KETIK, MALANG – Toxic Masculinity atau maskulinitas beracun merupakan sebuah perilaku yang memanfaatkan sifat-sifat maskulinitas secara berlebihan dan negatif. Konsep ini memicu pengkotak-kotakan apa yang seharusnya dilakukan laki-laki dan perempuan.
Perilaku toxic masculinity dapat membatasi dan merugikan laki-laki dan perempuan. Misalnya, laki-laki dikonstruksikan sebagai individu yang kuat sehingga tabu bagi mereka menunjukkan kesedihannya.
Atau, laki-laki telah diidentikkan dengan pekerjaan yang membutuhkan kekuatan, sehingga akan memalukan bagi mereka untuk membantu pekerjaan rumah yang biasanya dikerjakan perempuan.
Tindakan tersebut tentu dapat mendegradasi laki-laki sebagai manusia yang diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan berfikir sekaligus berperasaan. Padahal sangat wajar bagi laki-laki dan perempuan untuk memiliki beragam perasaan, mulai dari sedih, kecewa, terpuruk, senang, bahagia, dan perasaan lainnya.
Tak hanya itu, toxic masculinity juga dapat membuat hubungan tidak harmonis antara laki-laki dan perempuan, terutama di keluarga. Relasi yang seharusnya tercipta antara laki-laki dan perempuan ialah ketersalingan dan kerjasama.
Laki-laki dapat melakukan pekerjaan rumah sebagai basic life skill, sementara perempuan juga dapat melakukan pekerjaan kasar layaknya laki-laki.
Jika kalian masih menganggap hal tersebut tidak wajar, perlu berhati-hati. Bisa jadi kalian telah terpenjara dalam toxic masculinity. Berikut adalah ciri-ciri toxic masculinity.
1. Ingin Selalu Mendominasi
Salah satu tanda kalian mengalami toxic masculinity ialah dorongan untuk selalu mendominasi dan mengendalikan situasi. Laki-laki yang terjebak dalam pola ini sangat susah menerima pendapat dari orang lain terutama perempuan, sebab merasa bahwa dirinya yang lebih hebat dan memiliki akal sehat.
Padahal tindakan tersebut justru menghambat kolaborasi dan menimbulkan ketegangan. Mereka sering lupa bahwa tidak ada posisi yang lebih tinggi atau rendah dalam relasi antara manusia, khususnya laki-laki dan perempuan. Merasa lebih superior dari orang lain justru menunjukkan kedangkalan dalam berfikir.
2. Menormalisasi Kekerasan
Banyak yang beranggapan bahwa laki-laki dan kekerasan adalah dua hal yang tak dapat dipisahkan. Bahkan ada juga yang merasa menjadi lelaki tangguh jika berhasil menang dalam adu tonjok.
Atau mungkin, dalam relasi rumah tangga, seorang suami merasa berhak untuk mendisiplinkan istrinya dengan cara kekerasan. Laki-laki semacam itu justru menunjukkan kelemahan dalam menghadapi konflik. Mereka tanpa memikirkan dampak negatif yang terjadi terhadap individu maupun masyarakat akibat perbuatannya.
3. Tidak Mau Menjalankan Tugas yang Dianggap Pekerjaan Perempuan
Budaya patriarki membuat adanya pengkotak-kotakan antara tugas laki-laki dan perempuan. Perempuan diidentikkan dengan memasak, mengurus rumah, bahkan lebih parah dilarang bekerja karena mencari nafkah dianggap sebagai pekerjaan laki-laki.
Hal ini menimbulkan ketidakadilan gender mengingat pekerjaan dan rugas tersebut tidak terbelenggu pada satu jenis kelamin tertentu. Terkadang laki-laki merasa malu dan abai terhadap pekerjaan rumah.
Bahkan banyak masyarakat merasa kagum jika ada laki-laki yang sudi menjaga anaknya. Padahal pekerjaan rumah tangga dan menjaga anak adalah hal yang seharusnya dilakukan bersama-sama.
Begitu pula dengan perempuan yang tetap memiliki hak untuk bekerja dan berkontribusi terhadap perekonomian di rumah tangga.
4. Ingin Selalu Terlihat Kuat dan Menyembunyikan Kesedihan
Anggapan bahwa laki-laki kuat tidak boleh menangis akan merugikan dirinya sendiri. Setiap manusia dapat merasa rentan dan sedih, sehingga tidak masalah untuk membebaskan perasaan itu tanpa perlu takut dengan anggapan orang lain.
Hal ini dapat menyulitkan laki-laki daalm mencari dukungan ketika benar-benar membutuhkannya. Dituntut selalu kuat dan membendung kesedihan hanya akan mengakibatkan masalah kesehatan mental yang serius.
5. Memandang Rendah Orang Lain
Pria yang terjebak dalam toxic masculinity cenderung merendahkan orang lain. Terlebih jika mereka tidak memenuhi standar maskulin yang ditetapkan. Misalnya menertawakan laki-laki yang berpenampilan rapi dan menggunakan skincare. Kondisi ini justru memperkuat bidaya penghinaan dan mendukung oerilaku yang merugikan orang lain.