KETIK, SURABAYA – Untuk mewujudkan Surabaya sebagai kota layak anak dunia, beberapa sekolah swasta di Kota Surabaya menyelenggarakan kegiatan anti perundungan, kampanye sadar gender dan aman berinternet.
Sekolah-sekolah swasta di Surabaya melakukan kegiatan tersebut untuk mendukung Surabaya sebagai kota layak anak dunia di sela-sela penilaian akhir dan waktu kelulusan. Atas inisiatif itu UNICEF mengacungkan jempol.
Tubagus Arie Rukmantara Chief of Java Field Office UNICEF Indonesia yang merupakan kepala perwakilan UNICEF di Jawa dan Bali menjelaskan kegiatan seperti kompetisi olahraga, seni dan musik, class-meeting kampanye sadar gender, aman berinternet dan pelatihan anti-perudungan merupakan inisiatif tepat dalam mempersiapkan lulusan SD dan SMP di Surabaya untuk bersiap menempuh jenjang pendidikan selanjutnya.
"Selanjutnya lewat mengasah 21st century skills, keahlian Abad XXI yang sesuai dengan tuntutan zaman,” terang Tubagus Arie.
Pada tahun 2019, UNICEF bekerja sama dengan Oxford Policy Management melakukan survei tentang kecakapan abad XXI kepada anak-anak Indonesia. Hasil menunjukkan bahwa anak Indonesia merumuskan istilah 6C, yakni character (karakter), citizenship (kewarganegaraan), critical thinking (berpikir kritis), creativity (kreatif), collaboration (kolaborasi), dan communication (komunikasi) adalah keahlian yang mereka butuhkan untuk berhasil di masa depan.
Arie menambahkan, soft skills atau keahlian baru tersebut sesuai dengan visi Wali Kota Surabaya yang ditegaskan pada HUT ke-730 Kota Surabaya 31 Mei lalu. Eri Cahyadi dalam pidatonya saat itu menegaskan bahwa tujuan Surabaya adalah menjadi kota global, maju, humanis dan berkelanjutan.
Pemerintah Kota Surabaya pun menggandeng UNICEF untuk mendaftarkan Surabaya sebagai anggota Child-Friendly City Initiative atau CFCI atau Kota Layak Anak Dunia.
Arie mencontohkan sekolah seperti SMP Santa Maria Surabaya berinisiatif mengadakan pelatihan Online Child Sexual Exploitation and Abuse (OCSEA) atau kursus pencegahan kekerasan di ranah daring bagi anak untuk seluruh siswa-siswinya yang akan lulus. Harapannya mereka akan lebih mampu melindungi diri dalam berinteraksi di dunia maya dan bijak menggunakan media sosial.
Arie menerangkan inisiatif seperti ini penting karena faktanya, 95% anak usia 12-17 tahun di Indonesia mengakses internet minimal dua kali sehari. Namun, di sisi lain, jika tidak berhati-hati, internet juga menyimpan risiko untuk anak-anak dan remaja.
Itu karena data menunjukkan satu di antara lima anak menemukan konten dewasa secara tidak sengaja melalui iklan internet, media sosial atau mesin pencari. Sedangkan satu di antara tiga anak Indonesia pernah mengirimkan data pribadi mereka ke orang yang belum pernah mereka temui secara langsung.
"Apabila literasi digital dan kecakapan bermedia sosial tidak ditingkatkan, internet malah akan jadi ruang berbahaya bagi keamanan anak-anak Surabaya,” terang Arie.
Arie juga mengapresiasi video yang dibuat oleh siswa-siswa Santa Maria Surabaya yang mengirimkan pesan anti-perudungan sambil menegaskan bahwa bullying berdampak fatal bagi anak dan pelajar.
UNICEF memberikan sosialisasi mengenai upaya-upaya Kota Surabaya menjadi kota layak anak dunia. (Foto: dok.UNICEF)
Kemampuan anak-anak membuat konten positif akan membuat internet dan media sosial semakin positif. Tidak perlu menunggu dewasa dan berkuasa untuk mengubah dunia, mulai dari anak-anak Surabaya yang terus membuat konten positif, maka dunia maya akan lebih aman untuk anak.
Mitra Muda UNICEF, Cristina Setia Ningrum menambahkan perubahan untuk membawa internet positif memang harus dilakukan oleh kaum muda yang saat ini menjadi mendominasi dunia digital.
Anak muda sebagai digital native, mayoritas penduduk dunia maya, memiliki peran penting dalam aksi bersama dalam aksi pencegahan eksploitasi dan penyalahgunaan seksual anak di ranah daring dengan kreativitas dan energi yang dimiliki. Pasalnya, ada 100 juta anak muda Indonesia yang ada di ranah virtual.
"Saatnya mendominasi dengan konten dan nilai-nilai positif,” ujar lulusan Universitas Kristen Satya Wacana yang pernah melatih beberapa kelompok pemuda dan pelajar Surabaya termasuk siswa-siswi SMP Santa Maria Surabaya itu.
Christina menyebutkan kedudukan institusi pendidikan swasta sangat penting dan dijamin undang-undang dan hukum negara. Perbedaan yang dimiliki hanya pendirian dan pengelolaannya yang mandiri dan tidak ditangani pemerintah.
Menurut Christina kelebihan yang dimiliki sekolah swasta ialah kemerdekaan berpikir, tidak harus terpaku pada kurikulum. Maka pada era Merdeka Belajar saat ini, sekolah swasta juga wajib menunjukkan kemerdekaan menunjukkan nilai kebaikan, nilai humanis, nilai global.
"Untuk mewujudkan Kota Surabaya sebagai kota dunia yang benar-benar layak untuk semua anak,” harap Christina. (*)