KETIK, JAKARTA – Konsumsi musik digital atau daring di Indonesia kian meningkat. Sebanyak 38 persen masyarakat Indonesia kini menggunakan layanan musik on-demand setidaknya sekali dalam sepekan.
“Ini menurut laporan Google, Temasek dan Bain Company 1 pada 2022. Sebanyak 38 persen orang menggunakan layanan musik on-demand setidaknya seminggu sekali,” kata Country Manager Believe Indonesia, Dahlia Wijaya, dalam keterangan resmi, Senin (26/6/2023).
Pasar musik Indonesia sangat didukung oleh pertumbuhan konsumsi musik digital. Menurut Laporan Global IFPI, streaming mewakili pangsa 90,6 persen.
Total pendapatan musik pada 2022 di Indonesia terhitung USD75,4 juta. Angka itu naik lebih dari 36,7 persen dari tahun 2021.
Dan antara 2019 dan 2022, tingkat pertumbuhan tahunan rata-rata adalah 35 persen per tahun.
Pertumbuhan yang sangat kuat ini pertama kali dijelaskan oleh meningkatnya penetrasi penggunaan Internet.
Menurut laporan Katadata dan BPS jumlah total pengguna Internet di Indonesia naik dari 133 juta pada 2018 menjadi 210 juta pada 2022.
Walaupun internet tidak didistribusikan dengan baik di semua wilayah, namun ada beberapa kota utama di pulau Jawa-Bali, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua sudah memiliki akses yang lebih baik.
“Mereka juga cenderung memiliki dunia musik lokal yang lebih dinamis. Pusat kesenian yang sebelumnya hanya berfokus di Jakarta atau Surabaya, bergeser dan mulai menyebar ke seluruh daerah,” kata dia.
Ia menjelaskan, dalam hal konsumsi musik digital, pemain dominan di Indonesia adalah Spotify dan YouTube (termasuk YouTube Music & Shorts).
Ada juga Resso, TikTok, dan Apple Music. Ada juga platform lokal bernama Langit Musik.
Sebagian besar DSP (Digital Signal Processor) menawarkan paket freemium dan premium. Walaupun orang Indonesia menyukai musik, mereka tidak selalu mau membayar untuk mengaksesnya.
"Jadi, sebagian besar masih merupakan bisnis freemium di sini, dan sangat berorientasi pada penggunaan video. Ia mewakili sekitar lebih dari setengah pendapatan streaming," katanya.
Namun, ia memperkirakan bahwa kurang dari 1 persen dari seluruh populasi membayar untuk paket premium. Sebagai perbandingan, Thailand memiliki sekitar 3 persen, Tiongkok sekitar 9 persen, dan AS lebih dari 35 persen pelanggan berbayar.
"Mengubah pengguna gratis menjadi pengguna berbayar adalah proses yang panjang dan sulit bagi DSP. Terlebih terkait dengan pendidikan pengguna mereka terhadap manfaat model premium," ujar dia.
Dengan demikian, lanjutnya, konversi di Indonesia berada pada tahap awal. Seperti halnya untuk pasar lain pada tahap pengembangan premium yang sama.
Menurutnya, penetrasi kartu kredit yang rendah di Indonesia juga menimbulkan hambatan teknologi. Selain persoalan kesenjangan dalam jangkauan internet.
Untuk mengatasi hal ini, DSP dapat menawarkan musik yang dibundel dan langganan seluler. Juga menangani pembayaran e-wallet melalui platform lokal.
"Strategi ini paling efektif dengan pendengar dewasa yang memiliki pendapatan lebih tinggi dan menghargai pengalaman bebas iklan. Penagihan seluler adalah opsi menarik lainnya yang sedang diterapkan oleh DSP," kata dia.
Pihak platform saat ini banyak membuat perjanjian dengan operator telekomunikasi lokal. Hal ini guna pendengar dapat berlangganan layanan streaming melalui paket seluler mereka.
"Misalnya juga mereka memperoleh manfaat seperti diskon berlangganan. Atau data yang dialokasikan hanya untuk mendengarkan," ujar dia.(*)