Sebuah aktivitas tersembunyi mengendap seperti lahar dingin di kaki gunung, tidak tampak namun terus mengancam. Fenomena itu bernama mafia tanah.
Mereka bekerja secara sistematis dan konspiratif. Korban mafia tanah bahkan kerap tak menyadari ancaman itu hingga ia kehilangan hak berdaulat atas lahan tempat bernaung. Baik mafia tanah lokal maupun kelas internasional. Lintas negara, lintas benua.
Laporan Global Land Matrix, Indonesia berada di peringkat keempat dunia dalam hal penjualan lahan kepada investor asing. Ini berarti sekitar 3,5 juta hektar tanah telah beralih ke tangan asing.
Demikianlah fenomena mafia tanah di Indonesia, sebuah konspirasi yang merajalela di balik layar kehidupan sehari-hari kita.
Maka timbul pertanyaan, apakah negara yang seharusnya berdiri sebagai pelindung hak-hak kita justru berperan sebagai penyimpan dusta, seperti debu yang tersapu di bawah karpet?
Lantas, adakah kita benar-benar memiliki kedaulatan atas tanah kita sendiri?
Berbicara soal kedaulatan tanah, Martin Luther King Jr. pernah berkata, "The land is the only thing in the world worth working for, worth fighting for, worth dying for, because it’s the only thing that lasts."
Memang benar bahwa tanah adalah sumber daya yang tak tergantikan, namun ketika berada dalam cengkeraman mafia tanah, nilai tanah sebagai sumber kehidupan menjadi sebuah ironi.
Dalam konteks mafia tanah, kita dapat melihat bagaimana penyelesaian kasus sengketa tanah di Indonesia berjalan dengan lamban.
Data BPN pada tahun 2020 mencatat ada sekitar 7.500 kasus sengketa tanah yang belum terselesaikan. Publik bertanya-tanya. Apakah ini pertanda adanya sebuah konspirasi yang menyelimuti kasus-kasus tersebut?
Peran pemerintah sebagai penegak hukum dan pemegang supremasi hukum di negara ini, apakah benar telah melakukan usaha maksimal untuk mengatasi kasus-kasus tersebut?
Pada tahun 2015, sebuah kasus mafia tanah mencuat ke permukaan. Masyarakat di suatu desa di Sumatera Barat mendadak kehilangan tanah mereka yang telah dikuasai selama berpuluh-puluh tahun.
Ternyata, seorang pengusaha dengan bantuan oknum pejabat telah memalsukan
sertifikat tanah dan menguasai lahan tersebut. Kasus ini seharusnya bisa menjadi cermin bagi kita semua.
Ilustrasi: Bisnis tanah oleh para mafia tanah. (Foto: ShutterStock)
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan, "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menjadi pondasi hakikat bahwa tanah adalah milik bersama dan harus dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat.
Dengan adanya mafia tanah, bukan kemakmuran yang kita raih, melainkan penindasan dan ketidakadilan. Di sinilah peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasi dan memastikan bahwa implementasi dari pasal tersebut benar-benar dijalankan.
Penyadaran akan hak-hak kita sebagai warga negara adalah senjata utama dalam melawan praktik ini.
Bukankah keberadaan mafia tanah ini justru menggerogoti kemakmuran rakyat yang dijamin oleh konstitusi?
Dalam menghadapi fenomena mafia tanah ini, dibutuhkan transparansi yang lebih besar dalam proses perizinan dan pengelolaan lahan.
Tetapi, perubahan yang paling penting harus dilakukan adalah transformasi dalam sistem pengelolaan tanah kita. Adalah menjadi tugas kita untuk memastikan bahwa sistem ini tidak lagi memfasilitasi praktik korupsi dan penyelewengan.
Penegakan hukum juga harus ditingkatkan, reformasi sejati harus dilakukan pada institusi-institusi yang terlibat dalam pengelolaan tanah.
Pemerintah perlu melakukan audit dan revisi terhadap seluruh kebijakan agraria yang berpotensi menimbulkan peluang bagi para mafia tanah untuk melakukan praktik haramnya.
Terakhir, kita perlu mengingat kata-kata bijak dari Jean-Jacques Rousseau, "Man is born free, and everywhere he is in chains."
Benarkah kita, sebagai rakyat Indonesia, telah terbelenggu oleh konspirasi mafia tanah ini? Pilihan ada di tangan kita. Inilah saatnya untuk bertindak, untuk menegakkan keadilan dan menjaga warisan kita.
Semoga debu di bawah karpet ini tidak lagi menutupi kebenaran, dan semoga kita tidak lagi harus bertanya: apakah pemerintah menyapu debu mafia tanah di bawah karpet?
Dengan pengetahuan dan aksi, kita bisa mengangkat karpet itu dan membersihkan debu mafia tanah dari negeri kita tercinta ini.(*)
*) Jasmine Fitria Maharani Pelawi, Mahasiswa Studi S-1 Fakultas Hukum Unair 2022
**) Isi tulisan di atas menjadi tanggung jawab penulis
***) Ketentuan pengiriman naskah opini:
Naskah dikirim ke alamat email redaksi@ketik.co.id. Berikan keterangan OPINI di kolom subjek
Panjang naskah maksimal 800 kata
Sertakan identitas diri, foto, dan nomor HP
Hak muat redaksi