KETIK, SURABAYA – Pakar komunikasi politik dari Universitas Airlangga (Unair) Dr. Suko Widodo, Drs, M.Si. membedah ancaman kabar bohong jelang pemanasan mesin menuju tahun politik.
Karena celakanya, pengguna media sosial menjadi sasaran empuk para tim sukses (Timses) partai politik (parpol) dalam menggiring opini publik, menciptakan persepsi maupun agenda-agenda black campaign di tengah minimnya pengetahuan bermedsos masyarakat.
"Pengetahuan etika komunikasi medsos kita masih rendah. Sehingga kadang tidak selektif dalam menerima informasi. Ini beresiko besar saat jelang Pemilu," ungkap Suko saat menjadi pembicara dalam acara diskusi daring Forum Denpasar 12, Rabu (24/5/2023) malam.
Ia menyebut, Timses parpol justru acap kali memproduksi pesan manipulatif yang membuat emosi masyarakat mudah tersulut.
Kampanye politik tersebut dibangun dengan
strategi membangkitkan rasa emosi. Pesannya menarik, dan membuat penerima larut dalam perasaan.
"Nah, ini memerlukan kecerdasan bagi
yang diterpa pesan tersebut," ucapnya.
Maka dari itu, ia menyarankan pemerintah melakukan sosialisasi secara masif kepada masyarakat untuk mengantisipasi melubernya informasi hoaks.
"Pemda harus melindungi warga masyarakatnya. Jangan sampai warga terbelah akibat perang hoaks politik," sambungnya.
Suko juga menjelaskan, ada beberapa cara dalam menghadapi hoaks. Antara lain verifikasi sumber informasi. Pastikan informasi berasal dari sumber yang terpercaya.
Langkah berikutnya adalah memeriksa
fakta. Apabila ragu tentang kebenaran suatu informasi, lakukan penelusuran lebih lanjut.
Gunakan mesin pencari untuk mencari berita terkait dari sumber-sumber terpercaya. Ada juga situs web dan organisasi yang khusus menyediakan fakta dan memeriksa kebenaran informasi seperti Snopes atau FactCheck.org.
Ia mengimbau pengguna medsos menggunakan fakta dan logika agar tidak langsung menyebarkan berita yang mereka temui dan tak jelas sumbernya. Publik bisa juga bisa melaporkan hoaks sebagai bentuk partisipasi dalam upaya pencegahan hoaks tersebut.
Adapun pencegahan hoaks menjelang Pemilu 2024 menjadi penting, karena menurut beberapa laporan ilmiah ditemukan fakta bahwa hoaks isu politik berbahaya bagi ketahanan nasional serta dapat membuat demokrasi menjadi stagnan bahkan mengalami regresi.
Salah satunya seperti laporan dari Jurnal Kajian Lemhanas RI edisi 39 yang dirilis pada 2019 berjudul "Pengaruh Hoaks Politik dalam Era Post-Truth terhadap Ketahanan Nasional dan Dampaknya pada Kelangsungan Pembangunan Nasional" mengungkapkan bahwa hoaks politik terbukti meningkatkan kebencian antar masyarakat dengan isu sensitif seperti suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Lalu berdasarkan data yang dihimpun Kemenkominfo, jumlah hoaks isu politik menjelang pemilu memang kerap meningkat di tengah masyarakat dan berpotensi menimbulkan perpecahan di masyarakat.
Pada periode Pemilu 2019 saja, Kemenkominfo mencatat peningkatan hoaks isu politik mulai terjadi setahun sebelum Pemilu berlangsung.
Pada 2018, dari Agustus jumlah temuan hoaks politik yang tadinya berjumlah 14, perlahan meningkat menjadi 18 pada September, 41 temuan pada Oktober, 59 temuan pada November, dan 59 temuan pada Desember. Pada 2019, terdapat 94 temuan pada Januari, dan mulai memasuki peningkatan signifikan pada Februari 2019 dengan 213 temuan.
Puncaknya terjadi sebulan sebelum Pemilu berlangsung yaitu Maret 2019 mencapai 323 temuan hoaks bertemakan isu politik.
Agar hal serupa tidak kembali terulang pada periode Pemilu 2024, maka pencegahan hingga penanganan hoaks yang tepat perlu dilakukan.
"Ini (hoaks) itu seperti perang saudara, makanya saya mendorong penanganan-nya pun lebih dilakukan dengan cara yang lokal," ujar Suko.(*)