KETIK, PACITAN – Tak setenar pendakwah kondang di internet. Namun, di tanah kelahirannya, Pacitan, Jawa Timur, ia dikenal sebagai sosok gigih yang mendedikasikan hidup untuk berdakwah menyebarkan agama Islam.
KH Masduki Ja'far, begitulah namanya. Kini menjadi panutan, dan teladan bagi para santri dan masyarakat setempat.
Masduki lahir tahun 1918 di Dusun Nglaos, Desa Banjarjo, Kecamatan Kebonagung, adalah putra pertama dari lima bersaudara. Ayahnya bernama KH Mohammad Ja’far.
Ia mengenyam pindidikan di Lingkungan Bleber, Kelurahan Sidoarjo yang sekarang menjadi Sekolah Dasar Islam Insan Cendekia (SD IIC).
Setelah selesai, ia lanjut mencari ilmu dengan berkelana ke daerah yang dulu disebut Surakarta Hadiningrat atau sekarang bernama Solo. Dirinya, mengenyam pendidikan atau nyantri di Madrasah Mambaul Ulum.
Saat duduk di bangku madrasah bernuansa pesantren tersebut, ia dikenal gemar membuat karangan. Bahkan karya tulisnya dipelajari hingga luar negeri dan masih ada hingga sekarang.
Diantaranya adalah syair dalam bentuk pegon (bahasa jawa ditulis dengan ejaan arab). Dalam karangan tersebut menerangkan tentang hukum syariat agama Islam dan sejarah Nabi Muhammad SAW.
Usai menunaikan pendidikan di Surakarta, ia kembali kekampung halaman yang berada di Dusun Nglaos, Desa Banjarjo, Kecamatan Kebonagung, Kabupaten Pacitan. Disitulah tempatnya mulai berdakwah.
Seiring gayung bersambut ia pun mulai ternama di di daerah tersebut. Hingga, dia berhasil mendirikan sebuah Masjid pertama kalinya. Berlokasi tidak jauh dari sungai perbatasan kampung.
"Tidak jauh dari kediamannya ada sebuah lahan yang akhirnya dijadikannya tempat peribadatan, Masjid Darunnajah," terang Pengurus Pondok Pesantren Nahdlatussuban, Aris Hidayat (25) mengacu cerita dan catatan dari alumni sepuh dan keluarga.
Lantaran dekat dengan sungai. Sewaktu hujan deras menerjang desa, maka tidak lama kemudian air-air sungai meluap membanjiri dusun. Termasuk Masjid yang didirikannya perdana tersebut.
Bersama dengan masyarakat sekitar, pun ia memutuskan untuk membangun masjid kembali dengan jarak lebih ideal ketimbang sebelumnya. Tak rawan terdampak bencana banjir.
"Untuk kedua kalinya KH Masduki turut andil saat membangun Masjid yang sekarang bernama Masjid Jami' Abu Bakar," sambungnya kepada ketik.co.id.
Memasuki masa dewasa, ia akhirnya menikahi putri asal Lingkungan Kauman, Kelurahan Pacitan, yakni bernama Lilik Mahmudah atau disapa akrab ibu HJ. Lilik. Semenjak itulah dia menetap di wilayah kota.
Tak berhenti disitu, usai berpindah tempat, estafet perjuangannya tetap dilanjutkan dengan merawat masjid yang menjadi Masjid Agung Pertama Kabupaten Pacitan di Desa Arjowinangun
Dalam hal itu, ia meneruskan peran dari KH Imam Besari, KH Imam Bagawi, KH Sholih, KH Abdurrozak, KH Imam Nawawi dan KH Mohammad Ja’far.
Sembari merawat masjid tua peninggalan Bupati Jogo Kariyo atau Kanjeng Jimat itu. Ia juga Istiqomah menyebarkan ajaran Islam kepada warga sekitar.
Tantangan saat Berdakwah di Wilayah Kota
Berawal dari semangat dan keuletan KH Masduki Ja'far, sebuah pesantren diberi nama Nahdlatussuban (Kebangkitan Pemuda), berdiri kokoh di Dusun Kauman, Desa Arjowinangun, Pacitan.
Didirikan pada 9 Juli 1964, pesantren ini menjadi saksi bisu dedikasi KH Masduki dalam menyebarkan ilmu agama dan membimbing generasi muda.
Sebelum berdirinya Ponpes Nahdlatussuban, sebuah lembaga pendidikan agama pernah hadir di Desa Arjowinangun pada tahun 1960 di bawah kepemimpinan KH Imam Nawani. Namun, setelah wafatnya KH Nawani dan peristiwa G30SPKI, pesantren tersebut vakum.
Pada tahun 1964, KH Masduki Ja'far tergerak untuk menghidupkan kembali semangat pendidikan agama di desa tersebut. Beliau mendirikan Ponpes Nahdlatussuban dengan bangunan semi permanen dan berhasil menarik banyak murid.
Berbeda dengan di desa, perjalanan syiar di pusat hiruk-pikuk daerah memang sukar untuk selalu mulus. Berada di tengah-tengah pusat kota, pesantrennya dihadapkan dengan berbagai tantangan, baik para pengajar maupun murid-muridnya.
Pada waktu itu, tantangannya adalah masyarakat yang majemuk, dengan latar belakang berbeda-beda. Mayoritas awam dari ilmu agama. Bahkan disinyalir dekat dengan tempat-tempat pelaku maksiat juga menjadi tantangan.
Disusul, saat berbenturan dengan PKI, dimana banyak ulama dan kiai menjadi korban kekerasan dan pembantaian.
"Selain tantangan masyarakat awam. PKI waktu itu juga sempat melakukan intimidasi dan tekanan terhadap ulama dan pesantren. Bahkan, ulama dipaksa untuk tunduk pada ideologi komunis dan meninggalkan ajaran agama Islam," ungkapnya.
Meskipun dilanda berbagai rintangan, semangat KH Masduki dan para pengasuh lainnya tidak pernah surut. Pun dengan berbagai cara, pihaknya malah sukses mendidik generasi muda saat itu.
Seiring berjalannya waktu, pesantren ini terus berkembang hingga saat ini dengan jumlah santri mencapai ratusan. Berbagai fasilitas, seperti, Asrama putra dan putri, Madrasah, Masjid, Kantor guru, Dapur, Kamar mandi, WC dan Sumur satu persatu mulai tersedia.
KH Masduki Ja'far merupakan sosok yang mendedikasikan hidupnya untuk pendidikan agama. Kegigihan dan keuletannya dalam kebaikan patut di contoh oleh generasi saat ini.
Dirinya menjadi pengingat bahwa pemuda harus bangkit memiliki tekad dan semangat yang kuat dalam menggapai cita-cita. Guna memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Diketahui, ulama Pacitan itu wafat di umur yang ke 83 tahun, tepatnya pada Selasa, 12 Juni 2001. Ia dimakamkan di pemakaman Dong Gede, Dusun Nglaos, Desa Banjarjo, dikampung halaman tempat dirinya dilahirkan. (*)