KETIK, PACITAN – Seolah nyaman di balik hiruk pikuk kerasnya bekerja di negeri jiran Malaysia. Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Pacitan, Jawa Timur hidup selama 29 tahun menjadi pemotong sawit.
Kisahnya patut diceritakan. Begini kisahnya.
Mukhlisin Halaudin (49) namanya, berada di Perkebunan Sawit, Johor, Malaysia sebagai TKI asal Indonesia sejak tahun 1995.
Pria yang kerap disapa Mukhlis ini, berniat menginjakkan kaki di Malaysia saat diajak saudara untuk bekerja di perkebunan kelapa sawit.
Saat itu, tujuannya tak lain adalah ingin memperbaiki taraf hidup dirinya dan keluarga yang berada di tanah air.
"Berangkat setelah dua tahun lulus dari MAN Pacitan," kata Mukhlisin Halaudin (49) asal Desa Banjarjo, Kecamatan Kebonagung saat menceritakan kisahnya, Rabu (1/5/2024).
Di Malaysia ini, merupakan pengalaman perdana baginya, terkait pekerjaan sebagai buruh sawit. Selepas ia dipertemukan dengan Toke alias bos asal China.
"Dulu saya masih ilegal disebutnya, karena pertama hanyai pakai paspor pelancong sampai visanya mati. Akhirnya sama Toke waktu itu dibantu untuk buat permit. Baru saya resmi jadi TKI pada tahun 1996," ungkapnya kepada Ketik.co.id.
Di sana, ia bekerja keras mulai pagi gelap hingga menjelang petang. Memotong tandan pohon sawit hingga mengangkut buah yang telah masak masuk ke dalam dam truk.
Mukhlisin Halaudin (berkoko merah) berpose bersama dengan rekan perantauan di Malaysia saat momen Idulfitri lalu. (Foto: Mukhlisin for Ketik.co.id)
Bertahun-tahun di perkebunan kelapa sawit, membuat Mukhlis menjadi seorang ahli pemotong sawit.
Dalam satu hari, Mukhlis bisa memotong 250-300 tandan sawit dan menggerobak ton-tonan buah sawit semasa panen.
Dengan kemampuannya, dia bisa mendapatkan upah paling sedikit 2-3 ribu ringgit Malaysia atau sekitar Rp 5-7 juta sebulannya.
"Dulu dibayar, 800 ringgit. Sempat melewati masa krisis moneter pas 1000 ringgit kursnya jadi 3,5 juta. Alhamdulillah, kalau pendapatan sekarang itu kurang lebih 6-7, niku kalau kerja cepat," bebernya soal pendapatan.
Untuk urusan tempat tinggal, Mukhlis berada di rumah yang lokasinya tak jauh dari perkebunan sawit. Dia tinggal bersama para perantau lainnya yang sama-sama berasal dari Indonesia.
"Alhamdulillah, di Pacitan sekarang sudah punya sawah, rumah, bisa menyekolahkan anak dan lain-lain," ucapnya dengan senyum mengembang saat dihubungi melalui video call WhatsApp.
Istiqomah Berbuat Baik hingga Ditunjuk Jadi Imam di Musala
Lahir dan besar di lingkungan agamis, membuat dirinya menjadi pribadi yang taat beragama.
Lantaran Istiqomah berbuat baik, dirinya ditunjuk oleh warga kampung sekitar untuk menjadi imam di mushola setempat.
"Di sini kan ngga ada masjid, adanya Musholla, itu sebelumnya ada anak muda yang jadi marbot. Nah lambat laun, Anak muda itu dapat kerja ke Singapura dan hanya seminggu sekali pulang ke kampung. Karena Musholanya jadi ngga dikelola, pas sering beribadah kesitu, warga sekitar nggak ada yang mau jadi imam, padahal juga ada yang sudah haji," ceritanya.
Akhirnya, bak di kampung halaman sendiri kata dia. Di sela kesibukan bekerja, ia menyempatkan waktu dan istiqamah memimpin warga maupun perantau dalam menjalankan ibadah sholat.
"Karena di Pacitan juga sudah terbiasa menjadi imam, jadi tidak apa-apa. Kalau dihitung mungkin sudah 10 tahunan mengurus Musala," ujarnya.
Cerita soal nasib TKI yang kerap penuh kisah pelik, Mukhlis bersyukur selama ini tidak pernah mendapatkan masalah. Pun suatu hari nanti, tentunya ia akan kembali ke Indonesia.
Pria dua anak itu punya harapan, di usianya ke 51 atau 52 nanti, ia sudah pensiun jadi TKI dan berwirausaha dirumah.
"Kalau bisa di umur 51 atau 52 sudah istirahat di Indonesia. Insyaallah lebaran tahun depan pulang," harap Mukhlis dengan logat Jawa Timur yang masih kentara.
Tak lupa, dirinya juga berpesan buat calon TKI asal Indonesia agar berpikir kembali apabila punya minat bekerja di negeri orang.
"Buat anak muda, kalau ke Malaysia perlu dipikir dua kali, tentunya karena disini kerja keras perlu fisik yang kuat dan jauh dari rumah. Selain itu, waktu beribadah sangat terbatas, karena jarak tempuh ke kebun itu jauh, terkadang waktu ashar baru pulang," pesannya menutup perbincangan. (*)