KETIK, SURABAYA – Asal usul nama suatu daerah biasanya dilatarbelakangi oleh cerita atau sejarah dari tempat tersebut. Seperti halnya dengan Kampung Ndresmo di Kota Surabaya.
Sidosermo yang awalnya dari kampung bernama Ndresmo dikenal dengan kampung pondok pesantren. Ndresmo berasal dari istilah yang dibuat oleh KH Mas Sayyid Ali Akbar yang kemudian diikuti masyarakat sekitar. Ndresmo adalah kependekan dari "sing nderes wong limo" (yang membaca Al-quran sebanyak lima orang santri). Dari kata itulah kemudian berubah menjadi Sidosermo.
Nderes, yang berarti membaca Alquran, memberi warna berjalannya kehidupan dan kegiatan pondok pesantren yang jumlahnya lumayan banyak. Kampung Sidosermo adalah satu satunya kampung yang memiliki banyak pondok pesantren di Surabaya. Tidak kurang dari 30 pondok pesantren ada di kampung pondok pesantren Sidosermo.
Ndresmo atau yang juga dikenal sebagai Kampung Santri meliputi kawasan Sidoresmo Dalem, Kelurahan Jagir di Kecamatan Wonokromo, dan Sidosermo di Kecamatan Wonocolo.
Memang, ada pelafalan beragam terkait dengan nama Nderesmo. Pada papan nama kampung tertera Sidosermo atau Sidoresmo. Konon, sebutan itu agak melenceng dari muasal nama kampung yang asli. Berdasarkan penuturan Mas Ismail (55) seorang ustad dan masih keturunan pendiri Nderesmo, nama sebenarnya adalah Nderesmo. Nama itu akronim dari bahasa Jawa, ‘nderese wong limo’, alias mengajinya orang lima, yang dianggap sebagai cikal-bakal atau toponim nama Nderesmo.
“Yang memberi nama adalah pendiri kampung ini Sayyid Ali Akbar,” ujar Mas Ismail.
Konon semua pimpinan pondok di Sidosermo ini terhitung bertalian keluarga, yang semuanya berasal dari Assayid Ali Akbar yang makamnya ada di pemakaman keluarga di Sidosermo Gang Kuburan.
Assayid Ali Akbar adalah Habaib, yang artinya adalah keturunan Nabi Muhammad SAW. Ia adalah keturunan ke 28. Pemerintah kota Surabaya memberi status Cagar Budaya pada komplek pemakaman Assayid Ali Akbar.
Salah satu keunikan di Kampung Ndresmo ialah panggilan “mas” untuk para keturunan Sayyid Ali Akbar. Sebutan itu tidak hanya dialamatkan kepada para laki-laki, tetapi juga kepada para perempuan.
Menurut K.H. Mas Ahmad Nasrohuddin, pimpinan Majelis Syabab An Nabawi, ketika Mbah Sulaiman masih nyantri di Ampel Denta dan pada suatu malam Sunan Ampel mendatangi dan mengecek para santrinya. Di tengah kegelapan malam, Sunan Ampel melihat di salah satu santrinya terdapat sinar yang seolah seperti benderang keemasan.
Salah satu sudut kampung pesantren Ndresmo.( Foto: Husni Habib/Ketik.co.id)
Karena tidak bisa mengenali siapa santrinya itu, maka sarungnya diikat sebagai identitas. Setelah salat subuh, Kanjeng Sunan Ampel bertanya kepada para santrinya. Siapakah dia yang sarungnya terdapat ikatan. Kemudian Sulaiman menjawab bahwa dirinyalah yang sarungnya terdapat ikatan.
Di hadapan para santrinya , Kanjeng Sunan Ampel mengatakan bahwa di depan nama Sulaiman pantas diberi kata sandang “Mas”, yang berarti “emas” karena sinar keemasan yang menyala tatkala Sulaiman tidur. Tidak hanya Sulaiman, semua anak turun Sulaiman berhak atas titel “Mas” di depan namanya seperti K.H. Mas Ahmad Nasrohuddin.
Kini Sidosermo, Ndresmo, tidak lagi kampung yang kecil, tapi sudah meluas dan bertumbuh menjadi perkampungan yang dihuni oleh banyak orang. Namun untuk mengidentifikasi kampung lamanya, di tengah-tengah perkampungan ini teridentifikasi dengan nama Sidosermo Dalam.
Di kawasan kampung Sidosermo Dalam inilah masih terdapat rumah-rumah kuno termasuk langgar hingga masjid.
Selain itu, Kampung Ndresmo ini juga memiliki adat kebudayaan khusus. Satu di antaranya yang masih eksis hingga kini ialah Manten Pegon, prosesi mengarak anak khitan dengan cara naik kuda keliling kampung.(*)