KETIK, JAKARTA – Banjir telah menyebabkan hampir seperempat juta orang meninggalkan rumah mereka setelah sungai Shabelle di Somalia tengah jebol dan menenggelamkan kota Beledweyne. Padahal negara ini sedang menghadapi kekeringan terparah dalam empat dekade.
Badan-badan bantuan dan ilmuwan telah memperingatkan bahwa perubahan iklim adalah salah satu faktor utama yang mempercepat keadaan darurat kemanusiaan, sementara mereka yang terkena dampaknya adalah yang paling tidak bertanggung jawab atas emisi CO2.
Menurut penduduk setempat, hujan musiman di Somalia dan hulu di dataran tinggi Ethiopia memicu banjir bandang yang menghanyutkan rumah, tanaman, dan ternak, serta menutup sementara sekolah dan rumah sakit di Beledweyne, ibu kota wilayah Hiraan.
"Seketika seluruh kota terendam air. Beledweyne menjadi seperti lautan," kata penjaga toko Ahmed Nur, yang bisnisnya hanyut kepada jurnalis Kamis (18/5/2023).
"Hanya atap rumah yang terlihat. Kami menggunakan perahu kecil dan traktor untuk menyelamatkan orang," ujarnya lagi.
Nur telah tinggal bersama kerabatnya di pinggir kota yang, beberapa minggu sebelumnya, merayakan berakhirnya musim kemarau yang melumpuhkan.
"Hujan datang, kami senang. Warga bercocok tanam," ujarnya.
Kekeringan, ditambah dengan kekerasan dan lonjakan harga pangan yang disebabkan oleh perang di Ukraina, menewaskan sebanyak 43 ribu orang tahun lalu, menurut data PBB.
Sejak pertengahan Maret banjir telah mempengaruhi lebih dari 460 ribu orang di seluruh negeri dan menewaskan 22 orang, menurut kantor kemanusiaan PBB (OCHA).
Badan Penanggulangan Bencana Somalia mengatakan banjir di Beledweyne telah menyebabkan lebih dari 245 ribu orang mengungsi. (*)