawah umur. Hal ini tentu memunculkan kekhawatiran banyak pihak.
Pakar hukum pidana anak Fakultas Hukum, Universitas Airlangga (Unair) Amira Paripurna menjelaskan bahwa negara telah mengatur sistem peradilan pada anak yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012.
“Pada prinsipnya, undang-undang sistem peradilan pidana anak mementingkan konsep proporsionalitas terhadap anak," jelas Amira, Jumat 13 September 2024.
"Proporsionalitas yakni efek jera dari sanksi pidana tetap penting, namun aspek hak asasi anak juga harus diperhatikan,” imbuhnya.
Bagi para pelaku dengan usia di bawah umur terdapat beberapa kategori sanksi yang diberikan, salah satunya pembinaan. Pembinaan dilakukan sesuai dengan kondisi anak tersebut.
Hakim akan melakukan koordinasi dengan lembaga pemasyarakan saat melakukan pembinaan. Dalam prosesnya pembinaan dilakukan untuk memberikan efek jera sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
"Pada kategori tertentu, ketika ancaman penjara dalam undang-undang mengatur lebih dari tujuh tahun, memungkinkan pelaku anak mendapatkan hukuman penjara," tambahnya.
Amira menuturkan, pelaku anak di bawah umur 12 tahun, dapat dilakukan upaya diversi. Diversi yaitu penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana. Proses ini tetap mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana yang dilakukan.
Dalam kasus kejahatan pada anak, pengaruh lingkungan memegang peranan penting. Mengingat anak di bawah umur masih dalam proses pengembangan sehingga mudah terpengaruh.
"Untuk memutus perkara tindak pidana anak, hakim juga mempertimbangkan aspek lingkungan dari pelaku anak,” paparnya.
"Oleh sebab itu perlu adanya peran seluruh aspek, untuk mencegah perilaku menyimpang yang dilakukan oleh anak,”pungkasnya.(*)