KETIK, PACITAN – Kejaksaan Negeri (Kejari) Pacitan melalui program "Ngojek" (Ngobrol Bareng Jekso) yang diprakarsai oleh Kasi Intelejin Kejari Pacitan, Yusaq Djunarto, kembali digelar, hari ini, Selasa (20/2024).
Kali ini, diskusi dilakukan bersama para Camat dan Kepala Desa se-Kecamatan Punung.
Berlangsung di Halaman Belakang, Jamur Kejari Pacitan, dalam diskusi tersebut, pertanyaan diajukan soal kasus penarikan paksa motor kredit oleh pihak pemberi pembiayaan (finance).
Menanggapi itu, lebih dulu Kasi Intelejin Kejari Pacitan, Yusaq Djunarto menjelaskan proses perjanjian kredit motor, termasuk peran penjual, perusahaan penjamin, dan pembeli.
Ia juga menguraikan konsep fidusia, di mana hak kepemilikan benda dialihkan sementara kepada penjamin sebagai jaminan kredit.
"Perlu diketahui dalam perjanjian kredit kendaraan bermotor, sebelum dilakukan akad kredit, pihak calon pembeli memilih kendaraan katakanlah di sebuah showroom atau dealer kendaraan, baik second/baru, terjadilah tawar-menawar harga," terangnya.
Setelah disepakati harga barang, lanjutnya, apabila calon pembeli melakukan pembelian secara kredit pihak penjual showroom atau dealer akan menawarkan perusahaan penjamin kredit.
"Biasanya masing-masing perusahaan penjamin terdapat plus atau minusnya baik bunga maupun fasilitas lainnya yang ditawarkan," sambungnya.
Dalam hal itu, nantinya debitur akan dilakukan pendataan, seperti survei tempat, penghasilan dan lainnya, sampai dinyatakan memenuhi syarat. Termasuk dilakukan kesepakatan.
"Sesuai kesepakatan pada hari dan tanggal yang telah ditentukan pihak penjual menyerahkan kendaraan yang dibeli, itu biasanya STNKB belum diserahkan karena masih dalam pengurusan. Pada hari dan tanggal yang telah disepakati penjual (dealer) menyerahkan STNKB kepada pembeli sedangkan BPKB dibawa oleh penjamin sebagai jaminan kredit," sambungnya.
Bagaimana Jika Debitur Tidak Bayar Angsuran, Apakah Bisa Ditarik Paksa?
"Persoalan muncul apabila debitur tidak membayar angsuran kredit, ini bukan hal baru seringkali terjadi dan bahkan barang diambil secara paksa oleh orang-orang atas perintah dari pihak finance untuk menarik barang karena nunggak angsuran," ungkapnya.
Pun menurut Yusaq, bagi debitur yang tidak membayar angsuran finance. Itu kreditur memiliki hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan.
Namun demikian, waktunya belum ada kepastian.
"Tidak ada penjelasan tentang kapan debitur cidera janji kapan penerima Fiducia dapat menguasai obyek jaminan yang ada pada debitur. Namun, putusan MK No.18/PUU-XVII/2019, Mahkamah memberikan pertimbangan: "kewenangan eksklusif yang dimiliki oleh penerima hak fidusia (kreditur) tetap dapat melekat sepanjang tidak terdapat permasalahan dengan kepastian waktu perihal kapan pemberi hak fidusia (debitur) telah “cidera janji” (wanprestasi) dan debitur secara suka rela menyerahkan benda yang menjadi objek dari perjanjian fidusia kepada kreditur untuk dilakukan penjualan sendiri," bebernya.
Yusaq juga menjelaskan, terdapat dua kemungkinan dalam penarikan objek tersebut:
1. Debitur mengakui cidera janji (wanprestasi): Jika debitur mengakui wanprestasi dan menyerahkan objek secara sukarela, kreditur dapat melakukan eksekusi sendiri tanpa melalui pengadilan.
2. Debitur tidak mengakui cidera janji: Kreditur harus mengajukan permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri.
Pun Yusaq menyebut, putusan MK No. 2/PUU-XIX/2021 menegaskan bahwa eksekusi jaminan fidusia dapat diajukan ke pengadilan negeri oleh kreditur sebagai alternatif jika kesepakatan wanprestasi tidak tercapai.
Dari diskusi tersebut, adapun dapat diambil kesimpulan diantaranya sebagai berikut:
1. Pelaksanaan eksekusi dapat dilakukan oleh finance jika debitur mengakui wanprestasi, tanpa melalui pengadilan.
2. Jika debitur tidak mengakui wanprestasi, finance harus meminta bantuan Pengadilan Negeri untuk eksekusi.
3. Aparat kepolisian hanya bertugas mengamankan jalannya eksekusi.
"Aparat kepolisian hanya berwenang menjaga keamanan dan ketertiban dalam proses eksekusi, bukan sebagai eksekutor," tandasnya.
Sebagai referensi, itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia, Het Herziene Indonesisch Reglement S.1941-44, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 18/PUU-XVII/2019, 2/PUU-XIX/2021, 71/PUU-XIX/2021, Peraturan Kapolri nomor 8 tahun 2011 tentang Pengamanan Eksekusi Jaminan Fidusia. (*)