KETIK, PALEMBANG – Ekosistem lahan gambut di Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) kini hanya tersisa sekitar 1,2 juta sampai 1,4 juta hektare.
Jumlah tersebut menurun drastis dibandingkan pada tahun 2017. Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor 130/2017, luas lahan gambut di Sumsel sebesar 2,09 juta hektare.
Artinya, dalam 7 tahun terakhir, sekitar 700 ribu sampai 900 ribu hektare lahan gambut di Sumsel lenyap. Sekretaris Daerah Sumsel, Edward Candra menyebut, perlindungan ekosistem gambut harus segera dilakukan.
"Sumsel merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut terluas di Indonesia. Sebelumnya ada 2,1 juta hektare, kini tinggal 1,2 juta-1,4 juta hektare," ujar Sekretaris Daerah Sumsel, Edward Candra, Rabu 16 Oktober 2024.
Menurut Edward, lahan gambut memiliki peranan sangat penting bagi lingkungan dalam menjaga perubahan iklim. Sehingga, pemerintah menerbitkan dokumen rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPPEG) 2024-2053 untuk menata perlindungan lahan gambut.
"Penyusunan dokumen RPPEG 2024-2053 telah selesai dilakukan. Dokumen ini jadi acuan dalam pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan gambut di Sumsel," ungkapnya.
Dari data RPPEG, sepanjang tahun 2022, kerusakan ekosistem gambut di Sumsel mencapai 390.247 hektare dengan rincian rusak sangat berat seluas 46.381 hektare (2,2%) dan rusak berat 343.866 hektare (16,43 persen).
Sementara itu, berdasarkan peta kerusakan ekosistem gambut skala 1:250.000, sebanyak 58,7 persen lahan gambut mengalami rusak ringan, dan 35,9 persen rusak sedang.
Kemudian, sekitar 46.381,5 hektare (2,6 perden) mengalami rusak sangat berat dan 34.386,5 hektare (1,9 persen) mengalami rusak berat.
Lahan gambut yang mengalami rusak sangat berat terjadi di daerah lahan terbuka bekas terbakar dan memiliki kanal. Kebanyakan lahan gambut rusak akibat kebakaran yang terjadi pada 2015 dan 2019 lalu di wilayah Banyuasin dan Ogan Komering Ilir (OKI).
Faktor penyebab lainnya adalah adanya aktivitas manusia seperti pembukaan lahan untuk pertanian, peternakan, dan lainnya yang menyebabkan ekosistem gambut menjadi rusak.
"RPPEG Sumsel berfokus untuk menangani 5 isu strategis utama, yaitu kebakaran hutan dan lahan, perubahan penggunaan lahan, kelestarian keanekaragaman hayati, kemiskinan di desa gambut, serta infrastruktur dan konektivitas," jelas Edward.
Sementara itu, Koordinator ICRAF Sumsel, David Susanto mengatakan bahwa pihaknya telah melakukan riset dan aksi Peat-Impacts-Land4Lives untuk mendukung penyusunan RPPEG di Sumsel.
Peat-Impacts merupakan gerakan yang didukung The German Federal Environment Ministry-The International Climate Initiative (IBMU-IKI) yang berlokasi di Sumsel dan Kalbar. Sedangkan Land4Lives didukung pemerintah Kanada yang dilaksanakan ICRAF Indonesia di Sumsel, Sulsel dan NTT.
"Komitmen ini perlu ditindaklanjuti dengan kolaborasi multipihak dan multilevel untuk memastikan pelaksanaan yang efektif untuk mencapai tujuan perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut," kata David.
Ekosistem gambut bisa menyimpan kadar air hingga 9-11 kali dari bobotnya dan menampung karbon dalam jumlah besar. Apabila gambut terbakar, maka emisi karbon akan meningkat dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, David menegaskan, perlindungan lahan gambut harus digaungkan dan dilakukan untuk memperlambat pemanasan global.(*)